Selasa, 07 Januari 2020

Makalah Kecil 1: Politik Hukum


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Demokrasi selalu menarik untuk diperbincangkan terutama pada saat sebuah negara sedang mengalami masa transisi menuju demokrasi yang  lebih sesuai dengan aspirasi seluruh rakyat Indonesia terutama setelah saya membuat tugas Ringkasan Dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia[1] mulai dipahami bahwa setiap negara yang telah melewati pemerintahan otoritarian dan memulai pemerintahan dengan sistem demokrasi akan melalui suatu fase transisi. Suatu fase yang sedang dilalui oleh Indonesia setelah reformasi. 

 
Satu hal yang menarik perhatian adalah bahwa isu tentang hak asasi manusia[2] ternyata menjadi salah satu akar permasalaan yang menyebabkan sekelompok manusia yang bergabung dalam suatu masyarakat atau negara dimana pada negara tersebut dipimpin oleh rezim yang otoriter akhirnya memutuskan untuk melepaskan negara mereka dari pemerintahan otoriter tersebut menjadi sebuah pemerintahan yang lebih demokratis. Saya sebut sebagai lebih demokratis karena masa transisi menuju demokratis itu bukan berarti pemerintahan tesebut sudah demokratis. Seperti yang terjadi di Indonesia sejak masa reformasi untuk berlepas diri dari pemerintahan orde baru yang dipandang otoriter. Hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia untuk bebas berekspresi, untuk bebas beroranisasi dan berkelompok, bebas menyatakan pendapat. Ketika masa orde baru dianggap hal tersebut kurang diakomodir di Indonesia.[3] Tapi ternyata setelah reformasi pun, setelah Indonesia berganti rezim, setelah Indonesia merubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setelah adanya sistem pemilihan Presiden secara langsung sejak tahun 2004[4] yang dianggap lebih demokratis, Indonesia tetap mengalami beberapa ketidakpuasan dari warga negara menyangkut siapa yang akhirnya terpilih sebagai Pesiden.
Secara teori ketatanegaraan, suatu negara sebaiknya melaksanakan sistem pemerintahan yang menyangkut dalam hal hak asasi manusia, demokrasi, perwujudan negara hukum, konstitusi, peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim. Sedangkan apabila ada yang belum sesuai maka hal itu dipandang sebagai masa transisi ataupun suatu fenomena yang mungkin membawa suatu perubahan yang baik atau buruk bagi sistem ketatanegaraan suatu bangsa.


B.  Rumusan Masalah
Bagaimana teori ketatanegaraan dalam memberikan petunjuk jalan bagi suatu negara dalam melaksanakan sistem pemerintahan terutama pada masa transisi terkait dengan hak asasi manusia, demokrasi,  pelaksanaan Konsitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim?

C.  Tujuan Penulisan
        Untuk mendapatkan pemahaman mengenai teori-teori kenegaraan terkait dengan hak asasi manusia, demokrasi, pelaksanaan Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim sehingga dapat memberi konstruksi pemikiran yang baik dalam menganalisa suatu kejadian ketatanegaraan terutama pada masa transisi menuju demokrasi.

D.  Kerangka Teoritis
1.  Teori hukum alam dari John Locke :
Men being, as has been said, by nature all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate and subjected to the political power of another without his own consent.[5]
Dalam tulisan ini dipilih teori hukum alam dari John Locke karena untuk mendapatkan pemahaman mengenai teori-teori kenegaraan dalam hal hak asasi manusia dan demokrasi teori ini memberikan suatu pemahaman awal bahwa manusia tidak bisa dipaksakan untuk ikut dalam politik tertentu tanpa ada persetujuannya karena pada dasarnya manusia itu bebas, sama dan merdeka.
2.  Teori Stufenbau (teori mengenai sistem hukum) dari Hans Kelsen:
Sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).[6]
Dalam tulisan ini dipilih teori stufenbau (teori mengenai sistem hukum) dari Hans Kelsen karena teori ini memberikan pemahaman awal yang baik dalam pelaksanaan Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim. Bahwa seluruh aturan tersebut harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).

E.  Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
A.   Latar Belakang
B.   Rumusan Masalah
C.   Tujuan Penulisan
D.   Kerangka Teoritis
E.   Sistematika Penulisan
BAB II Pembahasan
A.   Hak Asasi Manusia
B.   Demokrasi
C.   Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Hakim
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan
B.   Saran












BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hak Asasi Manusia
Men being, as has been said, by nature all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate and subjected to the political power of another without his own consent.[7] Merupakan kalimat indah dari seorang John Locke yang merupakan inti dari hak asasi manusia yang dimiliki oleh semua manusia di dunia ini. Manusia itu pada dasarnya secara alamiah adalah makhluk yang bebas, mempunyai kedudukan yang sama, dan merdeka. Tidak seorang pun dapat menetapkannya dalam suatu kekuasaan ataupun politik tanpa persetujuannya. Pembahasan mengenai hak asasi manusia selalu menarik untuk dibahas karena dengan hak inilah akhirnya setiap manusia dapat hidup dengan aman dan sentausa di dunia.
Selanjutnya apabila manusia itu sesungguhnya hidup bebas, sama, dan merdeka lalu mengapa di dunia ini manusia mau bergabung dengan orang lain. Apabila kita melihat nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam yang diciptakan pertama kali oleh Allah SWT pada akhirnya Nabi Adam pun diberikan pasangan dari sesama manusia, Allah SWT menciptakan Hawa sebagai istri Nabi Adam.[8] Itu menandakan bahwa manusia itu secara alamiah adalah makhluk sosial yang meskipun seorang manusia itu bebas tetapi manusia suka hidup bersama dengan manusia lain.
Manusia secara alamiah bersatu dengan manusia lainnya dalam suatu komunitas seperti suatu perkumpulan yang terkecil yaitu keluarga. Bisa kita katakan bahwa keluarga adalah tempat seorang mulai hidup, terdiri dari seorang ayah, ibu, anak. Terkait hal ini John Locke memberikan perumpamaan keluarga adalah sebagai suatu sistem monarki. Contoh pemerintahan pertama adalah keluarga. Dengan ayah sebagai pemimpin keluarga, ibu dan anak mengikutinya. Ayah mengeluarkan aturan-aturan hidup. Ayah diberikan ruang untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam keluarga dan keluarga memberikan otoritas kepada ayah untuk melakukan hal tersebut. Seorang ayah tentunya memimpin keluarganya dengan cinta dan kasih sayang, dengan latihan dengan perhatian dan keahlian yang membuat keluarganya tumbuh dengan lingkungan yang bahagia, perpolitikan keluarga yang bahagia.[9] Beda dengan suatu keluarga dengan ayah yang otoriter yang memaksakan apapun yang menjadi kehendaknya dengan sewenang-wenang, tanpa mempertimbangkan kebutuhan keluarganya, tanpa anggota keluarga bisa diberikan contoh kebaikan dan kesempatan untuk mengeluarkan pikirannya.[10]
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of Rights:
“...we should these truths to be selfevident; that all men are created equal; that they are endowed by their creator with certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice Cranston, 1983:3).[11]
Lalu apabila ada potensi suatu komunitas, dimana seorang manusia bergabung di dalamnya baik keluarga, masyarakat maupun negara, menjadi tidak baik dalam hal ini otoriter lalu mengapa seorang manusia tetap ingin bergabung dengan suatu komunitas, mengapa ia tidak hidup sendiri saja, masing-masing, sehingga tidak konflik yang terjadi dengan manusia lain.  Tetapi bertolak belakang dengan pertanyaan tersebut pada kenyataannya setiap manusia juga memiliki hak untuk mendapatkan rasa aman baik terhadap dirinya maupun hartanya. Dalam sebuah masyarakat maka seseorang akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat tersebut. [12]
Jadi inilah yang disebut bahwa hak asasi manusia itu sangat bergantung juga dengan manusia lainnya. Negara Indonesia adalah negara yang mengandung persatuan antara rakyat dan pimpinannya, persis seperti yang dimaksud oleh Soepomo dengan teori integralistiknya.[13]   Hal ini menurut Soekarno dan Soepomo. Dengan ini corak Indonesia sangat kolektivistik dan cenderung mengabaikan individualistik. Sementara Hatta-Yamin meskipun menerima kolektivisme, tetapi mengharuskan adanya imbangan unsur individualisme paham HAM.[14] Hal tersebut menjadi pembahasan apakah perlu memasukkan hal hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945.[15] Ada dua pandangan yang berbeda antara Soekarno dan Soepomo dengan Hatta dan Yamin. Pandangan Soekarno dan Soepomo menunjukkan bahwa tidak perlu diatur hak asasi manusia, bahwa Indonesia sangatlah kolektivisme cenderung mengabaikan individualistik. Sedangkan Hatta dan Yamin meskipun sama pandangannya bahwa Indonesia bersifat kolektivisme tetapi tetap harus ada unsur hak asasi manusia di dalamnya.
Sebenarnya permasalahan tersebut akhirnya terjawab dengan pandangan John Locke meskipun manusia adalah makhluk bebas, sama, dan merdeka (individualistik) tetapi tetap membutuhkan untuk bergabung dalam masyarakat karena faktor keamanan, yang sesungguhnya juga merupakan hak asasi manusia, bagi dirinya dan hartanya. Selain itu manusia membutuhkan otoritas untuk menyatakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah apabila seorang manusia memiliki konflik[16] dengan manusia lain, untuk itu diperlukan pemimpin dalam hal ini sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan seperti apa yang mendukung hak asasi manusia, tentulah suatu sistem pemerintahan yang melindungi hak asasi manusia dari warga negaranya, sistem yang disebut sebagai demokrasi. Demokrasi akan dibahas pada bahasan berikutnya dari tulisan ini. Demokrasi yang sering diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem yang menjunjung rakyat untuk ikut serta mendukung dan memberikan hak suaranya dalam pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat.

B.  Demokrasi
Dalam banyak literatur disebutkan bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi tidak hanya pemerintahan oleh rakyat tapi juga, dalam formula Presiden Abraham Lincoln, sebagai pemerintahan untuk rakyat. Pemerintahan demokrasi yang ideal haruslah selalu memiliki komunikasi yang baik dengan seluruh rakyat.[17]
Dalam sebuah negara yang menerapkan demokrasi dengan baik yang utama adalah adanya partisipasi rakyat untuk memberikan suaranya terhadap jalannya pemerintahan. Rakyat tidak dibungkam suaranya, tidak diarahkan ke dalam pusaran tertentu dari keinginan pemerintah. Harus ada informasi yang terbuka di negara tersebut. Dan adanya kesempatan rakyat terbuka dan bebas melaksanakan pemilihan umum. Hak asasi manusia diberikan pada negara demokrasi.
Robert A. Dahl menjelaskan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung 8 hal sebagai berikut[18]:
1.    Kebebasan untuk bersama dan bergabung dalam organisasi;
2.    Kebebasan untuk berekspresi;
3.    Hak untuk memilih;
4.    Kelayakan untuk organisasi publik;
5.    Hak bagi pemimpin politik untuk berkompetisi untuk mendapatkan dukungan dan pemilih;
6.    Banyak alternatif sumber informasi;
7.    Pemilihan yang jujur dan bebas;
8.    Institusi untuk membuat kebijakan pemerintahan tergantung dari pilihan dan pilihan yang lain.
Tapi ternyata demokrasi pun ada banyak modelnya, tergantung dari bagaimana corak dan keragaman dari warga negara. Arend Lijphart[19] membagi model demokrasi menjadi dua yaitu majoritarian dan consensus model. Keduanya meupakan prescriptive model tapi saat sekarang disebut juga empirical model. Majoritarian model cocok diterapkan pada negara yang masyarakatnya homogen misalnya Inggris dan New Zealand, sedangkan consensus model cocok diterapkan pada negara yang masyarakatnya plural misalnya Switzerland dan Belgia. Keempat negara tersebut secara empiris mewakili. Mengenai dua model demokrasi ini, saya rangkum dalam tabel berikut ini:
Tabel 1
Subjek
Majoritarian Model
Consensus Model
Konsenterasi Kekuasaan Eksekutif
1 partai dan kabinet dengan mayoritas
koalisi besar
Sistem pemerintahan
parlementer
presidensial
Kamar di Parlemen
assismetris
dua kamar
Sistem partai
dua partai
multi partai
Dimensi partai
satu dimensi
multi dimensi
Sistem pemilihan
plural
proposional
Pemerintahan
terpusat
desentralisasi dan ada negara bagian
Konstitusi
tidak tertulis
Tertulis

Demokratis atau tidaknya suatu negara bukan dilihat dari apakah negara tersebut menerapkan sistem kerajaan atau tidak, sebagaimana Inggris yang meskipun negara kerajan (monarki)[20] tapi menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahan. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat di parlemen membuktikannya. Inggris dengan masyarakatnya yang homogen bisa diterapkan sistem majoritarian demokrasi, hanya partai dengan pemilih mayoritas saja yang bisa menduduki parlemen, hanya dua partai. Partai-partai kecil yang minoritas tidak diberikan kursi untuk duduk di parlemen. Berbeda dengan Switzerland dan Belgia yang menerapkan consensus demokrasi sehingga partai diberikan proporsi kursinya masing-masing di parlemen. Partai mayoritas dan minoritas tetap mendapat kursi di parlemen. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap demokrasi politik yang terjadi pada negara-negara tersebut.
     Prof. C.F. Strong[21] dalam memberikan pengertiannya mengenai “demokrasi politik” ia menggariskan tiga kriteria:
1.    Kebebasan untuk menyatakan pendapat dalam pemilihan umum;
2.    Kebebasan mimbar;
3.    Kebebasan pers.
Menarik untuk memperbincangkan juga mengenai kebebasan pers, apalagi jika diakitkan dengan era internet 4.0. dimana kebebasan informasi benar-benar terjadi, lintas tempat, lintas budaya, lintas ideologi. Indonesia yang menganut demokrasi pancasila tentu harus berjuang keras agar demokrasi pancasila tetap terwujud dalam sendi-sendi kehidupan bangsa.
Seperti yang dijelaskan dalam makalah Ringkasan dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia[22] hal 97-246 bahwa permasalahan demokrasi di Indonesia pada jaman orde baru bukan karena hak asasi manusia tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945[23] (saya mengkhususkan pembahasan pada era orde baru yang sudah berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, mengenai UUD RIS dan UUDS 1950 mungkin akan saya kaji terpisah dalam makalah lainnya), secara tersirat Undang-Undang Dasar 1945 mengatur mengenai hak asasi manusia dan jelas-jelas bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi. Tetapi dalam pelaksanaan terlihat seperti otoriter lebih karena tidak ada perwujudan negara hukum yang benar-benar menjelma dalam kenyataan. Perwujudan negara hukum yang seharusnya membuat setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Masih adanya dwi fungsi ABRI yang ternyata tidak sesuai dengan pengertian pada Undang-Undang Dasar 1945.[24]
Perwujudan negara hukum[25] menjadi sebuah harapan yang sangat besar dari suatu sistem kenegaraan sebab ibarat bangunan maka hukum adalah kerangka yang akan membuat bangunan menjadi kokoh berdiri, ia ibarat rangka yang menopang agar bangunan tidak roboh. Namun seperti apakah perwujudan negara hukum yang diharapkan bisa memberi kerangka yang baik bagi perwujudan demokrasi, ataukah justru demokrasi yang membuat hukum mampu berdiri dengan tegak. Keduanya saling menopang dan akhirnya membuat hak asasi manusia dapat terwujud dalam seluruh lingkup kehidupan.

C.  Konstitusi, Peraturan Perundang-undangan dan Keputusan Hakim
Konstitusi[26] sebagai pokok haluan dalam bernegara. Dua jenis konstitusi yang ada di dunia ini adalah konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tidak tertulis hanya terdapat di tiga negara yaitu Inggris, New Zealand dan Israel. Perubahan konstitusi dilaksanakan dengan berbagai cara pada negara-negara di dunia ini. Tapi secara garis besar dengan special majorities, popular referendum, regular parliamentary majority. Perubahan konstitusi dengan special majorities dilaksanakan oleh negara-negara dengan sistem demokrasi consensus. Biasanya dengan melaksanakan voting 2/3 suara parlemen. Popular Referendum biasanya merupakan alat dari partai mayoritas di parlemen untuk memperoleh dukungan rakyat. Regular Parliamentary Majority biasanya dilaksanakan negara-negara dengan konstitusi tidak tertulis, sehingga setiap melaksanakan sesuatu hal yang membutuhkan hal baru terhadap konstitusi yang tidak tertulis tersebut maka diadakan pemungutan suara.[27]
Konstitusi adalah dokumen tertulis yang menggambarkan kekuasaan parlemen, pemerintahan dan kehakiman. Menggambarkan hak-hak dasar dari tiga kekuasaan tersebut. Juga ada tata cara perubahan konstitusi.[28] Jadi menggambarkan juga pemisahan kekuasaan.[29]
Sementara itu di bawah konstitusi berlaku aturan-aturan di bawah konstitusi yang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Apabila aturan di bawahnya bertentangan dengan aturan di atasnya maka itu berarti tidak tepat.[30] Teori Stufenbau (teori mengenai sistem hukum) dari Hans Kelsen:
Sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar[31] (grundnorm).
Judicial review[32] menjadi salah satu bagian dari pelaksanaan kenegaraan namun ternyata ada juga negara di dunia tidak menjalankan judicial review cukup dengan parlemen review, contohnya Republik IV Prancis, namun akhirnya setelah perubahan konstitusinya mengatur keberadaan kekuasaan judicial dan mengakomodir judicial review. Kasus yang fenomenal lain Marbury Vs. Madison merupakan contoh judicial review di Amerika.[33]
Hal yang menjadi perbincangan hangat pada negara transisi menuju demokrasi adalah apakah dengan adanya konstitusi di suatu negara maka sistem demokrasi akan berjalan, atau justru mengikat. Semisal Indonesia dengan wacana baru-baru ini ingin mengamandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara seperti Inggris[34] yang tidak memiliki konstitusi, atau negara fedeal Amerika, Konstiusi di Uni Eropa,  dengan negara Jerman.[35] Bagaimana kehidupan bernegara mereka yang tentunya sudah lebih ideal dalam melaksanakan demokrasi.
          Konstitusi sebagai alat bargaining.[36]Ketika pihak mayoritas akhirnya haruslah mengakomodir pihak minoritas. Terutama pada negara dengan sistem demokrasi consensus. Gag Rules juga diperlukan sebagai kesepakatan awal parlemen. Konstitusi tidak betentangan dengan demokrasi terutama untuk membatasi agar tidak ada kebebasan politik yang tanpa arah yang akhinya menghancurkan kesejahteraan warga negara. Hak asasi manusia juga akhirnya terlindungi dengan adanya konsitusi dimana di awal bab sudah dijelaskan bahwa setiap adanya hak asasi manusia maka ada keinginan juga dari individu untuk telindungi hak keamanan tehadap diri dan hartanya. Konstitusi membingkai itu semua.[37]
Ada Tiga pembagian hukum di negara yang sedang menjalani transisi yaitu repressive law, autonomous law, responsive law.[38] Dari ketiga jenis itu biasanya menggunakan responsive law. Karena pada negara transisi seperti Indonesia biasanya legislature membuat Undang-Undang berdasarkan permintaan masyarakat bukan kebutuhan. Berdasarkan politik. Berangsur diharapkan bisa berubah menjadi autonomous law dimana dalam membuat Undang-Undang sesuai kebutuhan dan terhindar dari keinginan politik.






BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Pada negara-negara dalam masa transisi menuju demokrasi pada akhirnya diperlukan hal-hal yang penting untuk mendapatkan pemahaman mengenai teori-teori kenegaraan terkait dengan hak asasi manusia, demokrasi, pelaksanaan Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim sehingga dapat memberi konstruksi pemikiran yang baik dalam menganalisa suatu kejadian ketatanegaraan terutama pada masa transisi. Indonesia untuk saat ini sedang menjalani proses menuju demokrasi.
Sistem demokrasi seperti apa yang dipilih dalam suatu negara sangat tergantung dari keberagaman individu di negara tersebut, apakah negara yang sangat plural atau homogen. Begitupun dalam hal konstitusi apakah mau dipilih konstitusi tertulis ataupun tidak tertulis sangat tergantung dari apa sistem demokrasi yang dipilih dan itu berdasarkan keragaman yang ada di negara tersebut. Begitupun dalam hal perubahan konstitusi. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Keikutrsertaan Judicial review juga menjadi hal yang merupakan kesepakatan bersama dalam suatu negara.
Bahwa hak asasi manusia dan konstitusi tidaklah bertentangan dengan demokrasi justru hak asasi manusia dan konstitusi sebagai alat untuk menunjang terbentuknya demokrasi di negara pada masa transisi. Hak asasi manusia menjadi kesepakatan ketika suatu negara memutuskan untuk merubah pemerintahan dari pemerintahan otoriter menjadi pemerintahan yang lebih demokratis. Hanya pada akhirnya transisi menuju demokratis adalah kepastian yang harus dijlani setiap negara yang sedang menjalaninya.

B.   Saran
1.      Diperlukan kesepakatan dan kesepahaman semua pihak dari mulai legislatif, eksekutif maupun judikatifmengenai apa yang diharapkan dari terbentuknya negara demokratis;
2.      Setiap warga negara diberikan pendidikan mengenai transisi menuju negara demokratis, sehingga dibentuk pemahaman bahwa hak asasi manusia dalam negara demokratis tidak dikekang, tetapi hak asasi manusia juga punya batasan. Karena sesungguhnya dengan bergabung dengan suatu negara setiap individu sedang menjaga hak asasi manusia berupa keamanan individu dan hartanya;


[1] Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: FHUI: 2018).
[2] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[3] Lihat Kristian Erdianto, Kontras Paparkan 10 Kasus Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto,https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Paparkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?page=all, 8 Oktober 2019.
[4] Puteri Anggun Amirillis, Skripsi Sarjana Hukum, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Negara Republik Indonesia Pada Tahun 2004, (Depok: Universitas Indonesia, 2005).
[5] Lihat John Locke, The Second Treatise of Government Edited with an introduction by Thomas P.Peardon, (Newyork: The Library of Liberal Art), hal 3. Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[6] Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law and State Translated by Anders Wedberg, (Newyork: Russell & Russell, 1961). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[7] John Locke, Op.cit
[8] Qs. Al Baqarah: 35.
[9] John Locke, Op.cit, hal 8-9.
[11] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[12] John Lock, Op.cit, hal 19.
[13]   Lihat Floriberta Aning, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006).
[14]   Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve:1994), hal 68-69.
[15] Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
[16] Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konflik, 13 Oktober 2019.
[17] Arend Lijphart, Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, (London: Yale Univesity Press). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[18] Lihat Robert A.Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[19] Lihat Arend Lijphart, Op.cit
[20] John Locke, Op.cit, hal 22
[21] C.F. Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative Study of Their History and Existing Form (London: Sidqwick & Jackson Limited, 1963), hal. 13. Lihat juga Satya Arinanto, Demokrasi Berdasarkan Konstitusi: Mungkinkah Terjelma di Dalam Realita?, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 23, Nomor 3, Tahun 1993, hal 214.
[22] Puteri Anggun Amirillis, Tugas Mata Kuliah Politik Hukum: Ringkasan dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta:Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, 2019), hal. 23
[23] Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 22, Nomor 3, Tahun 1992, hal 1.
[24] Satya Arinanto, Op.cit, hal
[25]   Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal 53-55 mengemukakan bahwa A.V Dicey dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Study of The Law of The Constitution, mengemukakan 3 unsur dari Rule of Law, yaitu: 
a.    Supremacy of Law;
b.    Equality before the law;
c.    Constitution based on Individual Rights.
[26] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2017, hal 1-2.Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham kostitusi terdiri dari:
a.     Anatomi kekuasaan tunduk pada hukum;
b.    Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
c.     Peradilan yang bebas dan mandiri;
d.    Pertanggungjawaban kepada rakyat sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
[27] Lihat Arend Lijphart, Op.cit, hal 71-74.
[28] Eric Barendt, An Introduction To Constitutional Law, Clarendon Law Series, hal 107. Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[29] Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 22, Nomor 3, Tahun 1992, hal 29.
[30]RWM Dias, Jurisprudence, Fifth Edition, (London: Butterworhts, 1985). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[31] Indonesia, Pancasila
[33] Mustafa Fachry, Bahan Ajar Peradilan Konstitusi,(Jakarta: Pasca Sajana FHUI, 2019)
[34] Eric Barendt, Op.cit, hal 132-156.
[35] Donnald P. Kommers, German Konsituionalism: A Prolegomenon, Emory Law Journal, Vol. 40, No. 3, Summer 1991, hal 837-873
[36] Stephen Holmes, Gag Rules on The Politics of Omission on Constitutionalism and Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[37] Lihat Cass R. Sunstein, Constitutions and Democracies: an Epilogue, on The Politics of Omission on Constitutionalism and Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[38] Philippe Nonet dan Philip Selzaick, Law and Society in Transition Toward Responsive Law, Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).

Tidak ada komentar: