Selasa, 07 Januari 2020

Ringkasan Dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia (halaman 97-246)


BAB II HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK
B. Transisi Politik Menuju Demokrasi
1. Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Kemunculan Negara-Negara Demokrasi Baru
Semenjak tahun 1970-an, telah terdapat gelombang pasang yang nyata dari demokrasi-demokrasi baru yang masa lalunya bersifat otoriter dan totaliter. Dalam mendefinisikan suatu visi tentang masa depan bagi penduduknya, bagaimanapun mereka harus berekonsiliasi dengan warisan masa lalunya yang berupa pelanggaran-pelanggaran HAM yang ditinggalkan oleh rezim otoriternya yang baru berlalu. Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua (hingga tiga) decade terakhir ini, kita melihat terjadinya revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari otoriarinisme menuju demokrasi telah terjadi di lebih 40 negara. Dalam beberapa kasus, termasuk di berbagai rezim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil inisiatif untuk mendorong transisi. Dalam kasus lainnya, transisi ini muncul dari negosiasi antara pemerintah dengan kelompok oposisi. Dan ada yang lahir dari digusurnya atau ambruknya rezim ototitarian. Dalam kasus yang sangat sedikit, ada intervensi Amerika Serikat dalam menjatuhkan kediktatoran dan menggantikannya dengan rezim yang dipilih rakyat.

 
Dalam pandangan Anthony Giddens, dalam semua upaya pembaruan politik, pertanyaan mengenai siapa subyek atau pelaku politik muncul dengan sendirinya. Jika program politik yang koheren bisa disusun, bagaimana penerapannya? Partai-partai demokrasi social pada awalnya muncul sebagai gerakan-gerakan social pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Neoliberalisme melancarkan kritik berkepanjangan mengenai peran pemerintah dalam kehidupan sosial dan ekonomi, kritik yang tampaknya menggemakan kecenderungan-kecenderungan dalam dunia nyata.
Dalam perspektif hukum tata negara, kecenderungan yang keempat telah pula menimbulkan diskursus tentang memudarnya batas-batas antar negara, yang kemudian cenderung membentuk suatu “bangsa tanpa negara.” Wacana mengenai rezim otoritarian juga terkait erat dengan terminologi totaliterisme. Negara totaliter bukan hanya sekedar mengontrol kehidupan masyarakat dengan ketat dan mempertahankan dengan tegas kekuasaan sebuah elit politik kecil yang despotic, ia bukan juga rezim seorang dictator yang haus kuasa. Dengan demikian negara totaliter adalah sebuah sistem politik yang dengan melebihi bentuk-bentuk kenegaraan despotic tradisional, secara menyeluruh mengontrol, menguasai, dan memobilisasikan segala segi kehidupan masyarakat.
            Dua rezim totaliter yang paling kondang abad ini, yang dibahas oleh Arendt dalam bukunya, adalah pemerintahan Nasional-sosialisme (“Nazi”) di bawah kekuasaan Adolf Hitler (1933-1945) di Jerman dan dalam kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah Jossif W. Stalin (1922-1953), yang kemudian menyebar dengan intensitas yang berbeda-beda ke negara-negara komunis lainnya di Eropa Timur (akibat Perang Dunia II), serta di Cina, Korea Utara, dan Indocina.
            Magnis Suseno menyimpulkan bahwa Arendt termasuk orang pertama yang mengarahkan perhatian pada kesamaan dua rezim yang perbedaannya hanya di permukaan. Untuk itu, ia memakai istilah totaliterisme. Tesis Arendt bahwa Bolshevisme dan Nasional-sosialisme pada hakekatnya merupakan bentuk totaliterisme, bersifat skunder kemudian diserang dengan tajam oleh kelompok Kiri Baru. Mereka melihat Stalinisme sebagai sosialisme yang tergelincir, sedangkan Nazisme difahami sebagai fasisme, dan fasisme sendiri sekedar sebagai fasisme, dan fasisme sendiri sekedar sebagai perkembangan ekstrem kapitalisme.
            Sehubungan dengan pernyataan Lowenthal bahwa rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan satu sama lain dari berbagai kasus, muncul beberapa hal yang layak dikemukakan secara khusus dalam bagian ini. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa walaupun factor-faktor internasional mungkin mengkondisi dan mempengaruhi jalannya transisi, namun para partisipan utama dan pengaruh-pengaruh dominan dalam setiap kasus tetap berasal dari dalam negeri. Mereka juga memperlihatkan pentingnya lembaga-lembaga, prosedur-prosedur dan forum-forum yang membantu melegitimasi para penguasa diskursus politik dalam masa transisi politik. Kasus-kasus tersebut menggambarkan arti penting dari kepemimpinan dan pertimbangan politis, dan pentingnya peran individu-individu dalam proses-proses historis yang kompleks. Ada pola-pola yang bisa diramalkan tentang bagaimana cara rezim sebelumnya runtuh, oleh sifat dan lamanya periode otoritarian, oleh sarana yang dipakai rezim otoritarian untuk memperoleh legitimasi dan untuk menangani ancaman-ancaman pada kekuasaannya.
2. Reposisi Hubungan Sipil-Militer
Menurut  Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian mempunyai kesamaan dalam satu hal: hubungan sipil, militer mereka tidak begitu diperhatikan. Tidak ada sitilah control sipil obyektif. Istilah ini mengandung hal-hal sebagai berikut:
a.  profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka;
b.  subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer;
c.   pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer dan akibatnya;
d.  minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer.
Dalam kediktatoran personal, penguasa melakukan apa saja untuk memastikan bahwa militer disusupi dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya. Dalam pemerintahan satu partai, hubungan sipil dan militer tidak begitu berantakan karena militer sebagai instrumen partai.
            Negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan serius untuk mereformasi hubungan sipil-militer, negara-negara tersebut juga harus membangun kekuasaan di wilayah public, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi lainnya, liberalisasi, privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju insflasi dan pengangguran, mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi, serta mengurangi ketegangan dan konflik antaretnis dan kelompok agama.
            Dalam negara-negara maju seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat, pemetaan kedua fungsi militer dan sipil sudah berjalan seimbang. Masing-masing bisa berperan sesuai dengan fungsinya, tidak tumpeng tindih dan intervensi. Kalaupun ada pengaruh, maka sipil mempengaruhi militer dan bukan sebaliknya. Karena yang berjalan adalah prinsip supremasi sipil, maka kebijakan politik yang ditempuh dan dijalankan pemerintah sipil berpengaruh pada langkah-langkah yang harus ditempuh militer.
3.  Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan Dengan Rezim Sebelumnya
Di Spanyol, dan sekurang-kurangnya dalam konteks tertentu di Polandia, rezim-rezim demokrasi baru telah mencari suatu kebijakan untuk menjadikan mereka sebagai suatu “negara bersih”, yakni, pencarian untuk mengubur masa lalunya dan untuk mendahulukan segala bentuk pertanggungjawaban terhadap masalah tersebut.
            Pengadilan sering dijadikan alat untuk kepentingan politik karena itu harus diasumsikan untuk kepentingan suatu pendapat bahwa segala tuntutan untuk kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan yang dilakukan oleh para dictator sebelumnya harus dilakukan di bawah kondisi-kondisi legitimasi yang ketat, dan didasarkan pada penghormatan terhadap aturan-aturan hukum. Hasil-hasil penelitian tersebut juga menunjukkan pula adanya suatu argument dari perspektif politik, hukum dan moral yang kuat yang dibuat bagi peran pengadilan-pengadilan pidana dalam menetapkan landasan bagi suatu tata demokrasi yang sungguh-sungguh direnovasi.
     4. Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer
            Tradisi politik dari negara-negara yang pernah diteliti antara lain menunjukkan adanya kecenderungan untuk terjadinya pengulangan kejadian oleh para politisi sipil yang menolak untuk menerima ketidakpastian dari proses demokrasi dan kemudian meminta bantuan kepada pihak militer untuk memberikan “alternative-alternatif penyelesaian”, dengan cara menyamarkan dirinya di balik penyuaraan harapan tentang pentingnya pengutamaan kepentingan nasional. Kenyataan yang ada di berbagai kasus menunjukkan bahwa pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada dukungan dari pihak sipil. Namun imaji tentang peranan pihak militer dan bagaimana manipulasi terhadap hal itu oleh kelompok sipil dapat ditransformasikan, merupakan salah satu kunci dari permasalahan-permasalahan pada masa transisi politik, dan merupakan suatu hal yang akan tetap bertahan dengan baik dalam fase konsolidasi demokrasi.
C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik
1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan
            Pembunuhan terhadap Steven Biko merupakan salah satu bentuk kejahatan diantara sederetan kekejaman yang mengerikan yang banyak terjadi selama diterapkannya sistem apartheid di Afrika Selatan.
            Konstitusi transisi Afrika Selatan telah secara eksplisit mengakui adanya suatu amnesti yang lebih kuat dan bertanggungjawab secara positif, dan menegaskan bahwa hal itu sangat dibutuhkan bagi pelaksanaan rekonsiliasi dan rekonstruksi Afrika Selatan, dan juga untuk memberikan suatu landasan yang aman bagi rakyat negara tersebut untuk lebih mementingkan pembagian-pembagian dan perselisihan-perselisihan dari masa lalu.
2. Makna Keadilan dalam Proses Rekonsiliasi
            Menurut Bronkhorst, jika masyarakat ditanya apakah para pelaku kejahatan serius atau pelanggaran HAM berat seharusnya dihukum, maka 99 persen akan menjawab “ya”. Itulah sebabnya mengapa banyak negara memiliki peraturan hukum pidana. Dan tentu saja yang lebih nyata sebenarnya hukum imternasional sudah mengandung beberapa peraturan khusus yang berkaitan dengan upaya penuntutan dan pemberian hukuman.
3. Perspektif Hukum Internasional
            Aspek lokal lebih didahulukan, karena salah satu hal yang memungkinkan tegak tidaknya aturan hukum adalah budaya hukum dan budaya hukum selalu merupakan suatu upaya pencapaian yang bersifat local. Bisa saja aturan internasional menegakkan ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan, namun penuntutan semacam itu tidak dapat menghasilkan suatu aturan hukum dalam suatu bangsa.
D. Pengalaman Beberapa Negara
1. Beberapa Negara Amerika Latin
a. Beberapa Karakteristik Transisi Politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan
            Faktor-faktor internasional lebih menguntungkan transisi politik yang terjadi di negara-negara Eropa Selatan. Perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan itu juga mendukung suatu prediksi yang lebih optimis perihal prospek penegakan demokrasi dan mungkin lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi di Eropa Selatan daripada di Amerika Latin.
     b. Beberapa Rezim “Otoriterisme Birokratis” atau “Tradisional”
            Amerika Latin memiliki unsur-unsur patrimonialis (dalam pandangan Weberian), dan dalam beberapa kasus bahkan sultanistis. Ini merupakan jenis rezim yang paling rentan terhadap transformasi revolusioner. Rezim Somoza yang pernah memerintah di Nikaragua, sebagaimana Rezim Batista di Kuba, dan Rezim Stroessner di Paraguay.
            Untuk lebih mendalami karakteristik transisi di Eropa Selatan, akan kita tinjau praktek transisi politik di Yunani dan Spanyol. Pada tanggal 21 April 1967, beberapa minggu sebelum penyelenggaraan pemilu nasional di Yunani, suatu kelompok perwira militer tingkat menengah telah mengambil alih pemerintahan dari Perdana Menteri George Papandreou. Pemerintahan junta tersebut menjamin untuk memegang kekuasaan secara sementara, menjaga control komunis terhadap pemerintahan, menghindarkan korupsi, dan mengembalikan Yunani ke demokrasi. Dalam realitanya, Kolonel George Papadopoulos, pimpinan dari rezim militer yang baru, mencabut keberlakuan konstitusi dan parlemen.       Papadopoulos kemudian mulai mensipilkan kembali pemerintahan dan mewajarkan kebijakan-kebijakannya. Pada tahun 1973, ia berjanji untuk menyelenggarakan pemilihan umum dan menginstitusionalisasikan konstitusi dalam tahun-tahun selanjutnya. Setelah terjadinya pembuabaran secara brutal oleh militer terhadap demonstrasi mahasiswa di Politeknik Athena pada bulan November 1973, Papadopoulos memberlakukan kembali hukum darurat perang. Brigadir Jenderal Demetrios Ionnides, Panglima Polisi Militer dan seorang anggota asli junta, kemudian menggantikan Papadopulos.
            Sedangkan di Spanyol, Jenderal Fransisco Franco muncul sebagai pemenang dalam Perang Sipil Spanyol pada tahun 1939, dan memproklamasikan suatu “negara totaliter dengan misi untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat”. Dalam masa 46 tahun kediktatorannya, dia mengkonsentrasikan dirinya sendiri pada beberapa peran, termasuk sebagai Perdana Menteri, Kepala Negara, Kepala Angkatan Bersenjata, Pemimpin dari Organisasi Politik Pemerintah dan Gerakan Nasional. Franco berjanji bahwa partai-partai politik yang merupakan pesaingnya tidak akan diijinkan lagi.
            Menurut Jose Maria Maravall dan Juliaan Santamaria, pada pertengahan 1970-an, Spanyol masih diperintah oleh suatu rezim otoriter yang represif dan ekslusif yang timbul dari Perang 1936-1939. Pada awal 1980-an didirikanlah suatu pemerintahan yang bertanggungjawab secara konstitusional dan politis di negara tersebut, dan beberapa pemilihan umum kemudian diselenggarakan, perlindungan terhadap HAM dan hak-hak sipil dijamin, dan suatu sistem partai politik yang kompetitif juga dibentuk.
c. Peru Sebagai Suatu Negara Otoriterisme “Populis”
            Meskipun peran sentral yang dimainkan angkatan bersenjata atau kalangan militernya membedakan kasus Peru dari bentuk-bentuk populisme Amerika Latin yang lebih tua dan tipikal. Peran-peran sentral dimainkan oleh gerakan-gerakan politik sipil yang diarahkan oleh kepemimpinan yang sangat dipersonalisasikan, menurut Cotler, Peru tetap termasuk dalam “keluarga” populis rezim-rezim itu. Di satu sisi, peran kelembagaan, seperti yang dipertentangkan dengan peran personal, yang dijalankan angkatan bersenjatanya memadai untuk memisahkan kasus Peru dari bentuk tradisional kediktatoran militer.
d. Perbedaan dengan Rezim Birokratik Otoriter
            Di antara perbedaan-perbedaan tersebut adalah orientasi antioligarkis dalam kebijakan rezim Peru. Niatnya untuk secara cepat memperluas industry dan peran ekonomi dan ketiadaan hasrat untuk menyingkirkan secara paksa sector rakyat (seperti pada rezim birokratik otoriter), melainkan untuk menggiatkan dan merangkum secara politis berbagai golongan di sector ini.
            Hal ini penting bahkan bila upaya ini, yang dalam pola populis yang tipikal diwarnai oleh bias-bias “antipolitis” yang inheren di angkatan bersenjata, hadir bersamaan dengan upaya dari atas untuk menggabungkan dan mengontrol perwakilan bagi sector rakyat. Sebagai konsekuensi dari orinetasi-orientasi ini, upaya militer yang populis di Peru, berbeda dengan rezim birokratik otoriter, tidak mendapatkan dukungan dari fraksi-fraksi modal perkotaan yang besar, atau dari sector pertanian yang dinamis. Rezim Peru sangat kurang sistematis dan kurang keras dalam penggunaan represi dibandingkan dengan yang digunakan rezim birokratik otoriter. Perbedaan penting lain antara kasus ini dan kasus rezim birokratik otoriter adalah bahwa sebagai reaksi atas kebijakan-kebijakan yang sangat radikal yang semula diterapkan di kalangan militer yang populis, kelas-kelas dominan Peru menuntut dengan serta merta pemuihan demokrasi politik.
 e. Beberapa Kasus Lainnya
            Kasus lainnya di Amerika Latin adalah Chile yang tergolong birokratik otoriter. Yang sudah dilakukan hanya langkah-langkah yang sangat terbatas, mudah dibalikkan, dna tidak pasti menuju liberalisasi. Rezim ini menunjukkan begitu banyak tanda-tanda kemerosotan tetapi tidak mau tunduk pada oposisi meluas yang telah ditimbulkannya.
            Di Meksiko terjadi perubahan mendalam di dalam sebuah rezim. Revolusi terlembaganya mirip kekuasaan birokratik otoriter dalam banyak hal, dan jelas bukan merupakan demokrasi politik yang pernah digambarkan sebelumnya.. Namun rezim Meksiko berbeda dari rezim birokratik otoriter dalam tingkat pelembagaanya yang relative tinggi dan dalam kemampuannya untuk menangani suatu masalah yang menghantui rezim birokratik otoriter: suksesi kepresidenan.



     2. Beberapa Negara Non-Amerika Latin
     a. Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Yunani
            Kejatuhan rezim otoriter Yunani pada tanggal 23 Juli 1974 telah membuka jalan bagi pendirian suatu pemerintahan yang demokratis dalam sejarah Yunani Modern. Pada intinya dapat dikatakan bahwa peranan para hakim dalam proses kembar dari transisi menuju demokrasi dan konsolidasi di Yunani. Keterlibatan kalangan yudisial dalam rezim baru untuk menyelesaikan soal keabsahan dari pendahulunya yang otoriter harus dipahami dalam konteks politik umum yang telah dijelaskan di muka.
       b. Konsepsi “Jalan Tengah” di Jerman dan Cekoslovakia   
            Mantan blok Komunis telah berjuang secara mati-matian untuk menemukan jalannya sendiri dalam berhubungan dengan warisan arsip lamanya yang kacau. Jerman bersatu dan bekas negara Cekoslovakia telah mengalami berbagai tingkat kebebasan dan akses kepada arsip rezim masa lalunya. Dengan demikian resolusi-resolusi yang dilakukan di kedua negara tersebut bersifat kompromistis, yang bersifat jalan tengah. Yakni tidak terjadi perusakan terhadap arsip masa lalu, namun juga tidak dapat dilakukan akses sepenuhnya terhadap arsip tersebut.
      c. Perspektif Beberapa Negara Lainnya
            Berbeda dengan transisi-transisi yang melalui proses negosiasi sebagaimana terjadi di Argentina dan Chile. Pemerintah Jerman dapat menggambarkan suatu keuntungan kelembagaan yang tidak dapat disangkal jika dibandingkan dengan berbagai negara bekas komunis, seperti Polandia, Hongaria, dan Cekoslovakia. Salah satu yang memperkuat Jerman adalah pengalamannya lebih dari 40 tahun dengan konsepsi negara hukumnya di Barat. Sebagai hasilnya ialah Republik Federal Jerman telah menawarkan suatu rekaman keadilan transisional yang tampaknya akan tetap tidak ada bandingannya dalam era paska komunis.
BAB III KEADILAN TRANSISIONAL
A. Pengantar
1. Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Baru
a. Menghukum Masa Lalu, atau Membiarkan Kaitan dengannya Tetap Eksis
            Pihak Jerman Barat, setelah mengalami suatu kbrutalan dan ujian diri yang berkepanjangan, kemudian muncul dengan sebuah model demokrasi. Bangsa Rusia membawa komunisme ke pengadilan, namun belum begitu melakukan banyak hal untuk melawan masa lalu mereka yang cenderung mendukung pemikiran Jossif W. Stalin. Afrika Selatan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Di Rwanda dimana sejumlah orang yang sedang menunggu untuk diadili, berupaya mencapai suatu keadilan yang tampaknya mustahil.
            Beberapa bangsa telah bereaksi terhadap masa lalunya yang kacau dengan cara menutup mata mereka secara kolektif. Austria misalnya telah lama menggambarkan dirinya sebagai “korban pertama” dari Nazisme, ketika hal itu masih sungguh-sungguh merupakan pasangannya yang digemari. Spanyol, mulai bergerak setelah Franco meninggal dunia. Dan di Uruguay, rakyat memberikan suaranya dalam suatu referendum untuk tidak menyelidiki pemerintahan militer yang penuh kekerasan yang berakhir pada tahun 1985. Beberapa negara lainnya telah mendapati kesulitan untuk memelihara amnesia historisnya di hadapan korban-korban yang terus menerus berjatuhan, seperti bangsa Jepang dan perlakuan mereka terhadap Cina dan Korea selama masa perang, atau bangsa Turki dan pembunuhan massal terhadap orang-orang Armenia.
b. Pencarian Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan
            Menurut pengamatan Daan Bronkhorst dalam konteks keadilan dalam masa transisi ini terdapat beberapa kata yang menarik untuk didiskusikan. Pertama kebenaran, kedua rekoniliasi, ketiga keadilan.
            Langkah-langkah yang diambil oleh sekitar 40 negara tersebut berkaitan dengan masa lalunya menunjukkan pentingnya upaya pencarian konsepsi keadilan transisional di masing-masing negara, karena kondisi masa lalu suatu negara kemungkinan berbeda dengan negara lainnya.
2. Empat Permasalahan Utama: Politik Memori
a. Empat Permasalahan Utama
1)  Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya?
2)  Tindakan-tindakan hukum apa yang memiliki signifikansi transformative?
3)  Apakah jika ada terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?
4)  Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar kearah liberalisasi?
b. Beberapa Sanksi Terhadap Kejahatan HAM Berat: Putusan Pengadilan Nuremberg
            Para terdakwa dituntut berdasarkan Pasal 6 dari Piagam sebagai berikut:
     Article 6: … The following acts, or any of them, are crimes coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual responsibility:
1)  Crimes against peace;
2)  War Crimes;
3)  Crimes against Humanity.
Berdasarkan Pasal 6 Statuta Roma, tindakan-tindakan sebagai berikut dapat diklasifikasikan sebagai genosida, selama tindakan-tindakan tersebut bertujuan untuk menghancurkan “seluruh atas sebagian” suatu kelompok bangsa, etnis, ras, ataupun kelompok agama. Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1)  Membunuh anggota kelompok;
2)  Menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota kelompok;
3)  Dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruhnya atau sebagian;
4)  Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok;
5)  Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) butir b Statuta, siapapun yang memerintahkan, memohon, ataupun membujuk orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat diklasifikasikan sebagai genosida, tanpa memperdulikan jabatannya.
c. Politik Memori
            De Brito, Gonzales-Enriquez, dan Aguilar menyatakan bahwa salah satu di antara permasalahan-permasalahan politik dan etika yang muncul pada masa transisi adalah bagaimana menghadapi berbagai hal yang berkaitan dengan represi masa lalu. Dalam bukunya Teitel berupaya untuk menggeser terminology revolusi dengan terminology peranan hukum dalam dalam masa perubahan politik.
3. Beberapa Wacana tentang “Transitology” dan “Consolidology”
a. Kemungkinan Kontradiksi antara Transisi dan Konsolidasi
            Dalam masa-masa awal dari transformasi rezim, suatu bentuk yang berlebih-lebihan dari hubungan sebab akibat secara politik tampak lebih dominan dalam situasi dari perubahan yang begitu cepat, penuh risiko, menggeser kepentingan-kepentingan dan tidak membatasi reaksi-reaksi strategis.
     Franz Magnis Suseno mengemukakan beberapa aspek tentang syarat-syarat keberhasilan demokrasi. Seni setiap demokrasi adalah memecahkan masalah perbedaan pendapat secara consensus. Dalam monarki dan kediktatoran penguasa secara sepihak memutuskan kebijakan negara. Dalam demokrasi hal semacam itu harus diputuskan bersama. Demokrasi yang stabil adalah demokrasi dimana terdapat consensus dasar yang kuat, bahwa semua hal diputuskan secara demokratis. Pernyataan dalam Pembukaan UUD yang menjamin kebebasan-kebebasan, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban paling dasar semua warga masyarakat.
B. Konteks Internasional pada Waktu Transisi
            Dalam dunia yang sempit ini, penyelesaian masalah keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu sumber yang saling mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan mereka-mereka yang berada di luar negeri. Menurut Kritz, pemerintahan-pemerintahan asing didorong untuk memainkan suatu peranan baik dalam bentuk pemberian perlindungan bagi mereka yang berasal dari rezim sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi mereka untuk diadili. Konsep penengah yang lain dari aturan hukum transisional adalah hukum internasional. Dalam periode perubahan politik, hukum internasional menawarkan konstruksi alternative hukum. Hukum internasional pun berperan sebagai konsep penengah untuk mengurangi dilemma dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas dari Pengadilan Nurenberg berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif.
C. Keadilan dalam Masa Transisi Politik
     Wacana tentang keadilan transisional umumnya dibingkai masalah normative bahwa beberapa respon hukum harus dievaluasi berdasarkan prospek mereka terhadap demokrasi. Dalam fungsi sosialnya yang umum, hukum berfungsi untuk untuk memberikan ketertiban dan stabilitas, namun dalam masa pergolakan politik yang luar biasa hukum berfungsi menjaga ketertiban di samping ia juga memungkinkan transformasi.
     Menurut Mahfud Md., mengemukakan dua pengertian politik hukum:
1.  Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah;
2.  Bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
D. Dilema Penerapan Aturan Hukum
1. Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan
            Dalam periode transisi politik yang substansial, timbul suatu dilemma tentang penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan bagi rezim yang menggantikan. Dilema transisional ini hadir dalam keseluruhan masa sejarah politik. Hal ini tergambarkan dalam pergeseran di abad ke-18 dari bentuk negara monarki ke republic, namun baru tampil beberapa waktu yang lalu dalam pengadilan-pengadilan yang dilakukan paska Perang Dunia II. Menurut Teitel, dalam periode transformasi politik, masalah legalitas adalah berbeda dengan masalah teori hukum sebagaimana ia muncul dalam demokrasi-demokrasi yang mantap dalam waktu-waktu yang normal. Terdapat suatu penyusunan dari pertanyaan-pertanyaan inti tentang legitimasi dari rezim baru, termasuk kondisi dan peranan dari pengadilan transisional. Pekerjaan transformasi seharusnya diletakkan pada pengadilan atau badan pembuat UU.
            Dilema keadilan transisional muncul dalam periode-periode terjadinya perubahan politik yang substansial. Ketika suatu sistem hukum mengalami perubahan yang terus menerus, tantangan terhadap pemahaman-pemahaman umum dari aturan hukum tampak sedang mencapai puncaknya. Beban transformasi ke sistem rule of law dalam beberapa konteks berpindah ke pengadilan, terutama pada mahkamah konstitusi.

2. Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan Persidangan Terhadap Para  Mantan Kolaborator Nazi
            Diselenggarakan persidangan Nurenberg yang pada intinya menyatakan bahwa aturan hukum mengandung arti ia juga memutuskan hubungan dengan rezim hukum Nazi, karenanya para mantan kolaborator Nazi harus diadili dengan dasar hukum yang baru.















TANGGAPAN
            Dalam masa transisi politik menuju demokrasi ada berbagai fenomena dan tata cara penyelesaian yang dilakukan oleh berbagai negara yang mengalaminya. Dalam buku ini hanya mengkhususkan transisi politk menuju demokrasi di Indonesia pasca orde baru, sebagaimana BJ. Habibie adalah Presiden pada masa transisi menuju demokrasi.[1] Apabila kita bergaul dengan teman-teman dari bangsa-bangsa yang mengalami masa lalu yang kelam sebenarnya bisa kita lihat bagaimana mereka akhirnya bisa melewati masa transisi politik tersebut di negara mereka. Semisal bagi pergaulan dalam dunia “beasiswa” di dunia. Di Inggris misalnya pada Universitas Cambridge[2] terdapat banyak bangsa, seperti dari Jerman, Polandia, dan Hongkong (meskipun Hongkong adalah negara yang berupaya untuk mengembalikan sistem demokrasi yang berjalan tertatih di negaranya), yang merupakan negara-negara dengan masa lalu otoritarianisme yang kelam, namun berangsur bisa melalui perlahan proses transisi tersebut.
            Persoalan Hak Asasi Manusia di masa lampau memang menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi sebuah negara khususnya Indonesia. Contoh realnya dengan kasus Papua (Wamena) bahwa belum diselesaikannya sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut membuat konflik di kawasan Indonesia Timur itu terus berulang sebagaimana disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rosita Dewi, Senin 19 Agustus 2019.[3]
Jika kita melihat negara lain transisi politik mereka benar benar bermula dari otorianisme yang kental, semisal berbeda dengan negara Jerman, Polandia, Cina, Korea, Turki, Spanyol, Uruguay, Rusia, Rwanda, Argentina, Chile, Cekoslovakia, Meksiko, Peru, Yunani, Afrika Selatan, Eropa Timur.[4] Indonesia masih berada di kondisi yang lebih baik pada masa orde baru. Indonesia tidak mengalami perlakuan otoriter dari pihak penguasa yang ingin menguasai rakyatnya sampai ke masalah apa yang harus dilakukan mereka secara detil dari hari ke hari. Tapi orde baru lebih kepada adanya ketidaktepatan dalam pengaturan pengangkatan dan pemilihan presiden dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga menyebabkan presiden bisa dipilih dan diangkat kembali hingga bertahun-tahun. Seperti tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.[5]
Sebuah rezim jika sudah berkuasa dan merasa aman tentu akan melakukan banyak hal yang akhirnya tidak baik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan sebab utama jatuhnya orde baru oleh Mahasiswa setelah adanya unjuk rasa menurunkan Presiden Suharto pada 1998. Dan kecenderungan menuju otoriter.
Kekuasaan otoriter memang dapat bertahan lama, dalam kasus Indonesia, kita melihat pemerintahan Soeharto yang lebih dari 30 tahun. Tetapi kekuasaan otoriter itu tak akan pernah bertahan selamanya. Pameo tentang “ratu adil” atau “enlightened despot” hanyalah kebetulan sejarah yang ditandai dengan lahirnya pemimpin yang baik budi, tapi sistem pemerintahan yang otoriter tak akan bisa berjalan baik dan efektif karena kekuasaan selalu akan korupsi, dan yang lebih penting lagi adalah karena tak ada oposisi.[6]
Penelusuran sejarah tentang realita kepolitikan di Indonesia sampai sekarang menunjukkan bahwa seantiasa terjadi pergantian, pegeseran, atau tolak tarik antara konfigurasi demokratis dan konffiguasi otoriter.[7] Semua konsitusi yang pernah dan sedang berlaku di negara Republik Indonesia secara resmi mencantumkan “demokrasi” sebagai salah satu asas kenegaraannya. Akan tetapi tidak semua rezim yang tampil di pentas politik menjalankan roda pemerintahannya secara demokratis.
Dari ringkasan HAM dalam Transaksi Politik di Indonesia bisa saya tanggapi yaitu masa orde baru dari sisi pelaksanaan hak asasi manusia, demokrasi, perwujudan negara hukum, konstitusi, upaya hukum terhadap pelanggaran HAM di masa lalu.
A. Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of Rights:
“...we should these truths to be selfevident; that all men are created equal; that they are endowed by their creator with certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice Cranston, 1983:3).[8]
Negara Indonesia adalah negara yang mengandung persatuan antara rakyat dan pimpinannya, persis seperti yang dimaksud oleh Soepomo dengan teori integralistiknya.[9]  Hal ini menurut Soekarno dan Soepomo. Dengan ini corak Indonesia sangat kolektivistik dan cenderung mengabaikan individualistik. Sementara Hatta-Yamin meskipun menerima kolektivisme, tetapi mengharuskan adanya imbangan unsur individualisme paham HAM.[10]
Konsep sosialis mulai dari Karl Marx, menurut L.Henkin, makna hak asasi tidak menekankan hak tehadap masyarakat, justru menekankan kewajiban terhadap masyarakat. Konsep sosialisme Marx mendahulukan kemajuan ekonomi daripada hak politik dan hak sipil, mendahulukan kesejahteraan daripada kebebasan.[11]
Namun pada akhirnya konsep sosialis ini konon senafas dengan paham komunis yang dijalankan oleh Adolf Hitler. Sehingga secara tidak langsung kurang mengenal adanya penerapan hak asasi manusia secara politik dan hak sipil. Pada akhirnya karena mendahulukan factor ekonomi dari hak pribadi sehingga cenderung adanya sikap-sikap otoriter dari penguasa.
Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970[12] harus ditegakkan dengan Undang-Undang ini. [13]
Montesquieau, pendukung kebebasan warga negara mengemukakan pandangannya tentang pembagian pemerintahan ke dalam tiga kekuasaan yang terpisah yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan tersebut yang dikenal dengan Trias Politica, memisahkan mekanisme, jalan, hubungan antara aparat pemerintahan secara tegas akan menciptakan sistem pemerintahan yang baik.[14]
Pada negara-negara otoriter biasanya tidak ada pemisahan kekuasaan tersebut. Kekuasaan hanya dipegang oleh eksekutif, sehingga tidak terjadi check and balance bagaimana seharusnya kekuasaan tersebut berjalan dengan berlandaskan kerakyatan. Pola ini memang disengaja, sebagaimana istilah otoriter sendiri lazim digunakan untuk menyebut kecenderungan sifat dan perilaku kekuasaan yang anti demokrasi. Sebuah konsep yang merujuk pada pemahaman tentang penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dengan pengendalian penuh atau nyaris penuh oleh eksekutif.[15]
Dalam konteks Indonesia pada masa orde baru banyak catatan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Presiden Suharto saat berkuasa, diantaranya sebagai berikut menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS):[16]
1.     Kasus Pulau Buru 1965-1966;
2.     Penembakan misterius 1981-1985;
3.     Tanjung Priok 1984-1987;
4.     Talangsari 1984-1987;
5.     Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998;
6.     DOM Papua 1963-2003;
7.     Pristiwa 27 Juli 1996;
8.     Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997-1998;
9.     Pristiwa Trisakti 12 Mei 1998[17];
10.  Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Apakah segala kejadian pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah dikarenakan secara konstitusi pun tidak diatur masalah hak asasi manusia tersebut. Yang menyebabkan ketiadaan peduli pemerintah akan kejadian tersebut semisal dengan membentuk Undang-Undang tentang HAM dan Peradilan HAM[18]. Yang mana baru dibentuk setelah jaman orde baru.
B. Demokrasi
Rousseau berpendapat bahwa terjadinya negara berdasarkan perjanjian masyarakat, perjanjian masyarakat itu cukup dengan satu faktum saja. Dalam perjanjian masyarakat setiap rakyat menyerahkan hak-haknya, kekuasannya kepada kelompok (rakyat secara kolektif). Dan kelompok inilah yang memegang kedaulatan (pendukung kedaulatan/gezag).[19]
Robert A. Dahl menjelaskan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung 8 hal sebagai berikut:[20]

Sebagaimana diketahui, pada umumnya para pakar konstitusi sepakat bahwa prinsip dasar atau idee dasar agar terselenggara pemerintahan yang demokratis adalah[21]:
a.  Bahwa kekuasaan pemerintah itu berasal dari rakyat yang diperintah (government by consent of the governed);
b.  Bahwa kekuasaan pemerintah itu harus dibatasi (limited govenment);
c.   Bahwa harus ada persamaan di hadapan hukum (equality before law);
d.  Bahwa pemerintah menjamin hak asasi manusia (guarantee of human rights);
e.  Bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan dengan jujur, langsung, bebas, dan rahasia.
f.    Bahwa jabatan pemerintahan harus terbuka untuk semua warga negara;
g.  Bahwa kekuasaan pemerintah itu harus dapat dilaksanakan dengan efektif, atau dengan kata lain, pemerintah harus punya sovereignity atau kedaulatan.
Sebuah negara dengan sistem totaliter tentu tidak memiliki ciri sebagaimana disebutkan di atas. Kekuasaan pemerintah pada saat orde baru dipilih oleh Parlemen.[22] Yang menjelaskan bahwa tidak ada kekuasaan pemerintah yang dipilih oleh rakyat. Rakyat hanya menjelma menjadi MPR. Wacana yang berkembang akhir-akhir ini adalah adanya usul dari Ketua DPR agar Presiden kembali dipilih oleh MPR.[23] Hal ini menandakan adanya wacana ingin mengembalikan pemilihan Presiden seperti jaman orde baru. Tidak adanya kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden.
C. Perwujudan Negara Hukum
            Negara hukum bisa ditinjau dari konsep Anglo Saxon atau Konsep Eropa Kontinental. Timbulnya negara hukum (Rechstaat : diartikan pula sebagai negara berdasar atas hukum) di Eropa merupakan suatu reaksi terhadap pemeritahan raja-raja yang absolut. Pada saat itu dikenal istilah negara polisi (Polizei Staat) yaitu negara yang menyelengarakan keamanan dan kemakmuran atau perekonomian. Namun negara polisi tersebut diikuti dengan keadaan pemerintahan raja yang absolut, maka akan tercipta suatu pemerintahan yang tiran dan mendasarkan kepentingan negara sebagai kepentingan raja. Mewakili konsep negara hukum Anglo Saxon, ahli konstitusi dari Inggris, A.V Dicey dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Study of The Law of The Constitution, mengemukakan 3 unsur dari Rule of Law, yaitu: [24]
a.  Supremacy of Law;
b.  Equality before the law;
c.   Constitution based on Individual Rights.
Setelah reformasi yaitu pada tahun 2004, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Dengan telah diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung dan terbentuknya berbagai pranata baru yang makin mendorong langkah-langkah menuju demokratisasi, tahap demi tahap bangsa Indonesia telah memasuki era pasca refomasi.[25]
D. Konstitusi dan Aturan di Bawahnya
Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham kostitusi terdiri dari:
a.  Anatomi kekuasaan tunduk pada hukum;
b.  Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
c.   Peradilan yang bebas dan mandiri;
d.  Pertanggungjawaban kepada rakyat sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.[26]
Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan “maskot” dari suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan negara meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan negara maka belum dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.[27]
Dalam perjalanannya semenjak disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 telah mengalami berbagai ujian, tantangan dan bahkan pergantian. Hal ini misalnya pernah terjadi pada saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, dimana diintrodusir adanya suatu konsep “negara hukum demokratis” (demokratise rechstaat), suatu konsep yang lazim diterapkan di dunia Barat yang bersistem parlementer.[28] Hari-hari yang panjang itu pun akhirnya sampai di penghujung perjalanan Orde Lama, yang oleh banyak kalangan dituding sebagai causa prima timbulnya berbagai penyelewengan di bidang politik, hukum dan ekonomi. Berbagai diskusi dan perdebatanpun segera diselenggrakan untuk memberikan koreksi terhadap berbagai penyelewengan yang terjadi di masa itu.[29]
Namun pada akhirnya Presiden Suharto pun lengser[30] dari jabatannya dengan tuntutan reformasi dari mahasiswa dan rakyat Indonesia pada tahun 1998, dikarenakan kelemahan konstitusi Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Jadi sebenarnya suatu kekuasaan yang tidak dibatasi waktu pun bisa menimbulkan permasalahan di negara dengan sistem demokratis sekalipun.
Konstitusi memberi peran utama dalam hal pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen tidak disebutkan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia. Pada Tahun 1999 dibentuklah Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua Undang-Undang merupakan implementasi Hak Asasi Manusia pasca reformasi dengan berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen.
Namun Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 mengalami permohonan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi.[31] Yang telah melahirkan Putusan Perkara No. 065/PUU-II/2004 yang dalam putusannya dimana menolak permohonan uji materil Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 pasal 43 ayat 1 yang isinya bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkan Undang-Undang ini, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM Adhoc. Pemohon mempersoalkan pengesampingan asas non-retroaktif. Karena kejahatan-kejahatan yang dikesampingkan dari asas nonretroaktif ini adalah “pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida[32] (Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Pasal 7).




[1] Reuters, Video Pengangkatan: BJ. Habibie, Presiden pada Masa Transisi Menuju Demokrasi, https://video.tempo.co/read/16344/bj-habibie-presiden-pada-masa-transisi-menuju-demokrasi, 8 Oktober 2019.
[2] Author, International Students, https://www.undergraduate.study.cam.ac.uk/international-students, 8 Oktober 2019.
[3] Muhammad Irfan, Pelanggaran HAM Masa Lalu di Papua Picu Konflik yang Terus Berulan, https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2019/08/20/pelanggaran-ham-masa-lalu-di-papua-picu-konflik-yang-terus-berulang, 8 Oktober 2019.
[4] Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: FHUI: 2018).
[5] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 7.
[6] Todung Mulya Lubis, Konsolidasi Demokrasi: Tantangan Reformasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 32, Nomor 2, Tahun 2002, hal 227.
[7] Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press:2012), hal 361.
[8] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[9] Lihat Floriberta Aning, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006).
[10] Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve:1994), hal 68-69.
[11] A. Masyhur Effendi, Op.cit, hal 21.
[12] Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Antara lain mengatur asas keluhuran harkat serta martabat manusia:
a.     Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
b.     Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal yang dengan cara yang diatur Undang-Undang;
c.     Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dana tau dihadapkan di muka siding pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
d.     Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang dana atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dana atau dikenakan hukuman adminsitrasi;
e.     Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
f.      Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
g.     Kepada setiap tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dana tau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
h.     Pengadilan memeriksaperkara pidana dengan hadirnya terdakwa;
i.       Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
[13] Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 22, Nomor 3, Tahun 1992, hal 247-248.

[14] Ibid, hal 29.
[15] Agus Sutisna, Mengapa Suatu Negara Menganut Sistem Otoriter?, https://www.academia.edu/9340442/Mengapa_Suatu_Negara_Memilih_Jalan_Otoritarian_, 7 Oktober 2019.
[16] Kristian Erdianto, Kontras Paparkan 10 Kasus Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto,https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Paparkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?page=all, 8 Oktober 2019.
[17] Rakhmad Permana, Mengenang Tragedi Trisakti: Martir Demokrasi yang Mati Ditembak Peluru Besi, https://news.detik.com/berita/d-4546001/mengenang-tragedi-trisakti-martir-demokrasi-yang-mati-ditembak-peluru-besi, 8 Oktober 2019.
[18] Republik Indonesia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[19] Azhary, Ilmu Negara, cet.5 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 18-19.
[20] Robert A.Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition, (New Haven: Yale University Press, 1971)
[21] Puteri Anggun Amirillis, Skripsi Sarjana Hukum, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Negara Republik Indonesia Pada Tahun 2004, (Depok: Universitas Indonesia, 2005), hal 11-12.
[22] Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 6 ayat 2.
[23] Christoforus Ristianto, Ketua DPR Usul Presiden Kembali Dipilih MPR, https://nasional.kompas.com/read/2019/08/09/21060691/ketua-dpr-usul-presiden-kembali-dipilih-mpr,
8 Oktober 2019.
[24] Abdul Bari Azed dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal 53-55.
[25] Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Depok: Pidato Pengukuhan Guru Besar FHUI: 2005, hal. 9-10.
[26] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2017, hal 1-2.
[27] Ciri-Ciri Pemerintahan yang Konstitusional: Memperluas partisipasi politik, memberi kekuasaan legislative pada rakyat, menolak pemerintahan otoriter, …dan sebagainya. Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, (Jakarta:Grafiti, 1995), hal. 16.
[28] Prof. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986), hal 8.

[29] Satya Arinanto, Demokrasi Berdasarkan Konstitusi: Mungkinkah Terjelma di Dalam Realita?, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 23, Nomor 3, Tahun 1993, hal 202.
[30] Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id/lengser.
[31] Republik Indonesia, Putusan Perkara No. 065/PUU-II/2004
[32] Republik Indoensia, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, Pasal 7.

Tidak ada komentar: