Senin, 20 Juni 2011

Pisahkan : "Masalahku atau Masalahmu?” (Sebuah pelajaran lama yang teringat kembali…)

Tulisan Almarhumah Suherlina Yusuf: 
siapa dia???
pernah kuposting di sini

Dalam hidup, kita tak pernah lepas dari masalah. Bukan hanya orang dewasa, namun juga anak-anak. Bagi orang tua yang memiliki anak, seringkali tak tega dengan masalah yang dihadapi buah hatinya, sehingga cenderung selalu ingin membantu mereka. Benarkah sebagai orang tua, kita harus selalu memambantu setiap masalah yang dihadapi anak-anak kita.



Kisah ini menceritakan pengalamanku, bagaimana repotnya aku membantu masalah yang dihadapi adik sepupuku. Dan setelah membantunya, aku baru ingat pelajaran & nasihat dari guru parentingku, Bunda Elly Risman,Psi tentang perlunya memisahkan masalah : masalah orang tua atau masalah anak ?



Selamat membaca...



***



“Kriiiing…kriiing…kriiing….”

Dering telp di rumah tante yang berteriak berkali-kali, sepertinya meminta kepada semua penghuni rumah untuk segera diangkat. Tante sedang di teras, berbincang dengan ibu penjual sayur yang baru saja dibeli daganngannya, kakak sepupuku sedang mencuci baju, aku yang sedang menggendong si kecil anak kakak sepupuku, tergopoh-gopoh segera mengangkat telp genggam di atas meja visi.



Ternyata dari kakak sepupuku yang lain. “Lin, td ade telp ke teteh dan bapak… minta tolong anterin kaos,celana training dan gesper ke sekolah. Lina bisa bantu ga hubungi temen lina yang tukang ojek untuk antar? Katanya ditunggu sebelum jam 9 lin. Makasih ya…” Begitu kurang lebih inti pembicaraan kami.



Deg..hatiku miris. Ya Allah… ini untuk kesekian kalinya, adik sepupuku ketinggalan keperluan sekolahnya. Entah sudah berapa kali ia mengalaminya. Yang jelas… baru saja skitar 3-4 minggu yang lalu, tante cerita kepadaku, bahwa putra bungsunya itu minta diantar berkas-berkas sekolah yang akan dilegalisir. Eh, sekarang kejadiannya terulang kembali. Hari ini om, yang biasanya mengantar barang2-barangnya jika tertinggal, sedang pergi keluar.



Setelah menaruh telp hitam di tempatnya, ingatanku tertuju pada pak kumis, tukang ojek yang mangkal di pasar klender dekat rumah mertuaku. Kebetulan, aku pernah meminta no.hpnya, untuk jaga-jaga, siapa tau aku butuh ojek.



Beberapa menit setelah telp itu..tante masuk ke dalam rumah, karena ibu penjual sayur telah pamit pergi. Kuceritakan kepada beliau tentang telp dari teteh. Tante terlihat sedih. Yaa.. aku tau bagaimana perasaan beliau. Tante pasti sedih karena si bungsu belum juga bisa mandiri. Padahal, beberapa bulan lagi ia harus bisa hidup sendiri, jika diterima di perguruan tinggi di luar jabodetabek. Ah, adikku…



Sementara tante sedang menyiapkan barang pesanan adik sepupuku, aku cari-cari nama pak kumis di hp. Alhamdulillah, no.nya masih ada. Segera kuhubungi pak kumis. Bunyi nada sambung pun terdengar. Namun, berkali-kali ku tekan tombol redial, tetap saja tak ada ada respon dari seberang sana. Aku ingat pernah juga menyimpan no.hp abang ojek di pangkalan lain yang jg dekat rumah mamah. Setelah beberapa kali ku hubungi, hasilnya sama saja. Nihil!



Waktu di jam dinding menunjukkan pukul 8.15. Aku bingung. Bagaimana nih, sebentar lagi jam 9? Kalau tidak ditolong, kasihan si ade... Bisa saja ia mendapat hukuman dari gurunya. Otakku terus berfikir. Aha! Aku ingat, di dekat rumah ibuku juga ada pangkalan ojek. Dan ada si joko, yang pernah mengantarku ke rumah tante. Segera saja ku telp rumah, untuk meminta tolong kepada adik perempuanku untuk pergi ke tukang ojek. Ternyata ia sedang memasak, sehingga akhirnya ibu yang pergi ke pangkalan ojek. Duh, sebenarnya aku tak enak sekali meminta tolong kepada beliau. Tapi, bagaimana lagi, ini sudah usaha terakhir.



Tak lama kemudian ibu mengabari bahwa joko tak ada di pangkalan. Beliau juga sempat mendatangi rumah joko yang tak begitu jauh dari pangkalan, untuk meliahat apakah ia ada disana atau tidak. Karena tak ada, akhirnya ibu kembali ke pangkalan ojek, mencari tukang ojek lain dan meminta no.hpnya, untuk diberikan kepadaku. Ya Allah… hatiku jadi semakin merasa tak enak dan sedih, karena telah membuat repot ibuku. Maafkan aku ya bu…



Akhirnya kuhubungi, no.hp tukang ojek yang diberikan ibuku. Kutanyakan kepadanya apa ia bisa mengantar barang ke SMU di pulomas, di tengah-tengah hujan begini? Alhamdulillah, ia bersedia. Segera saja, kuminta ia datang ke rumah tante, yang tak begitu jauh dari rumah ibu. Tentunya, aku pun memberi tahu rutenya, karena ia belum pernah ke sini.



Hanya sekitar 10 menit, tukang ojek itu datang, dengan pakaian yang agak basah, karena tak memakai jas hujan. Ya Allah, aku jadi kasihan melihatnya. Apa tak kedinginan dia? Sebelum aku serahkan barang & kertas yang berisi rute ke tempat tujuan, aku menawarkan kepadanya pinjaman jas hujan. Ternyata dia menolak, karena ia juga sudah punya. Dan ia pun segera memakainya. Ya ampuun.., kenapa dia tak memakainya dari awal perjalanan?



Setelah ku memberitahu rutenya, aku sampaikan kepadanya untuk menitipkan barang milik adikku itu ke satpam. Biar nanti, adikku yang akan mengambilnya. Segera setelah uang jasa ojek kuberikan, bapak bertubuh gemuk segera meluncur pergi. Alhamdulillah….selesai juga akhirnya. Hatiku lega. Mudah-mudahan bisa segera sampai di tujuan, sebelum jam 9. Sekitar dua puluh menit berlalu, tepatnya pukul 9 kurang 5 menit, sebuah pesan tertera di hpku : mba..sudah saya kasih ke pak satpam. Alhamdulillah…aku kembali mengucap syukur.



***



Setelah mengurusi permintaan adik sepupuku, aku mengambil sarapan. Di tengah-tengah setiap suapan, pikiranku melayang mengingat kejadian tadi. Satu demi satu bayangan melesat di benakku. Sambil fikiranku mambayangkan kejadian tersebut, tanganku mengambil telepon genggam. Kulihat kembali sms-sms dari adikku tadi pagi. Ya, tadi pagi, sambil aku berusaha menghubungi beberapa tukang ojek, aku juga sempat ber-sms dengannya.



Lina : De.. apa lagi yang mau disiapkan? Kaos, celana, gesper. Ada lagi? Temen teteh mau antar ke sekolah

Ade : Kalo ngerepotin ga usah aja teh

Lina : Yaa..gmn sih de, orangnya kan udah dihubungi

Ade : Oya, udah. Kalo g ngerepotin mah lanjut aja



Duh, sebenarnya sempat sedih juga membaca sms itu. Dia tak tahu, bagaimana repotnya orang-orang yang membantunya. Tadinya, aku mau jawab sms itu dengan kalimat-kalimat yang bernada “pengingatan & pesan/nasihat”. Intinya agar ia tidak membuat repot orang rumah, tidak mengulanginya lagi, dan harus bertanggung jawab sendiri. Ah, tapi aku batalkan niat itu. Karena aku tak ingin “tembak di tempat”. Aku ingat betul pesan guru parentingku, untuk tidak langsung menyalahkan atau menasehati anak ketika anak tersebut sedang bermasalah. Lagipula, jika aku kirim sms yang panjang-panjang, pastilah tidak akan masuk ke dalam otak adikku, karena fikiran laki-laki itu cenderung ‘to the point’.



Aku juga sedih, karena di sms adikku itu, terkesan ia tak merasa bersalah. Tapi.. ya sudahlah. Toh, aku tak mencari permintaan maaf atau ucapan terima kasih darinya. Niatku hanya ingin membantunya, karena pasti ia akan mendapat hukuman dari gurunya. Untung saja, yang ketinggalan hanya kaos olahraga. Bagaimana kalau yang ketinggalan adalah barang yang benar-benar penting, seperti kartu ujian ?



Ups… tiba-tba, fikiranku terusik dengan pertanyaan : Lin, bener ga sih tindakanmu membantu ade? Apa ya dampaknya terhadap dirinya? Mengapa selama ini, ia berkali-kali mengubungi keluarga di rumah untuk diantar barangnya yang tertinggal atau lupa tak terbawa?



Aku terus merenung mancari-cari jawabannya, sambil kubuka-buka kembali folder parenting yang ada di otakku. Aha! I got it. Ya, aku ingat Bunda Elly pernah menjelaskan tentang kasus yang sama dengan adikku ini.



Dalam sebuah seminarnya yang bertema : 10 kesalahan orang tua yang tak sengaja dilakukan dalam pengasuhan anak, kesalahan 8 adalah : Tidak Memisahkan Masalah Siapa. Seringkali, tanpa disadari kita sebagai orang tua, tidak memisah-misahkan berbagai persoalan yang ada. Apakah ini masalah anak atau masalah orang tua. Terkadang, kebanyakan dari kita, karena kasih sayang yang besar dan jiwa naluriah sebagai sosok yang ingin melindungi dan membantu, kita sering tak tega jika anak mengalami masalah. Sehingga secara otomatis, kita selalu ingin membantu buah hati kita yang sedang kesulitan itu.



Bunda mencontohkan, ada seorang anak SD yang menghubungi ibunya, karena buku PR nya tertinggal.



Anak : Mama… ada di rumah kan sekarang?

Mama : Iya nak, tapi mama sebentar lagi mau berangkat nih. mama mau rapat RW

Anak : Kalau kakak ma ?

Mama : Ya, masa kamu lupa. Tadi pagi kan kakak ikut ayah, minta diantar ke tempat les. Emang ada apa sih nak ?

Anak : Gini ma.. Sebentar lagi kan jam pelajaran matematika. Tapi, tenyata buku PR ku ketinggalan di atas meja TV mah. Tadi malem aku taro disitu abis ngerjain. Mama ke sini sebentar ya.

Mama : Ya ampun de.. kok bisa sih ketinggalan ? Mama ga bisa nih. Sudah mau berangkat. Mama ga enak lah kalau telat.

Anak : Yaaa… Mama, masa tega banget sih sama aku. Kan Pak Budi galak banget kalo nyetrap. Nanti kalo aku di suruh berdiri didepan kelas bagaimana? Gini aja deh ma, mama ke pangkalan ojek deket rumah kita sebentar, trus mama suruh deh tukang ojek kasih bukuku ke sekolah.

Mama : Yaa, nak... Mama kan mau perginya ke arah sebaliknya. Mama ga lewatin pangkalan ojek

Anak : Kan cuma sebentar ma. Ayo dong ma....please...

Mama : Aduuh, kamu ini ngerepotin aja sih. Ya sudah, mamah ke sana. Tapi besok-besok, jangan kayak gini lagi ya?

Anak : Iya mah, iya. Aku janji deh.. Makasih ya ma...



Sama persis kan kasus yang ku alami dengan yang dicontohkan Bunda Elly. Aku yang sempat sedih menjadi tersenyum mengingat kejadian tadi pagi. Betapa aku yang sudah tahu teorinya, ternyata kebablasan juga. Ah, memang perlu proses pembelajaran untuk menerapkan teori ke dalam praktek.



Kembali aku mengingat-ngingat pesan Bunda Elly. Kata Bunda, sebenarnya kita tidak perlu membantu mereka, seperti pada kasus ibu & anak di atas. Jika kita terlalu sering mengulurkan tangan terhadap masalah-masalah anak, secara tidak langsung kita justru tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk bisa tegar dan mandiri dalam menghadapi konsekuensi atau resiko dari perbuatannya.



Hmmm...iya ya.. Bisa jadi yang membuat adik sepupuku tak juga bisa mengambil pelajaran adalah karena selama ini, ia tak pernah menerima konsekuesi dari hasil perbuatannya itu, misal ia diberi hukuman karena tak membawa perlengakapan sekolahnya. Dan karena adikku tak pernah mendapatkan konsekuensi itu, ia tak pernah memikirkan dalam-dalam tentang ’keteledorannya’. Akibatnya, kembali dan kembali lagi ia mengulangi kesalahan.



Bagi para orang tua, mungkin terasa berat membayangkan anak mendapat kesulitan/kesusahan dari konsekuensi itu. Karena konsekuensi yang diterima, pastilah tidak enak bagi anak. Sama seperti ku, dalam menangani kasus adikku tadi pagi. Aku tak ingin ia mendapat hukuman.



Bunda Elly mengingatkan, agar kita dapat ”tega”, kita harus yakin bahwa ”ketegaan” itu bukan karena kita tidak sayang kepada anak-anak kita, tapi karena kita memiliki misi dibaliknya. Yaitu kita sedang mengenalkan konsekuensi alamiah/logis atau resiko yang akan muncul dari setiap perbuatan dan juga mengajarkan tanggung jawab dalam memecahkan masalahnya sendiri. Bunda juga menambahkan, dengan merasakan konsekuensi dari perbuatannya, anak akan dapat belajar untuk lebih berhati-hati dan teliti dalam setiap perbuatan yang ia lakukan.



Selain itu, anak juga dapat belajar tentang arti ’penderitaan’ dan ’sikap tangguh’ dalam hidup ini. Karena tidak selamanya hidup seseorang itu lancar dan bahagia. Inilah yang akan menajamkan ”Adversity Quotien” (kecerdasan ketangguhan) dalam hidup. Anak yang memiliki AQ tinggi, akan menjadi "THE CLIMBER", yaitu orang yang kuat dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi rintangan, hambatan, dan tantangan dalam kehidupannya di masa depan. Dan para climber yakin bahwa mereka akan akan meraih kesuksesan & keberhasilan dalam hidupnya.





Subhanallah... hari ini, aku diberi pelajaran langsung oleh Allah, untuk terus belajar menjadi orang tua yang baik.

Terima kasih ya Allah, atas pelajaran ini. Semoga aku & suami, dapat terus belajar dan menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kami.

Terima kasih Bunda, atas nasihat-nasihat parenting yang kau berikan. Semoga Allah membalas setiap perjuanganmu di dunia pengasuhan dengan limpahan kebaikan & keberkahan. Aamiin..



***





Penghujung Februari 2011

Untuk adikku sayang, tulisan ini semata-mata bukan untuk membeberkan kesalahanmu ke muka publik. Tulisan ini teteh buat, sebagai pengingat bagi diri sendiri, dan sebagai contoh yang bisa diambil manfaatnya, bagi siapa saja yang sedang dan terus belajar menjadi orang tua yang baik.

Semoga kelak engkau menjadi seorang pemuda yang sholih, cerdas dan mandiri...


Tidak ada komentar: