Cerita
sebelumnya:
Tokoh Aku merasa
kesal dengan peraturan baru di kantornya. Jaringan internet diputus. Rapat
kantor telah memutuskan hal itu. Tokoh Aku ingin membicarakan ini kepada
atasannya, akan tetapi ia ragu. Sebagai seorang desainer ia membutuhkan jenak-jenak
di tengah tugas hariannya.bagian 1
Hmm...bau apa
ini?? Wah aroma capucino yang dibawa Tiwi si OG sungguh menggoda...
”Tiwi aku mau
capucino juga satu ya...jangan pakai gula”, aku pun memesan capucino.
Setidaknya bisa
mengurangi stress ku, lelah...mau chat pun rasanya tidak bersemangat. Terkadang
kawan chat ku banyak sekali kesibukannya sehingga tidak optimal mengobrolnya.
Itulah dunia maya, dunia yang penuh ketidakpastian. Entah mengapa dunia itu
cukup memberi obat untuk hati yang suntuk di tengah-tengah aku bekerja sebagai
seorang desainer.
Desain tata letak
buku ini harus segera kuselesaikan. Kujalankan tetikus itu, mencoba untuk
membangkitkan semangat kerjaku. Aku mencoba untuk tekun saja. Aku pernah
membaca bahwa kebiasaan itu bisa dibentuk dalam 2 minggu. Jadi tak menjadi
alasan sebenarnya bagiku untuk tidak semangat bekerja hanya karena jaringan
internet yang diputus.
Aku hanya harus
menyelesaikan deadline tata letak buku yang ini, lalu yang itu, lalu buku yang
satu lagi. Dengan masing-masing buku jumlah halamannya 300 halaman.
”Ini mas Didi
capucinonya”, kata Tiwi sambil memberikan secangkir capucino panas.
”Makasih ya
wi...”, kata ku.
Slurrrp...
kuseruput seteguk
capucino, uuhh panas. Lupa
aku kalo capucino Tiwi selalu dengan air panas mendidih.
Aku pun
melanjutkan kerjaku. Ya beginilah kerjaanku sehari-hari. Sangat menyenangkan
sebenarnya, karena aku memang hobi mendesain. Aku hanya belajar otodidak saja,
tidak kursus secara khusus. Alhamdullillah hasil belajar otodidak itu membawa
hasil yang lumayan. Bahkan aku bisa berprofesi sebagai desainer saat ini.
Pak Indra datang,
berjalan ke arahku. Ada apa
ya? Kerjaanku ada yang salah kah?
“Ini Di, bagian
ini harusnya di kanankan sedikit. Hurufnya di bold dan diaturlah Di supaya
terlihat lebih menarik. Siang ini saya tunggu ya?”, kata Pak Indra.
“Baik Pak”,
kataku.
Huf…bertambah
lagi kerjaanku. Buku yang harus diedit itu berjumlah 150 halaman, dan harus
selesai siang ini. Sedangkan buku lainnya diminta minggu ini harus selesai.
Inilah masalahku sebenarnya, pekerjaan di cantor over loaded, sehingga membuatku kecapean sendiri. Pekerjaan
mendesain yang sebenarnya Sangat kusenangi menjadi seperti kerja rodi saja.
Sepertinya aku
benar-benar harus membicarakan hal ini dengan Pak Heru. Mudah-mudahan dia mau
memahami masalahku. Aku pun berdiri. Inilah saatnya berbicara pada Pak Heru.
Aku tak bisa lagi bekerja dengan cara seperti ini.
Deg..di depan
pintu ruangan Pak Heru. Sudahlah jalan terus jangan mundur, ucapku dalam hati
saja. Kuketuk pintu ruangan itu, setelah dipersilahkan masuk kubuka pintunya.
”Permisi pak”,
ucapku
”Oya, silahkan
masuk Di. Ada apa? Ayo
duduk...”, kata Pak Heru.
Aku pun duduk di
bangku itu. Setelah menenangkan diri sebentar, aku pun mulai berbicara.
“Begini pak, saya
hanya ingin menceritakan sedikit masalah saya”, kata saya ragu.
“Ya, silahkan
saja Di”, kata Pak Heru
”Akhir-akhir ini
saya merasakan beban kerja yang terlalu menumpuk, ada 4 buku yang harus selesai
dan jatuh dead line nya pada akhir minggu ini. Yang satu buku harus selesai
siang ini, karena hanya revisi. Saya mungkin hanya mengeluh ya pak, tapi inilah
yang saya rasakan. Saya bekerja pada divisi kreatif tentu karena memang
kompetensi saya di bagian ini ya pak, khususnya desain tata letak buku dan
sampul. Tapi entah mengapa, ketika pekerjaan itu terlampau di desak untuk
segera ide-ide kreatif tak bermunculan. Ditambah jaringan internet yang
diputus, justru membuat kreatifitas saya serasa berhenti. Saya membutuhkan
istirahat pada jenak-jenak saya bekerja. Saya bisa mencari ide-ide dari
internet, ditambah hobi saya yang lain yaitu menulis di blog bisa disalurkan.
Hal ini penting karena berkaitan erat dengan bagian-bagian dari jiwa saya pak.
Pekerjaan kreatif tidak seperti pekerjaan lainnya, pekerjaan kreatif membutuhkan
hal-hal itu. Saya sebenarnya agak sungkan menceritakan ini kepada Bapak tapi
saya merasa harus menceritakannya segera ke Bapak, agar Bapak dapat memahami
kebutuhan saya. Saya tidak menuntut namun ini memang semacam kebutuhan dalam
bekerja pak”, kata saya.
Pak Heru hanya
diam mendengarkan ucapanku. Tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ada apa ini,
apakah beliau marah dengan kelancangan ku??
Bagaimana
kelanjutan kisah Didi? Apakah Pak Heru menerima keluhan Didi? Bagaimana
tanggapan Pak Indra setelah mengetahui Didi membicarakan hal ini ke Pak Heru?
Nantikan cerita selanjutnya dalam Dilema Seorang Kreatif (bag. 3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar