Selasa, 26 Juli 2011

Cerpen Bersambung: Dilema Seorang Kreatif (bagian 2)


Cerita sebelumnya:
Tokoh Aku merasa kesal dengan peraturan baru di kantornya. Jaringan internet diputus. Rapat kantor telah memutuskan hal itu. Tokoh Aku ingin membicarakan ini kepada atasannya, akan tetapi ia ragu. Sebagai seorang desainer ia membutuhkan jenak-jenak di tengah tugas hariannya.bagian 1

Hmm...bau apa ini?? Wah aroma capucino yang dibawa Tiwi si OG sungguh menggoda...

”Tiwi aku mau capucino juga satu ya...jangan pakai gula”, aku pun memesan capucino.

Setidaknya bisa mengurangi stress ku, lelah...mau chat pun rasanya tidak bersemangat. Terkadang kawan chat ku banyak sekali kesibukannya sehingga tidak optimal mengobrolnya. Itulah dunia maya, dunia yang penuh ketidakpastian. Entah mengapa dunia itu cukup memberi obat untuk hati yang suntuk di tengah-tengah aku bekerja sebagai seorang desainer.

Desain tata letak buku ini harus segera kuselesaikan. Kujalankan tetikus itu, mencoba untuk membangkitkan semangat kerjaku. Aku mencoba untuk tekun saja. Aku pernah membaca bahwa kebiasaan itu bisa dibentuk dalam 2 minggu. Jadi tak menjadi alasan sebenarnya bagiku untuk tidak semangat bekerja hanya karena jaringan internet yang diputus.

Aku hanya harus menyelesaikan deadline tata letak buku yang ini, lalu yang itu, lalu buku yang satu lagi. Dengan masing-masing buku jumlah halamannya 300 halaman.

”Ini mas Didi capucinonya”, kata Tiwi sambil memberikan secangkir capucino panas.

”Makasih ya wi...”, kata ku.

Slurrrp...
kuseruput seteguk capucino, uuhh panas. Lupa aku kalo capucino Tiwi selalu dengan air panas mendidih.

Aku pun melanjutkan kerjaku. Ya beginilah kerjaanku sehari-hari. Sangat menyenangkan sebenarnya, karena aku memang hobi mendesain. Aku hanya belajar otodidak saja, tidak kursus secara khusus. Alhamdullillah hasil belajar otodidak itu membawa hasil yang lumayan. Bahkan aku bisa berprofesi sebagai desainer saat ini.

Pak Indra datang, berjalan ke arahku. Ada apa ya? Kerjaanku ada yang salah kah?

“Ini Di, bagian ini harusnya di kanankan sedikit. Hurufnya di bold dan diaturlah Di supaya terlihat lebih menarik. Siang ini saya tunggu ya?”, kata Pak Indra.

“Baik Pak”, kataku.

Huf…bertambah lagi kerjaanku. Buku yang harus diedit itu berjumlah 150 halaman, dan harus selesai siang ini. Sedangkan buku lainnya diminta minggu ini harus selesai. Inilah masalahku sebenarnya, pekerjaan di cantor over loaded, sehingga membuatku kecapean sendiri. Pekerjaan mendesain yang sebenarnya Sangat kusenangi menjadi seperti kerja rodi saja.

Sepertinya aku benar-benar harus membicarakan hal ini dengan Pak Heru. Mudah-mudahan dia mau memahami masalahku. Aku pun berdiri. Inilah saatnya berbicara pada Pak Heru. Aku tak bisa lagi bekerja dengan cara seperti ini.

Deg..di depan pintu ruangan Pak Heru. Sudahlah jalan terus jangan mundur, ucapku dalam hati saja. Kuketuk pintu ruangan itu, setelah dipersilahkan masuk kubuka pintunya.

”Permisi pak”, ucapku

”Oya, silahkan masuk Di. Ada apa? Ayo duduk...”, kata Pak Heru.

Aku pun duduk di bangku itu. Setelah menenangkan diri sebentar, aku pun mulai berbicara.

“Begini pak, saya hanya ingin menceritakan sedikit masalah saya”, kata saya ragu.

“Ya, silahkan saja Di”, kata Pak Heru

”Akhir-akhir ini saya merasakan beban kerja yang terlalu menumpuk, ada 4 buku yang harus selesai dan jatuh dead line nya pada akhir minggu ini. Yang satu buku harus selesai siang ini, karena hanya revisi. Saya mungkin hanya mengeluh ya pak, tapi inilah yang saya rasakan. Saya bekerja pada divisi kreatif tentu karena memang kompetensi saya di bagian ini ya pak, khususnya desain tata letak buku dan sampul. Tapi entah mengapa, ketika pekerjaan itu terlampau di desak untuk segera ide-ide kreatif tak bermunculan. Ditambah jaringan internet yang diputus, justru membuat kreatifitas saya serasa berhenti. Saya membutuhkan istirahat pada jenak-jenak saya bekerja. Saya bisa mencari ide-ide dari internet, ditambah hobi saya yang lain yaitu menulis di blog bisa disalurkan. Hal ini penting karena berkaitan erat dengan bagian-bagian dari jiwa saya pak. Pekerjaan kreatif tidak seperti pekerjaan lainnya, pekerjaan kreatif membutuhkan hal-hal itu. Saya sebenarnya agak sungkan menceritakan ini kepada Bapak tapi saya merasa harus menceritakannya segera ke Bapak, agar Bapak dapat memahami kebutuhan saya. Saya tidak menuntut namun ini memang semacam kebutuhan dalam bekerja pak”, kata saya.

Pak Heru hanya diam mendengarkan ucapanku. Tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ada apa ini, apakah beliau marah dengan kelancangan ku??

Bagaimana kelanjutan kisah Didi? Apakah Pak Heru menerima keluhan Didi? Bagaimana tanggapan Pak Indra setelah mengetahui Didi membicarakan hal ini ke Pak Heru? Nantikan cerita selanjutnya dalam Dilema Seorang Kreatif (bag. 3).


Tidak ada komentar: