Kamis, 19 Januari 2012

Ketika Kutinggalkan Dia Pergi

Ah, kalau ingat kisah ini aku jadi pengen nangis. Bayangkan saja di hari itu dengan teganya aku sempat meninggalkan Umar di Jakarta dan aku terbang ke Ternate, Maluku Utara. Bukan hanya Umar saja yang ditinggalkan namun juga suamiku.
Awal aku mendapatkan pemberitaan bahwa aku ditempatkan di Ternate sebenarnya sudah sejak bulan September 2007, ketika itu aku sedang diklat auditor ahli di pusdiklat. Yang aku sesalkan mengapa aku yang sudah memiliki anak bayi dengan usia 3 bulan yang dipilih untuk ditempatkan di Ternate. Seribu rasa menyesak di dada. Namun apa boleh buat, toh perjanjian wajib kerja untuk dapat bekerja di instansi selama 4 tahun sudah kutandatangani dengan risiko membayar Rp10.000.000,00 dan bersedia ditempatkan di seluruh unit kerja se-Indonesia.

Aku diam menanggapi kenyataan penempatanku itu, bahkan diam itu melebihi diamnya seorang manusia paling pendiam sekalipun. Aku tidak protes ke Biro SDM, tidak meminta ini itu ke seseorang yang kukenal di BPK, tidak mengurangi semangatku untuk mengikuti diklat. Aku hanya mencurahkan segala rasaku kepada suamiku. Namun suamiku menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja. Ah, benarkah? Tapi kuyakin semua memang akan baik-baik saja.

Sebenarnya aku meninggalkan Umar tidak dari awal aku pindah ke Ternate. Pada bulan Januari 2008 aku membawa serta Umar ke Ternate, tanpa suamiku. Saat itu suamiku sedang menyelesaikan tesis S2 nya. Dia berhenti dari pekerjaannya dengan tujuan bisa lebih serius menyelesaikan tesis. Namun menurutku itu semua tak masalah. Semua itu justru membuatku kuat untuk tetap pergi ke Ternate. Tidak tergerak untuk mundur. Tapi kaaann? Tetep aja aku boleh sedih, boleh nangis, boleh merasa tak berdaya. Walaupun tak tampak dalam keseharianku yang terlihat tegar bukan???

Saat itu Umar berusia 6 bulan. Umar masih minum ASI. Aku harus membawa Umar apapun yang terjadi. Kami diantarkan Mamaku sampai Ternate. Kami telah mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari rumah kontrakan yang seharga 20 juta itu sampai peralatan rumah tangga. Uang belum punya karena itu kami meminjam uang mertua dahulu. Pokoknya aku harus aman dulu untuk tinggal di Ternate. Bicara tentang rumah dinas, perlu diketahui bahwa rumah dinas itu belum ada karena saat itu perwakilan Maluku Utara baru saja dibuka sehingga belum memadai segala fasilitasnya. Rumah kontrakan hanya dipakai oleh pegawai yang masih lajang secara bersama-sama. Untuk pegawai yang sudah memiliki keluarga tentu saja harus memisahkan diri.

Dua hari kami di Ternate kejadian tak mengenakkan terjadi. Tiba-tiba Umar diare, ya anak 6 bulan diare tentu saja aku panik. Kemungkinan diare itu sebab Umar masuk angin. Bisa juga karena penyesuaian dengan cuaca Ternate yang saat itu sedang banyak angin. Angin laut yang mengelilingi pulau Ternate membuat angin berembus kencang. Umar menangis terus menerus, alhamdullillah mama ku ikut. Tapi hanya sebentar karena di hari kelima mama pulang.

Malam itu tiba-tiba Umar menangis terus, perutnya kembung, cairan kuning dari dubur itu terus membasahi celananya. Aku panik sekaligus bingung. Mbak Dwi, temanku yang saat itu masih ikutan di rumah kontrakanku, segera menelpon Bapak Kasubbag SDM kami. Bahwa kami mau pinjem mobil untuk ke rumah sakit. Mobil pun akhirnya datang beberapa saat kemudian dengan disupirin mas Yudha. Berangkatlah kami ke RSUD. Apa daya RSUD tak siap menerima kami. Dokter tidak di tempat. Kami pun mencari rumah sakit lain. Kami menuju RS Anak Bunda. Tetep tidak ada dokternya. Tapi para medis bisa menangani. Umar dikasih resep. Akhirnya kata mamaku, "Puteri pulang duluan saja dengan Umar, biar mama yang ke apotik menebus resep dengan mas Yudha". Akhirnya aku dan Umar pulang. Umar masih menangis saja, perutnya masih sakit. Aku berharap obat segera datang dan Umar bisa minum obatnya segera. Tapi apa daya, apotik tak ada yang bisa ditebus resep. Apotik 24 jam hanya untuk membeli obat, jika mau menebus resep yang ada puyernya harus besok pagi. Ah, pening kepalaku. Anakku sakit tapi apotik tak bisa membantu meracikkan obat untuk anakku. Rasanya pengen pulang ke Jakarta saja. Baru dua hari saja sudah seperti ini, apalagi ke depan. Aku takut membayangkannya.
Di hari kelima mama pulang. Kepanikanku ketika Umar sakit ternyata tak berlanjut. Setelah minum obat yang ditebus ke apotik pada keesokan harinya Umar pun berangsur sembuh. Mama meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Walaupun mama juga khawatir sebenarnya. Suamiku terus mensuportku dari teleponnya jangan khawatir, apalagi mbak Sari assiten Mama di rumah menggantikan mama untuk datang ke Ternate. Seharusnya saat itu suamiku yang datang. Namun berhubung suamiku gagal ketika mempresentasikan tesisnya ia harus mengulang sidang. Jadilah mbak Sari yang datang dan dijanjikan akan pulang ke Jakarta setelah 3 bulan.

Aku lega dengan kedatangan mbak Sari. Namun ternyata tak terasa 3 bulan berlalu. Mbak Sari harus pulang ke Jakarta dan suamiku belum menyelesaikan tesisnya. Aku bingung, siapa yang akan menggantikan mbak Sari. Untuk diasuh oleh orang Ternate aku sendiri belum yakin, belum ada yang cocok untuk mengasuh Umar sementara aku bekerja. Beberapa hari kemudian kebetulan aku ditugaskan diklat ke Jakarta. Sekalian saja kubawa serta Umar dan mbak Sari. Rencana aku sekalian mau mencari asisten di Jakarta. Namun apa daya sulit sekali mencari asisten yang mau diajak kerja ke Ternate. Sampai hari terakhir diklat aku belum mendapatkan asisten. Aku berembug dengan suami, orang tua dan mertua. Akhirnya dengan pertimbangan keterjaminan Umar dan pertimbangan aku setelah kembali ke Ternate akan mendapat tugas mengaudit diputuskanlah untuk meninggalkan Umar di Jakarta.

Lemes rasanya. Di satu sisi aku membutuhkan pekerjaan ini disamping sudah menandatangani perjanjian kerja, namun di sisi lain aku ga mau berpisah dari Umar. Aku juga masih memberikan ASI saat itu. Umar baru berumur 9 bulan. Ini dia fotonya:

Umar 9 bulan, ketika itu akan disuntik campak. Itu sedang tidur di ruang suntik.

Coba bayangkan kalau kamu yang menjadi ibunya Umar apa sih rasa yang akan kamu keluarkan demi meninggalkan mata dengan wajah polos itu sendirian di Jakarta. Sementara Umminya harus pergi ke Ternate. Aku ga bisa berkata apa-apa lagi. Pagi ketika akhirnya aku harus pergi, kubawa baju-baju Umar dan umar pun kuselimuti dengan daster yang kupakai malam itu. Suamiku benar-benar tidak tega. Tidak tahu harus berbuat apa. Aku memang harus pergi. Aku tidak punya uang Rp10.000.000,00 disamping itu Bapak menguatkan bahwa aku harus siap dengan semua ini dan ini salah satu risiko. Suatu saat semua akan berjalan normal kembali.

"Percayalah Put", kata Bapak waktu itu. Aku pun mengangguk.

Aku pun berangkat ke bandara Soekarno Hatta dengan diantar suami. Sepanjang jalan pikiran berkecamuk. Namun kembali kukuatkan Allah akan menjaga semuanya. Allah maha Besar. Pasti akan ada jalan keluarnya. Di pesawat aku menangis, sampai di Bandara Baabullah Ternate aku menangis. Apalagi ketika sampai rumah kontrakanku. Aku menangis, karena aku ingat saat-saat Umar sakit, saat Umar bermain di ruang tamu, saat Umar mengacak-ngacak peralatan dapur, saat ia memberi makan ayam milik ibu pemilik kontrakan, dsb. Dan aku harus sendiri di rumah itu. Namun aku pun tak mampu jika harus membawa Umar tanpa asisten. Umar belum bisa berjalan saat itu, masih merangkak. Jika aku mandi saja, dia tidak mau ditinggal sendiri. Itu untuk hal sederhana. Bagaimana jika sakit? Dan sakitnya parah, bukan hanya flu, bagaimana jika malaria. Sedangkan temanku saja banyak yang terjangkit penyakit itu. Bahkan mencapai tahap malaria tropicana. Ternate notabene memang endemik malaria. Ketika kutelpon ke rumah ternyata mama mengatakan Umar menangis terus sejak aku pergi, hingga seminggu kemudian. Ya, sapihan ASI ku tentu membuatnya sesak. Begitupun aku, sakit sekali. ASI ku masih banyak saat itu dan penyapihan sebelum waktunya itu membuatku merasakan sakit yang luar biasa. Suamiku lah yang mengeloni Umar setiap malam. Suami yang membuatkan Umar susu dan mengeloni jika menangis.

Hingga 1 bulan kemudian aku pun mengaudit. Dengan mengaudit aku sedikit bisa melupakan kesedihan (mungkin), namun ternyata tidak. Tapi aku menguatkan diri bahwa jika aku sedih umar juga sedih. Saat itu aku mengaudit di Halmahera Barat. Tiga bulan pun berlalu. Dan Aku pun telah menyelesaikan tugasku, begitupun suamiku sudah selesai tesisnya. Sehingga bisa ikut aku ke Ternate beserta Umar. Rencananya suami akan mencari pekerjaan di Ternate. Ya, aku pulang. Meskipun perjuangan di Ternate dengan kemahalannya dan jauhnya dari keluarga namun aku sudah cukup senang dengan kepulanganku menjemput suami dan Umar.

"Umaaar Ummi datang!", seruku.

Hikmah dari pengalamanku ini adalah:
  1. Allah akan selalu bersama mereka yang mau berjuang;
  2. Jangan patah semangat walaupun kesulitan datang bertubi-tubi, sebab di balik kesulitan akan ada kemudahan;
  3. Selalu mendiskusikan setiap keputusan penting dengan keluarga, mereka adalah orang-orang pertama yang akan membantu kita keluar dari kesulitan;
  4. Jalani saja dulu semuanya, jangan takut;
  5. Pengalaman sulit akan manis untuk dikenang, percayalah!

“Puteri Amirillis berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi-Jeng Nia”. Disponsori oleh : "Jeng Anggie, Desa Boneka, Kios108"



click this!

28 komentar:

Unknown mengatakan...

Suatu proses perjalanan kehidupan yang memerlukan suatu keberanian tekat dan komitmen yang kuat ya Mba.

Sukses untuk tulisannya dan semoga menang dalam lombanya.

Sukses selalu
Salam
Ejawantah's Blog

entik mengatakan...

kacamataku jadi berembun baca tulisan ini..

sukses untuk kontesnya

Jiah Al Jafara mengatakan...

berat....

sukses mb' Pu :-D

Anonim mengatakan...

keluarga yang hebat, saya salut :)

Nchie Hanie mengatakan...

Hiks..ga bisa berkata-kata Pu..
SAlut buatmu..
dan acungin jempol...
bisa berbagi daintara pekerjaan dan anak ..

Kampung Karya mengatakan...

terharu membaca cerita ini, bahkan mataku lembab dibuatnya.. ya aku tak dapat membayangkan perasaan seorang Ibu yang harus meninggalkan anak yang masih kecil.. semoga sukses ya mbk..

blogwalking malemmalem

Abi Sabila Lagi mengatakan...

sepakat dan sependapat dengan kata-kata "Jangan patah semangat walaupun kesulitan datang bertubi-tubi, sebab di balik kesulitan akan ada kemudahan"

Semoga sukses di kontes, Mbak.

Alaika Abdullah mengatakan...

sebagai ibu bekerja, aku paham benar bagaimana rasanya harus berpisah jauh dari ananda tercinta yang masih sangat-sangat membutuhkan Umminya mba...

dan aku setuju banget dengan kelima hikmah dari pengalaman yang itu...

semoga menang ya mba....:-)

putiL mengatakan...

selalu ada solusi ^_^

Mak Cebong 3 mengatakan...

Mak Cebong 3 dataaannngg :-)

Hiks, bacanya ajah dirkyu ikut sedih, Say. Kebayang beratnya. Wong ekye seminggu ga ketemu Zahia pas ngelahirin Zafira rasanya sediiiiihhhh banget, apalagi dikau (kan ekye check in di hospital ampe 1 minggu gara2 banyak komplikasi)

Thanks udah berbagi kisahnya yah Jeng Pu. Langsung ekye mo nengok poto narsis dikau. Tercatat sebagai peserta ke-3 yang menyapu bersih semua cabang. Lup u somad! :-)

puteriamirillis mengatakan...

@Indra Kusumaiya pak. harus ada keberanian untuk memulai sesuatu.

puteriamirillis mengatakan...

@entiksini mbak aku elapin...semua sudah berlalu kok mbak...

umahnya fityanakifah mengatakan...

aku bisa merasakan mba Pu ketika umar diare...anakku juga waktu umur 7 bulan kena diare panik banget tp untungnya di jakarta byk RS yg siap siaga, gak kebayang deh mba Pu disana :)

mmm ada award di blog sy buatmu, mampir ya :)

puteriamirillis mengatakan...

@jiah al jafaraaku memang berat sih jiah..hihihi...

puteriamirillis mengatakan...

@HEЯRYsemoga tak hanya hebat tapi bisa mengambil pelajaran dari semua.

puteriamirillis mengatakan...

@Mama Oliveini juga masih berusaha terus chi..tks yaa...

puteriamirillis mengatakan...

@Kampung Karyamakasih yaa...

puteriamirillis mengatakan...

@Abi Sabila Lagisepakat juga abi sabila...

puteriamirillis mengatakan...

@alaika abdullahiya mbak,,keputusan itu sulit tapi harus dimulai.

puteriamirillis mengatakan...

@pri crimbunasal mau dijalani...

puteriamirillis mengatakan...

@Mak Cebong 3waah eyke nyapu bersih semua cabang ya jeng...makasiih yaaa mak cebong..

Della mengatakan...

Ah Pu, sedih banget bacanya..
Umar punya Ummi yang sangat tegar, dia pasti bangga :)

Gutlak kontesnya, ini tiga-tiga kategori disabet semua yak :D

DewiFatma mengatakan...

Membaca ini, tenggorokanku sakit, bak tersumbat batu. Sedih banget bacanya.

Makasih ya, Put. Sudah dicatat sebagai peserta di Buku Besar Keluarga Cebong :)

ongisnade mengatakan...

your post is nice.. :)
keep share yaa, ^^
di tunggu postingan-postingan yang lainnya..
sukses selalu yaa..

jangan lupa juga kunjungi website dunia bola kami..
terima kasih.. :)

Mak Cebong 2 mengatakan...

ya ampun mbak...aku ngga bisa ngebayangin seandainya ada diposisi itu...mgkin aku udah resign kali...bayar dendanya ngutang hihihi.....aku smpe nangis baca postingan ini...kasihan umar yach...ASInya hrs terhenti gara2 jauh dr umminya.....hikmahnya dalem banget mbak....emang cuma orang yg berani berjuang aja yg akan menang....

terimakasih mbak pu atas partisipasinya...sdh tercatat sbg peserta.....

al kahfi mengatakan...

si umar menggemaskan mbak,,,,tapi walaupun apapun itu resiko tugas yg jauh,, tetep syukuri hidup dan anugrah yg sdh di beri yg kuasa..

Lidya Fitrian mengatakan...

selalu ada konsekuensi didalam sebuah keputusan

ketty husnia mengatakan...

peluk mbak Pu biar dilapin airmataku :)