Jumat, 29 Mei 2020

Sedikit Perenungan Filsafat


1. Intro
Saya merasakan perang pemikiran yang luar biasa akan soal ini. Di satu sisi sebagai seorang Sarjana Hukum tentu saja pemikiran saya sangat positivis sekali, meskipun mungkin bisa saya atasi dengan pengetahuan saya soal filsafat hukum, yang kebetulan saya diberikan tugas makalah untuk membuat tema historical and antropological jurisprudence, dimana dalam pandangan secara umum adalah melihat sejarah perkembangan suatu masyarakat. Di sinilah seninya dalam memandang persoalan ini.
Saya pun juga mengawali pemikiran saya dengan bertanya kepada beberapa orang teman yang bukan Sarjana Hukum. Ada tanggapan dari dua orang teman, yang satu seorang dokter kecantikan, yang satu lagi seorang Ibu Rumah Tangga. Dan ternyata untuk persoalan kepercayaan ini mereka menanggapi dengan jawaban yang berbeda. Teman dokter mengatakan jika memang benar kepercayaannya ada dasarnya ya kenapa nggak. Asalkan bukan kepercayaannya yang tidak berdasar. Sedangkan teman yang seorang Ibu rumah tangga mengatakan bahwa terima saja aturan negara, walau tidak menjadi diri sendiri, kecuali kalau memang mau berusaha mendapatkan legitimasi.


Dari jawaban tersebut saya jadi punya semacam bahan dasar untuk memulai menulis.

Saya mencoba untuk mendekati sisi emosional yang terjadi pada  “ Seren Taun” Perjuangan Melepas Jati Diri Semu.” Bagaimana Ibu Ningsih selama 51 tahun dalam hidupnya tidak mendapatkan legitimasi, pengakuan, hak asasi, untuk dapat diakui keyakinan yang ada di dalam dirinya sebagai seorang manusia terutama ketika masuk di persoalan hak warga negara.


Saya perhatikan kembali dengan lebih detil sifat-sifat kepercayaan atau keyakinan yang dipegang oleh Ibu Ningsih. Penganut Adat Kahuruhun Urang (Akur) telah bertahun-tahun kehilangan identitasnya sebagai penganut kepercayaan tersebut, dimana dalam kolom KTP mereka terpaksa mencantumkan agama sebagai Islam maupun kristen. Masyarakat adat Karuhun Urang merupakan sebuah komunitas masyarakat yang masih memegang kepada ajaran leluhur mereka yaitu terangkum dalam Pikukuh Tilu yang merupakan budaya spiritual komunitas masyarakat AKUR yang menjelaskan mengenai bagaimana cara ciri sebagai manusia dan harus paham mengenai kewajiban sebagai manusia hidup di dunia ini. 

Sedikit tentang Minoritas
Saya sendiri secara pribadi menyadari hal ini langsung merefleksikan ke diri sendiri, saya adalah seorang penganut agama Islam yang memang merupakan agama mayoritas yang diakui oleh negara. Bagaimana semisal Islam bukan agama mayoritas yang diakui? apakah mau saya mencantumkan agama lain di KTP? Padahal saya tidak memiliki keyakinan akan agama tersebut. Saya seperti dibohongi, dipermainkan, dan merasa terkucilkan jati dirinya. Saya merasakan sekali sebagai kaum minoritas.
Bagaiamana mau percaya diri menimba ilmu, mencari pekerjaan, dan bergaul dengan masyarakat mayoritas pada umumnya sebagai penganut agama yang sah? Bagaimana bisa hidup menjadi diri sendiri, jika masalah keyakinan yang merupakan hal fundamental dalam diri manusia sudah dipasung? Saya pun kemudian merefleksikan hal ini pada posisi Ibu Ningsih dan komunitasnya.
Di sini ada sedikit pertentangan dengan hukum alam, dimana dianggap hukum itu berlaku sama untuk seluruh manusia dan seluruh masyarakat. Lalu bagaimana dengan minoritas seperti kaum AKUR ini?



Sedikit tentang Pemikiran Rousseau.
Rousseau memandang manusia modern sebagai manusia yang rasional. Manusia modern hanya mengakui hal-hal yang dapat diobservasi secara langsung dengan panca indera. Rousseau menekankan bahwa manusia modern mengabaikan faktor nonmaterial yang tidak dapat di observasi dengan panca indera tapi memiliki pengaruh dan mengambil andil dalam kehidupan, yakni perasaan dan emosi. Mengabaikan faktor non material ini menyebabkan dekadensi modal dan budaya, sehingga penting untuk menghadirkan unsur perasaan dan emosi dalam kehidupan untuk menghindari kehancuran. Pada awalnya, manusia alamiah sudah mencintai dirinya secara spontan. Manusia memiliki kedudukan yang sama antara satu sama lain. Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan bermasyarakat, manusia akan memastikan bahwa kebutuhannya terjamin. Hal inilah yang mendorong manusia memiliki sikap egois yang mementingkan diri atau golongan sendiri. 
Negara harus didirikan berdasarkan keinginan bersama. Artinya, tidak boleh ada paksaan. Keinginan bersama dalam mendirikan negara akan menjauhkan manusia dari nafsu yang mengancam keadaan natural. Rakyat harus mendesak pemimpinnya untuk memprioritaskan kepentingan bersama dan menjauhi tindakan yang dilandasi atas kepentingan sebagian kelompok atau orang. Pemikiran inilah yang mendorong revolusi Perancis. Negara harus menjamin bahwa warganya memiliki kebebasan yang sama. Kehendak negara dan kehendak warganya harus berada dalam kesepakatannya yang sama dan tidak bertentangan terhadap satu sama lain. 

Sedikit tentang Historical and Antropological Jurisprudence.
Akar utama dari paham aliran Historical Jurisprudence adalah pada pandangan bahwa pembelajaran mengenai suatu sistem hukum harus berawal dari sejarah dan pemahaman tentang pola-pola evolusi dari sistem hukum itu sendiri dari masa ke masa. Hukum dianggap menjadi suatu ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing bangsa dimana perkembangannya berbeda-beda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Historical Jurisprudence memberikan deskripsi dari hukum dalam konteks mistiknya, hal ini karena penerimaan terhadap perkembangan hukum secara naluriah tanpa rekayasa pikiran manusia. Hukum bukanlah suatu aturan pengikat yang abstrak seperti norma, hukum adalah bagian yang terintegrasi dalam dan dari masyarakat sebagai hasil dari suatu kebiasaan sosial. Perbedaan masa, antara masa lalu dan masa kini yang menjadi penyebab kedinamisan hukum yang berkembang mengikuti masa ke masa sejatinya adalah berjembatan suatu keadaan ekonomi yang kemudian menghubungkan para anggota tiap masa tersebut. Historical Jurisprudence memberikan deskripsi dari hukum dalam konteks mistiknya, hal ini karena penerimaan terhadap perkembangan hukum secara naluriah tanpa rekayasa pikiran manusia. Adapun tokoh yang paling terkenal dalam aliran ini adalah Friedrich Karl Von Savigny.  Berdasarkan pandangan utama yang dikemukakannya dapat disimpulkan bahwa sistem hukum tidaklah pernah lepas dari sejarah, hukum justru muncul dan berkembang di dalam dan bersama masyarakat.  Terdapat kesadaran akan waktu dan konteks dari keberadaan hukum. Hukum bukanlah permainan kelompok elit yang dapat memunculkan pemandangan imaginer atau seolah-olah rakyat dalam tatanan kehendaknya sendiri berlindung dibalik tameng mayoritas. Hukum merupakan bahasa dan seni pada saat yang bersamaan dimana bagian dari perwujudan budaya rakyat dalam memaknai hidupnya. Hukum juga kristalisasi dari kesadaran rakyat akan tiap waktu dan tempat berbeda dan juga suatu bentuk komunikasi jujur rakyat dalam bernegara.
Savigny menolak hukum kodrat. Baginya, sistem hukum merupakan bagian dari budaya. Hukum bukan merupakan hasil dari tindakan semena-mena seorang legislator tapi berkembang sebagai respons dari kekuatan adil yang ditemukan dalam semangat orang-orang. Volksgeist ini “unik, fundamental, dan terkadang merupakan realitas mistik”, diyakini oleh Savigny sebagai penghubung terhadap warisan biologis dari setiap orang. 
Awal kelahiran Antropological jurisprudence ini biasanya berkaitan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk “The Ancient Law”, yang secara ringkas menyatakan hukum berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inheren dengan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak. Maine merupakan penenentang dari perasionalisasian aliran hukum alam dan aliran utilitarian.
Dimana pada utilitarian lebih berbeda pendapat pada metode deduktif dalam memandang persoalan, melihat dari umum ke khusus, dimana metode ini memandang dahulu setiap orang adalah sama dalam memandang apa yang urusan masing-masing individu dan masyarakat. Menurut pandangan Maine setiap masyarakat itu berbeda. Tidak bisa apa yang baik untuk satu masyarakat dianggap secara umum baik untuk seluruh masyarakat. Masing-masing ada adat dan budaya maisng-masing. Bahkan sampai persoalan penyelesaian perselisihan. Jika aliran hukum alam pertentangannya dengan hukum alam dan lebih signifikan dengan manifestasi kontrak sosial. Didasarkan apa yang mereka anggap sebagai hukum alam yang tanpa ada sejarah.
Kontribusinya pada jurispudensi tidaklah spesifik secara empiris, sistematika dan metode sejarah. Menurut Sir Henry Maine, menurutnya, awal kondisi hukum adat istiadat masih merupakan yang tidak tertulis pendokumentasian adat istiadat dalam suatu bentuk tertulis baru dimulai pada saat Pengadilan di Westminter hall di Inggris dimulai dan selanjutnya hukum tertulis disebut dengan codes.

Sedikit tentang Hukum Adat
Mari kita melihat kembali mengenai hukum adat. Dalam buku klasik yang berjudul Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat yang ditulis oleh Prof.Dr.Soepomo. Pada buku tersebut dijelaskan bahwa kita mengenal sistem hukum barat (Eropa). Dalam sistem hukum Eropa tersebut adalah suatu hasil dari mental individualistik. Hukum itu adalah penjelmaan pikiran individualistik, pikiran abstrak, karena pada hakikatnya sumbernya adalah individu-individu yang terasing, yang perhubungannya hanya sambil lalu, ditetapkan oleh kemauannya yang meredeka. Dalam lingkungan pergaulan individu-individu yang berjalan sendiri-sendiri itu kepentingan saling berbenturan. Kepada masyarakat terserah tugas untuk melindungi kepentingan hukum semua orang. Sejak permulaan abad 20 di Eropa timbul aliran-aliran pikiran baru. Orang mulai melepaskan diri dari bentuk-bentuk zaman individualisme. Timbul kesadaran sosial, perubahan sosial mulai berlaku.
Van der Heyden mengatakan ukuran-ukuran yang wajar seperti akhlak yang baik, sangka yang baik, kepatutan dan kepantasan, makin banyak menjadi pertimbangan di dalam hukum. Eggens mengatakan bahwa pikiran hukum sipil dalam setengah abad kemudian ini berkembang ke arah pikiran yang konkrit. Kongkrit karena berkebalikan dari masa lalu yang menganggap semua benda yang dihadapi sebagai satuan yang berdiri sendiri-sendiri. Pikiran konkrit itu menyadari bahwa individu yang dipisahkan dari masyarakat adalah suatu khayal semata-mata. Sebab manusia hanya sungguh bisa menjadi manusia sebagai anggota dari satu atau lebih persekutuan. Dan persekutuan tidak bisa ada di luar manusia yang menjadi anggotanya.
Kebalikannya dalam hukum adat manusia sama sekali bukan individu yang terasing. Di dalam hukum adat yang primer bukan individu melainkan masyarakat. Masyarakat berdiri di tengah-tengah kehidupan hukum. Individu terutama dianggap sebagai suatu anggota masyarakat, suatu makhluk yang hidup pertama untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Tapi pengabdian kepada masyarakat ini bukan suatu beban, yang diberikan kepadanya oleh suatu kekuasaan yang berdiri di luar dirinya. Pengabdian itu tidak bersifat pengorbanan, yang harus diberikan oleh individu untuk kebaikan umum. Buat suku-suku bangsa di Indonesia yang belum dipengaruhi pergaulan hidup modern, tidak ada pertentangan antara masyarakat dan individu. Masyarakat dan individu bercampur baur, untuk itulah hukum adat mempunyai sifat kommunal (untuk bersama). Van Vollenhoven menunjukkan adanya sifat kommunal dalam kehidupan hukum di Indonesia.
Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah benar sandarannya hukum adat dipandang sebagai agama atau undang-undang agama? Van den Berg mengemukakan teori receptio in complexu. Menurut teori ini maka adat istiadat dan hukum suatu masyarakat adalah pengejawantahan seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Pendapat Van den Berg ini mendapat tantangan keras dari antara lain Snouck Hurgronje dan Van Vollenhoven. Menurut Snouck Hurgronje tidak semua bagian hukum agama diterima dalam hukum adat.   
Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan adat istiadat. Dimana masing-masing adat istiadat itu sudah eksis di Indonesia sejak jaman dulu. Sehingga hukum adat tentunya menjadi pertimbangan dalam membuat suatu peraturan. Permasalahan budaya setempat sebagai falsafah hidup yang ada jauh sebelum lahirnya pancasila dan karakter bangsa kini telah menjadi sorotan tajam oleh masyarakat. Sorotan tersebut mengenai sikap dan perilaku masyarakat Indonesia yang semakin meninggalkan budaya dan kearifan lokal sebagai ciri khasnya. Salah satu budaya dan kearifan lokal yang semakin merosot di kalangan masyarakat Indonesia.

Sedikit tentang Positivisme
Sebenarnya untuk membicarakan persoalan Ibu Ningsih dan Masyarakat penganut AKUR tidak bisa melepaskan begitu saja persoalan positivisme. Karena tanpa ada persoalan positivisme dinegasikan begitu saja maka selamanya akan lemah dan tak diatur secara kuat dengan hukum positif. Dimana sesungguhnya juga Soveigny dan Maine tidak menentangnya 100%. Hanya saja ketika suatu peraturan perundang-undnagan akan dibuat hendaklah jangan melupakan unsur sejarah dan unsur apa yang berlaku di suatu masyarakat itu sendiri. Seperti yang terjadi ketika Soveigny menolak Kode civil Prancis diberlakukan di Jerman, karena menurut Soveigny tidak sesuai jiwa bangsa Jerman. Savigny secara sukses menggunakan teori Volkgeist untuk menolak kode Perancis dan berpindah pada kodifikasi di Jerman. Sebagai hasilnya, hukum Jerman ada sampai tahun 1900, hukum Roman diadaptasi ke kondisi Jerman dengan memasukkan ide orang-orang lokal tertentu. Tetapi, Savigny bukan hanya seorang ahli teori, sebagai seorang sejarawan, ia menetapkan tugas bagi dirinya untuk belajar perkembangan hukum Roman mulai dari masa kuno sampai masa dimana negara berdiri sebagai pondasi atas hukum perdata dari Eropa. Ini membawanya mencapai hipotesis yang menyatakan bahwa semua hukum bersumber dari adat dan nantinya akan dibentuk oleh aktivitas yurisdiksi. Ia mengakui bahwa “Pada awalnya, sejarah otentik meluas, hukum telah mencapai karakter tetap, seperti bahasa mereka, sopan santun, dan konstitusi. Jadi memang Soveigny sendiri pun tidak 100% menetang hukum positiv.
Kembali ke persoalan positivisme. Dalam ajaran Aliran hukum positif lahir sebagai sebuah antitesa dari teori hukum alam. Aliran hukum positif memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lawgivers). Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Ciri-ciri Positivisme Hukum Menurut HLA Hart :
a.        Hukum Merupakan perintah dari manusia (Command of human being)
b.       Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum di satu sisi dengan moral di pihak lain, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang sesungguhnya.
c.       Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibefakan pula dari penilaian yang bersifat kritis.
d.       Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis dan bersifat tertutup, dan didalamnya keputusan-keputusan hukum yang tepat/benar biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, dan ukuran-ukuran moral.
e.   Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.

Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu
1. Aliran hukum positif analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin 
2. Aliran hukum murni (Reine Rechtslehre) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.
Aliran Hukum Positif Analitis
Hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur “perintah”. Pihak superior menentukan apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari superioritas memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil atau sebaliknya.
Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws) dan hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia kemudian dapat dibedakan lagi ke dalam hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya ini disebut juga dengan hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu:
a. Perintah (command);
b. Sanksi (sanction);
c. Kewajiban (duty);
d. Kedaulatan (soveregnity).
Aliran Murni tentang Hukum
Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsursosiologis, politis, historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Hans Kelsen. Jadi hukum adalah suatu Sollenskategorie (kategori keharusan/ideal), bukan Seinskategorie (kategori faktual). Namun bukan berarti Kelsen menolak adanya pengaruh unsur non yuridis 100% dalam hukum Ini adalah persoalan aliran murni tentang hukum itu seperti apa. Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Dengan demikian, walaupun hukum itu Sollenskategorie, yang dipakai adalah hukum positif (Ius Constitutum), bukan yang dicita-citakan (Ius Constituendum).

Sedikit tentang Agama dan Kepercayaan, serta Kependudukan
Saya memandang bahwa agama dan kepercayaan itu adalah hak yang mutlak harus dipenuhi. Karena ini merupakan keyakinan dari dalam diri masing-masing manusia. Apabila agama dan kepercayaan disampingkan, semisal yang terjadi pada Ibu Ningsih dan masyarakat penganut AKUR dikesampingkan keyakinannya yang sesungguhnya. Dianggap keyakinannya itu hanya adat dan budaya, bukan agama dan kepercayaan.
Sesungguhnya itu adalah agama lokal. Agama lokal adalah istilah yang disematkan pada sistem kepercayaan asli nusantara, yaitu agama tradisional yang telah ada sebelum kedatangan agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen di bumi Nusantara ini. Banyak kalangan masyarakat yang tidak lagi mengetahui bahwa sebelum kedatangan “agama resmi” masuk ke nusantara, setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli. Seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais juga dikenal dengan agama Cigugur (agama Ibu Ningsih dan masyarakat penganut AKUR) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; agama Tolottang di Sulawesi Selatan; Watu Telu di Lombok, NTB; Naurus di Pulau Seram, Maluku; dan lain-lain.
Dalam Negara Republik Indonesia, agama-agama lokal tersebut didegradasi sebagai animisme, penyembah berhala, ataupun hanya kepercayaan. Hingga kini tak satupun agama lokal tersebut yang diakui di Indonesia sebagai agama untuk dicantumkan dalam kependudukan seperti KTP, Akta Lahir, surat nikah, dll, demi mendapatkan hak-hak kependudukan.
Seiring berjalannya waktu dan zaman agama lokal ini semakin punah, hanya beberapa yang masih ada biasanya di wilayah-wilayah pedalaman, seperti di Cigugur, Pedalaman Papua dan Sumatra.


Sedikit tentang  HAM  

Men being, as has been said, by nature all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate and subjected to the political power of another without his own consent.

Merupakan kalimat indah dari seorang John Locke yang merupakan inti dari hak asasi manusia yang dimiliki oleh semua manusia di dunia ini. Manusia itu pada dasarnya secara alamiah adalah makhluk yang bebas, mempunyai kedudukan yang sama, dan merdeka. Tidak seorang pun dapat menetapkannya dalam suatu kekuasaan ataupun politik tanpa persetujuannya. Pembahasan mengenai hak asasi manusia selalu menarik untuk dibahas karena dengan hak inilah akhirnya setiap manusia dapat hidup dengan aman dan sentausa di dunia.
Selanjutnya apabila manusia itu sesungguhnya hidup bebas, sama, dan merdeka lalu mengapa di dunia ini manusia mau bergabung dengan orang lain. Apabila kita melihat nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam yang diciptakan pertama kali oleh Allah SWT pada akhirnya Nabi Adam pun diberikan pasangan dari sesama manusia, Allah SWT menciptakan Hawa sebagai istri Nabi Adam. Itu menandakan bahwa manusia itu secara alamiah adalah makhluk sosial yang meskipun seorang manusia itu bebas tetapi manusia suka hidup bersama dengan manusia lain.
Manusia secara alamiah bersatu dengan manusia lainnya dalam suatu komunitas seperti suatu perkumpulan yang terkecil yaitu keluarga. Bisa kita katakan bahwa keluarga adalah tempat seorang mulai hidup, terdiri dari seorang ayah, ibu, anak. Terkait hal ini John Locke memberikan perumpamaan keluarga adalah sebagai suatu sistem monarki. Contoh pemerintahan pertama adalah keluarga. Dengan ayah sebagai pemimpin keluarga, ibu dan anak mengikutinya. Ayah mengeluarkan aturan-aturan hidup. Ayah diberikan ruang untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam keluarga dan keluarga memberikan otoritas kepada ayah untuk melakukan hal tersebut. Seorang ayah tentunya memimpin keluarganya dengan cinta dan kasih sayang, dengan latihan dengan perhatian dan keahlian yang membuat keluarganya tumbuh dengan lingkungan yang bahagia, perpolitikan keluarga yang bahagia. Beda dengan suatu keluarga dengan ayah yang otoriter yang memaksakan apapun yang menjadi kehendaknya dengan sewenang-wenang, tanpa mempertimbangkan kebutuhan keluarganya, tanpa anggota keluarga bisa diberikan contoh kebaikan dan kesempatan untuk mengeluarkan pikirannya.
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of Rights:
“...we should these truths to be selfevident; that all men are created equal; that they are endowed by their creator with certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice Cranston, 1983:3).
Lalu apabila ada potensi suatu komunitas, dimana seorang manusia bergabung di dalamnya baik keluarga, masyarakat maupun negara, menjadi tidak baik dalam hal ini otoriter lalu mengapa seorang manusia tetap ingin bergabung dengan suatu komunitas, mengapa ia tidak hidup sendiri saja, masing-masing, sehingga tidak konflik yang terjadi dengan manusia lain.  Tetapi bertolak belakang dengan pertanyaan tersebut pada kenyataannya setiap manusia juga memiliki hak untuk mendapatkan rasa aman baik terhadap dirinya maupun hartanya. Dalam sebuah masyarakat maka seseorang akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat tersebut. Jadi inilah yang disebut bahwa hak asasi manusia itu sangat bergantung juga dengan manusia lainnya.
Dalam hak asasi manusia sendiri ada juga melihat budaya masyarakat setempat, jadi kita melihat bagaimana masyarakat berlaku, tidak bisa disamakan hak asasi bagi sekelompok masyarakat maka itu menjadi hak asasi bagi masyrakat lainnya. Disinilah letaknya juga pertentangan dengan hukum alam dalam pandangan deduktif.

Sedikit tentang Peran Negara
Saya tidak memahami mengapa dahulu jaman Belanda dan hingga jaman kemerdekaan awal dan saat ini negara tidak mau mengakui agama lokal ini? Apakah karena ketakutan akan adanya semangat lokal untuk berjuang mengusir penjajah ataupun setelah jaman kemerdekaan karena unsur politik? Semangat cinta tanah air dn nasionalisme. Mungkin saja itu menjadi alasan. Namun yang perlu kita telusuri mengapa ada agama yang diakui sedangkan yang lain tidak? Karena agama lokal pun dari penelitian yang ada juga memiliki ajaran-ajaran yang tidak sederhana bahkan unsur-unsur ajarannya sangat lengkap seperti pada agama Cigugur ini.
Sebagai agama lokal semestinya bisa dijadikan agama resmi dan ini kan dilakukan oleh pemerintah. Dengan dasar bahwa hak warga negara perlu dijamin untuk mencapai keutuhan bangsa dan negara.
Negara Indonesia adalah negara yang mengandung persatuan antara rakyat dan pimpinannya, persis seperti yang dimaksud oleh Soepomo dengan teori integralistiknya. Hal ini menurut Soekarno dan Soepomo. Dengan ini corak Indonesia sangat kolektivistik dan cenderung mengabaikan individualistik. Sementara Hatta-Yamin meskipun menerima kolektivisme, tetapi mengharuskan adanya imbangan unsur individualisme paham HAM. Hal tersebut menjadi pembahasan apakah perlu memasukkan hal hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 
Ada dua pandangan yang berbeda antara Soekarno dan Soepomo dengan Hatta dan Yamin. Pandangan Soekarno dan Soepomo menunjukkan bahwa tidak perlu diatur hak asasi manusia, bahwa Indonesia sangatlah kolektivisme cenderung mengabaikan individualistik. Sedangkan Hatta dan Yamin meskipun sama pandangannya bahwa Indonesia bersifat kolektivisme tetapi tetap harus ada unsur hak asasi manusia di dalamnya.
Sebenarnya permasalahan tersebut akhirnya terjawab dengan pandangan John Locke meskipun manusia adalah makhluk bebas, sama, dan merdeka (individualistik) tetapi tetap membutuhkan untuk bergabung dalam masyarakat karena faktor keamanan, yang sesungguhnya juga merupakan hak asasi manusia, bagi dirinya dan hartanya.
Lalu ketika masyarakat AKUR akhirnya bergabung dengan negara Republik Indonesia apakah akhirnya harus melepaskan keyakinan asli mereka dengan berpura-pura menjadi Islam atau Kristen dalam pencatatan kependudukan mereka? Ini yang harus dipikirkan pemerintah seharusnya. Bukan hanya membicarakan politik, bukan hanya membiarkan perasaan itu dihampakan, seperti pandangan Rousseau di awal tulisan ini.
Untuk menguatkan Pada tahun 2016, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 97/PUU-XIV/2016 akhirnya memutuskan menerima permohonan uji material terhadap Pasal 61 dan Pasal 64 Undang-Undang No.23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No.24 Tahun 2013, sehingga makna kata “agama” dalam kedua pasal tersebut dipahami mencakup pula “kepercayaan.” Dengan demikian, penghayat kepercayaan mendapat perlakuan yang sama seperti pemeluk agama “resmi” dalam hal identitas kependudukan. Putusan MK inipun belakangan memicu pro dan kontra. Dan hingga saat ini belum terealisasi dalam peraturan perundang-undnagan.

Permenungan dan Refleksi
Saya memikirkan ulang pendapat Rousseau sebagai manusia kita harus memiliki perasaan dan emosi dalam kehidupan untuk menghindari sebuah kehancuran. Sebagai penganut Akur tentunya Ibu Ningsih dan komunitasnya menaruh berbagai perasaan dan emosi ketika akhirnya dalam hidupnya menganut keyakinan tersebut. Pilihan agama dan kepercayaan adalah hak asasi dalam hidup manusia, bahkan tingkatnya adalah hampir sejalan dengan hak hidup. Karena hak hidup tanpa diberikan hak untuk menjalani agama dan kepercayaan dengan adanya pengakuan dari negara adalah hak asasi yang harus diperoleh setiap manusia. Mengapa harus ada pengakuan negara? Karena dengan adanya pengakuan negara maka segala hak nya sebagai warga negara akan dapat dipenuhi oleh negara. Semisal soal KTP sebagaimana disebutkan. Dimana untuk pemenuhan hak individu dalam negara maka KTP adalah suatu hal yang pokok dan wajib dipunya. Lalu apabila KTP tidak menunjukkan kepercayaan seseorang secara benar, apakah itu layak disebut sebagai KTP orang tersebut?
Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politk, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial, dan lain-lain atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law / folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme mekanisme pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).
Menurut pandangan antropologi, tempat hukum di dalam budaya masyarakat adalah sangat luas. Hukum mencakupi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk survival, hukum juga merupakan aturan yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metode untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
Kenyataan Indonesia terdiri dari beribu adat istiadat yang telah ada sejak zaman sebelum kemerdekaan termasuk agama lokal, seharusnya bisa merefleksikan kebutuhan seperti apa dari masyarakat sebenarnya. Bagaimana sebuah keadilan bisa dirasakan oleh masyarakat adat AKUR.
Acara seren taun pada era Suharto pernah dilarang sejak tahun 1982 selama 17 tahun. Apakah memang pada saat itu era Suharto sangat takut apabila agama kepercayaan yang sangat dipegang warga setempat karena bagian dari adat? Dimana dalam masyarakat adat maka kekuatan itu sangat kental dan bahkan individu melakukannya tanpa merasakan pengorbanan, tapi memang lahir tulus dari dasar jiwa karena merasa ada perintah dari yang Maha Memberi Perintah dalam tataran keyakinannya? Sehingga ditakutkan akan mengganggu sistem politik yang dibangun? Demikian perefleksian saya untuk masalah keyakinan masyarakat AKUR ini.

2. Intro:
Keadilan dan ketidakadilan itu realitas kehidupan, baik berada di pihak yang benar atau yang salah, yang membuat nyaman adalah empati. Integritas itu bukan sesuatu yang mudah apalagi jika kita belum pernah berada di posisi tersebut, apalagi kalau kenyataanya integritas kita di hal yang lebih remeh pun gagal. Ini bukan untuk menyindir siapa-siapa, tapi saya mencoba  merenung ke diri sendiri. karena saya pasti punya kesalahan. Hanya hal pertama sebagai seorang sarjana hukum sebelum menilai orang adalah menilai diri sendiri. Dengan itu fungsi sebenar dari hukum akan lebih tercipta. Jika tidak beribu sarjana hukum yang lulus dari fakultas hukum se-Indonesia akan hanya menjadi buih di lautan yang hilang seketika.
Saya melihat ada yang ganjil dari kasus nenek Minah ini:
1. Nenek Minah buta huruf;
2. Nenek Minah sudah mengembalikan tiga butir kakao yang dicurinya;
3. Nenek Minah sudah minta maaf.
Secara moralitas nenek Minah sudah menunjukkan itikad baik bukan? Dimana nenek Minah sudah minta maaf dan mengembalikan tiga butir kakao tapi karena nenek Minah tidak taat pada aturan di palang kayu yang dipasang di perkebunan, karena tidak bisa membacanya, lalu menjadi salah. Yang saya tahu juga majelis hakim memberikan putusan sambil menangis, dan sebelumnya jaksa yang memberikan ongkos ke Nenek Minah untuk menghadiri sidang. Jadi sebenarnya Hakim dan Jaksa tidakkah melihat suasana ketidakadilan terhadap Nenek Minah? Namun mengapa perkara tetap berlanjut dan akhirnya ada putusan memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Sedikit tentang Formalisme Hukum dan Positivisme
Sampai dengan tahun 1970 an, pendidikan dan praktek hukum di Amerika Serikat didominasi oleh paradigma formalisme hukum (legal formalism). Paradigma ini sama dengan positivisme hukum yang muncul di Eropa Barat pada abad 19 seiring dengan munculnya positivisme ilmu-ilmu sosial. Seperti hal nya positivisme hukum, mazhab formalisme hukum menganggap hukum sebagai sebuah sistem yang netral, obyektif, dan otonom. Hukum adalah norma yang berbeda dari politik, moral, kebudayaan atau kebiasaan sehari-hari, terutama ini adalah pandangan teori murni tentang hukum dari Hans Kelsen. Hans Kelsen juga merumuskan Stuffenbow Theory dimana pembuatan dan penafsiran hukum mulai dari konstitusi hingga hukum yang terendah. 
Dalam ajaran positivisme tersebut selama dalam Undang-Undang dalam hal ini KUHP sudah disebutkan unsur-unsur dari pasal 362 KUHP dimana nenek Minah melakukan pencurian dan bahkan barang bukti sudah ada berupa kokoa maka sudah terpenuhi untuk menyatakan nenek Minah bersalah. Namun bukankah ada kenyataan lain dimana nenek Minah tidak bisa membaca, karena memang buta huruf, tulisan di papan larangan mengambil kokoa di perkebunan? Dan nenek Minah pun sudah minta maaf, ditambah sesungguhnya Nenek Minah hanya mau menanam kembali untuk kebutuhan dirinya saja.

Sedikit tentang Ajudikasi Hukum
Untuk melihat persoalan yang terjadi pada kasus nenek Minah ini kita perlu sedikit mengulas mengenai adjudikasi hukum. Untuk memahami mengapa adjudikasi menurut aturan dianggap ideal yang harus dipatuhi oleh hakim seseorang harus memahami peran yang dilakukan para pihak berperkara dan penasihat hukumnya dalam proses peradilan. Proses ajudikatif adalah interaksi konstan antara hakim, profesi hukum/litigator, dan masyarakat luas. Pola manajemen yang proporsional meliputi:
Pertama, Hakim memfasilitasi penyaluran perilaku, sehingga menjaganya tetap dalam batas norma otoritatif. Ini membantu perencanaan kegiatan sosial dalam batas-batas hukum. Kedua, memberi penasihat hukum tentang kemampuan untuk menyelesaikan kasus di luar pengadilan. Ketiga, memungkinkan orang yang berperkara dan penasihat mereka untuk berpartisipasi secara bermakna dalam proses ajudikatif. Mereka dapat melakukan ini karena mereka tahu apa jenis bukti untuk mengemukakan argumentasi hukum dan batas-batas hukum. Sebagaimana didalilkan bahwa ajudikasi adalah suatu proses pengambilan keputusan yang menjamin bagi pihak yang terkena dampak dalam bentuk partisipasi tertentu. Bahwa untuk menyajikan bukti dan argumen untuk keputusan yang mendukungnya maka seseorang diberikan partisipasi yang dijamin secara kelembagaan.
Keadilan tidak hanya bergantung pada keberadaan aturan dan standar yang bisa diterima. Apabila kita melihat pandangan Dworkin, hakim selalu dibatasi oleh hukum. Konsepsi Dworkin tentang dominansi hukum adalah semesta hukum tanpa celah dimana dalam setiap ajudikasi, bahkan dalam apa yang disebut kasus-kasus sulit ada standar pengendalian yang harus diikuti oleh hakim. Keputusan yudisial dihasilkan oleh prinsip dan menegakkan hak-hak politik yang ada, sehingga pihak yang berperkara berhak atas penilaian terbaik hakim tentang apa hak-hak mereka.
Dworkin mengembangkan suatu teori adjudikasi dengan judul “Law as Interpretation”. Masalah utama analitis yurisprudensi adalah mengartikan proposisi hukum. Proposisi yang dimaksudkan Dworkin adalah pernyataan para Lawyer tentang hukum apa adanya dalam suatu pernyataan atau lainnya. Menurut Dworkin dalam setiap kasus selalu muncul teka-teki. Teka-teki itu mucul karena proposisi hukum menurut Dworkin terlalu deskriptif dalam arti terlalu melihat sesuatu yang ada dalam undang-undang. Bukan bagaimana keadaan hukum.
Esai Dworkin tentang hukum sebagai interpretasi dimulai dengan menunjukkan kegagalan positivisme hukum dalam melakukan penafsiran terhadap hukum yang terlalu deskriptif. Jika kita melihat pada kasus Nenek Minah terlihat bahwa hakim terlalu deskriptif dalam memandang kasus ini. Dinilai jika terbukti nenek Minah bersalah mencuri kokoa dan ada barang bukti maka itu bersalah. Padahal ada hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan yaitu bukti itu didapat setelah nenek Minah mengaku telah mengambil kokoa untuk ditanam sendiri, tidak ada itikad buruk apalagi ingin menyaingi bisnis dari PT. RSA.

Sedikit tentang Moral
Bisa kita perhatikan pendapat Fuller dimana ia berpendapat bahwa sistem hukum bersandar pada timbal balik diam-diam antara pemberi hukum dan subjek. Subjek harus diberi kesempatan yang adil. Dia tahu aturan yang harus ia ikuti dan dia diberitahu aturan mana yang akan diterapkan pada perilakunya. Pemberi hukum yang melanggar prinsip-prinsip legalitas menghancurkan pemahaman ini dan kehilangan legitimasi pemerintah. Legitimasi tentu saja merupakan nilai moral. Pelanggaran luas dapat menghilangkan semua legitimasi dan menghancurkan dasar moral pemerintah secara moral.
Ada perdebatan antara Hart dan Fuller konteksnya dalam hal apa yang dilakukan Pemerintah Nazi. Dimana menurut Hart hukum itu sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi hukum itu sendiri. Mempertahankan hal lain selain hukum tidak hanya menjadi masalah secara intelektual tetapi juga dapat mendorong masyarakat menolak mematuhi hukum. Bagi Hart, hukum tidak bermoral dan tidak ada moralitas terhadap hukum.
Pandangan ini dibantah oleh Fuller, bahwa menurutnya terlalu cepat mengakui bahwa tindakan tidak manusiawi atas dasar hukum itu sah dan boleh dilakukan. Menjadi catatan penting dari argumentasi Fuller bahwa adalah untuk mencapai tujuan hukum yang baik tidak harus selalu dengan hukum positif. Pada argumentasi ini Fuller berpendapat jika Nazi Jerman memiliki tujuan yang tidak bermoral dan tidak manusiawi, justru hukum yang berlaku digunakan untuk tujuan yang tidak bermoral.
Dari pandangan tersebut bisa kita tarik ke kasus Nenek Minah, dimana sesungguhnya Hakim menangis membacakan putusan dan Jaksa memberikan uang untuk ongkos Nenek Minah sidang. Lalu secara moral Nenek Minah sudah mengembalikan hasil curiannya dan mengaku bersalah, ditambah Nenek Minah tidak bisa membaca larangan di kebun PT RSA. Tapi tetap dinyatakan bersalah, moralitas semacam apa yang berlaku di sini? Bahwa hukum positif digunakan untuk tujuan yang tak bermoral.

Sedikit tentang Aliran Marxisme dan Hegel
Bagi Hegel, posisi pribadi seseorang menetukan status politiknya. Bagi Marx status ini ditentukan oleh hubungan propertinya dan perbedaan kelas masyarakat sipil menjadi perbedaan politik. Klaim negara untuk tampil sebagai kepentingan umum karenanya tidak lebih dari topeng untuk kpentingan kelas. Mereka yang tidak memiliki properti dan membutuhkan pekerjaan adalah kelas masyarakat sipil yang lebih rendah daripada dasar dimana lingkungan masyarakat sipil beristirahat dan bergerak. Sesungguhnya masyarakat sipil tidak bisa bergerak tanpa kaum buruh. Dimana sampai sekrang dianggap sebagai kaum marjinal.
Dalam kasus nenek Minah terlihat sekali hal ini. Dimana nenek Minah adalah buruh kebun dari PT RSA, kemudian mengambil 3 butir kokoa namun akhirnya mengakui kesalahannya dan menyerahkan kembali kokoa tersebut. Nenek Minah adalah kaum yang tidak punya kuasa dan termarjinalkan oleh putusan pengadilan yang lebih membela perusahaan. Yang saya tidak memahami apa motif sesungguhnya perusahaan, karena nenek Minah pun bukan orang kuat yang mungkin akan menyaingi usahanya jika menanam 3 biji kokoa itu. Ataukah ini hanya penunjukan ke publik sebagai orang yang kuat.

Sedikit tentang Realisme Hukum
Dalam pandangan realisme hukum yang dianut oleh para Guru Besar dan Lawyer diantaranya Karl Lliewellyn, Jerome Frank, Felix Cohen, Hermant Oliphant, Walter Wheeler Cook Underhill More, Hessel Yntema, dan Max Radin, realistis tentang bagaimana hakim memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya. Apa sebenarnya yang dilakukan hakim, menurut kaum realist, dalam memutus perkara bagaimana fakta dalam perkara tersebut menguatkan mereka, dan bukan karena aturan hukum menuntut suatu hasil yang khusus. Hakim sebagian besar “fast responsive” daripada “rule responsive” dalam memutuskan perkara.
Bagaimana hakim menanggapi fakta-fakta suatu perkara ditentukan oleh berbagai faktor psikologi dan sosial. Putusan akhir kemudian adalah hasil yang tidak begitu banyak “hukum” yang pada umumnya mengizinkan lebih banyak daripada hasil yang menjadi pembenar tetapi berbagai fakta psikologi, dari political idiologi sampai kepada aturan institusional, dan kepribadian hakim.
Joseph Raz dalam Practical Reason and Norms (1997) gagasan mengenai aturan personal lebih dari sekedar aturan dalam validitas yang diyakini seseorang. Jika kondisi yang harus dipenuhi sebelum seseorang dapat dikatakan memiliki aturan personal yang lebih ketat dibandingkan dengan yang berdasarkan keyakinan akan suatu aturan. Maka dimungkinkan bagi seseorang untuk percaya pada validitas aturan yang bukan aturan personalnya. Kita tidak akan terkejut mendengarnya percaya bahwa itu adalah suatu aturan. Kita juga tidak akan terkejut mendengarnya meminta maaf dan menjelaskan bahwa terlepas dari kepercayaannya bahwa ada aturan moral yang demikian, dia tidak bisa berperilaku sesuai dengan aturan itu.
Dari kasus nenek Minah terlihat bahwa hakim sama sekali tidak melihat faktor di luar undang-undang. Hakim hanya melihat dari sisi positivisme, tapi tidak melihat sama sekali dengan realisme hukum dimana nenek Minah sebagaimana sudah kami jelaskan di muka nenek Minah tidak bisa membaca, sudah mengakui kesalahan, dan sudah mengembalikan tiga butir kokoa yang diambilnya. Tidakkah ini menjadi dasar hakim memutuskan perkara ini. Jika dikatakan hakim menangis ketika memutuskan perkara dan jaksa memberikan uang Rp 50.000 untuk sangu Nenek Minah ke pengadilan, apakah itu tidak artinya pemahaman moral hakim dan jaksa sesungguhnya mengakui bahwa nenek Minah beritikad baik dan selayaknya dibebaskan? Namun mungkin pandangan positivisme begitu kuatnya sehingga menampikkan hakim terhadap faktor lainnya. Bisa jadi karena kebiasaan-kebiasaan pengadilan kita yang demikian.
Pada buku Problematika Hakim dalam Ranah Hukum Pengadilan Masyarakat di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Analisis dan Layanan Informasi dijelaskan mengenai berbagai problematika yang dialami oleh hakim dalam menjalankan fungsinya. Seperti yang sering didengungkan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di dunia, seharusnya hakim adalah seorang yang sangat dijunjung dan digugu oleh negara. Apalagi hakim adalah bagian dari judikatif yang merupakan bagian dari trias politika yang tentunya merupakan unsur utama suatu negara.
Begitu sentralnya peran hakim, oleh Sydney Smith digambarkan dengan Nation Fall When Judges Are Unjust. Di lain pendapat, B.M Taverne seorang pakar hukum negeri Belanda selalu menggambarkan hakim dengan pernyataan, berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik Undang-Undang pun. Namun pada arah yang berlawanan, hakim tetap manusia biasa. Jika melihat fokus kajian pada buku ini terdiri dari dua hal yang saling berkaitan. Pertama problem yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang menyangkut struktur kekuasaan kehakiman dan implikasinya terhadap kemandirian hakim.
Masalah hukum lain adalah soal pengaturan rekrutmen, promosi, dan mutasi yang tidak transparan. Mahkamah Agung terbukti kurang mampu melaksanakan tugas dan wewenang dalam hal rekrutmen, mutasi, dan promosi hakim secara objektif, termasuk pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua pengadilan. Di samping itu, pengawasan internal yang dilakukan Mahkamah Agung juga dinilai tidak berjalan efektif. Hal itu ditambah pula dengan buruknya manajemen perkara, sumber daya manusia, dan keuangan di Mahkamah Agung. Hakim seringkali tidak bisa melaksanakan tugas dengan independensi yang tinggi. Perubahan pengadilan menjadi satu atap tidak kemudian menjadikan para hakim menjadi benar-benar memiliki independensi yang tinggi. Justru kultur birokratisasi di lingkungan Mahkamah Agung pasca manajemen peradilan satu atap memposisikan pejabat birokrat Mahkamah Agung berperan sentral dalam nasib hakim nonpimpinan. Sejauh ini makna independensi kekuasaan kehakiman lebih ditekankan pada independensi dari kekuasaan eksternal lembaga kehakiman dan bukan independensi dari para hakim secara personal.

Sedikit tentang CLS
Hakim dalam memutuskan perkara tidak memandang sejauh itu. Dalam Critical Legal Study (CLS) tidak menyajikan hukum seperti pada positivisme dan legal formal tapi juga memandang hukum dari sisi politik dan sosial. Martha Minow seorang Feminis Hukum dari Harvard University mengatakan bahwa ada 4 aktivitas dimana CLS menguatkan pada awal tahun 1980 :
1. Bahwa CLS ingin mendemonstrasikan determinasi dari doktrin hukum dan prinsip hukum bisa digunakan untuk menghasilkan hasil yang berlawanan;
2. Bahwa CLS mempertimbangkan sisi sejarah, sosial ekonomi, untuk mengidentifikasi grup-grup, kelas sosial, atau institusi ekonomi mendapatkan keuntungan dari keputusan hukum meskipun mendapat ketidakpastian dari doktrin hukum;
3. CLS mencoba mengekspose bagaimana analisis hukum dan budaya hukum saling bergantung dan menunjukkan legitimasinya;
4. CLS menjelaskan visi sosial yang baru atau terdahulu dan berargumen untuk realisasinya dalam praktik hukum dan politik pada bagian akan menjadi diskursus hukum.
Bagaimana hukum bisa adil dari sisi gender, strata sosial. CLS ingin menunjukkan bahwa dominansi mereka yang kuat dalam hukum akan meruntuhkan hukum itu sendiri dan mengguncang demokrasi. CLS mengembangkan pemikirannya bahwa para pengacara harus dikembangkan kemampuannya untuk memahami konsekuensi moral dan politik dari pekerjaannya. Jika kita melihat pada kasus nenek Minah terlihat bahwa politik dari PT.RSA yang sangat ingin dimenangkan oleh pengadilan. Bisa kita tangkap motifnya adalah hanya kekuasaan dan keegoisan serta tidak adanya empati terhadap lawannya yakni Nenek Minah. Nenek Minah sendiri sesungguhnya bukan seorang yang memiliki kekuatan untuk mengembangkan tiga butir kakao yang diambilnya untuk bisa menyaingi perusahaan, jadi sebenarnya dimana letak permasalahannya?
Sependek pemahaman saya ketika sebuah institusi ekonomi ingin dimenangkan dalam sebuah kasus pencurian komoditas dagangnya yakni hasil kebun berupa kokoa maka itu karena berasumsi si pencuri bisa ada kemungkinan untuk menyaingi bisnisnya. Ini agak di luar konteks itu sebenarnya. Sekian reflektif saya mengenai kasus ini.









DAFTAR PUSTAKA

Buku
Kitab Suci Alquran.

Aning, Floriberta. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI.Yogyakarta: Media Pressindo, 2006.

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve:1994.

Effendi, A. Masyhur. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia:1994.

G, Minda, G. Critical Legal Studies. In Postmodern Legal Movements: Law and Jurisprudence At Century's End. New York; London: NYU Press,1995. Retrieved May 13, 2020, from www.jstor.org/stable/j.ctt9qg2gf.11

Irianto, Sulistyowati, dkk, Problematika Hakim dalam Ranah Hukum Pengadilan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi Komisi Yudisial, 2017.

Muhammad, Bushar. Pengantar Hukum Adat Jilid I. Jakarta: Ichtiar, 1961

Rajagukguk, Erman. Filsafat Hukum. Jakarta:Penerbit Pasca Sarjana FHUI,2017.

Soepomo. Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat. Jakarta: Pradya Paramita, 1970.


Peraturan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Jurnal
Muttaqien, Ahmad. Spiritualitas Agama Lokal (Studi Ajaran Sunda Wiwitan aliran Madrais di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat). Jakarta: Al Adyan, Vol VIII, No.1, Januari-Juni, 2013.

Nopiyanti Wulandari, Rudy Gunawan, Desvian Bandarsyah. Keberadaan Komunitas Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Dalam Pelestarian Budaya Sunda Wiwitan: Studi Kasus di Cigugur, Kuningan. Jakarta: Chronologia Journal of History Education, Vol.1, No.2, 2019.

Makalah
Alamsyah, Afif, Anggria Septariani, Puteri Anggun Amirillis, Makalah Historical and Antropological Jurisprudence.Jakarta: Kuliah Filsafat Hukum 2020. Disarikan dari Lloyd, D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence 9th edition. United Kingdom: Sweet and Maxwell, 2014.

Danardono, Donny. Critical Legal Studies: Posisi Teori dan Kritik, (Jakarta: Bahan Kuliah Antropologi Hukum, Pasca Sarjana FISIP, 8 Maret 2007).

Hussein, Ahmad, Agnes Grace, Canris Bahri, The Morality of Law. Jakarta: Tugas Makalah Fisafat Hukum, 2020.

Juniar, Afif, Sahel Muzammil, Sofyan Apendi. Marxist Theory of Law. Jakarta: Tugas Makalah Filsafat Hukum, 2020.

Nirboyo, Ade Juang, Novendia, Raden Krisnatalia. Teori Adjudikasi. Jakarta: Makalah Kelompok Filsafat Hukum, 2020.

Internet




https://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke.




  



Tidak ada komentar: