Belajar bagi seorang anak seringkali dianggap sebagai momok. Mereka menganggap buat apa bercape-cape belajar, belajar itu sesuatu yang tidak menyenangkan. Mereka biasanya hanya menghadapi buku dan kertas-kertas untuk mengerjakan soal-soal yang seringkali sulit sekali untuk dipecahkan. Seorang anak lebih menyukai permainan dan bermain dibandingkan pelajaran dan belajar.
Pertama kali mengajar anak TK, sebuah pengalaman yang menurut Saya sangat luar biasa. Luar biasa karena ketika itu Saya belajar bagaimana memahami anak-anak usia TK dengan segala polahnya. Bagaimana harus memulai dan bagaimana jika mereka tidak mau menerima keberadaan Saya. Sebenarnya kalau mengajar itu hanya dilihat dari sisi silabus maka silabus yang ada sudah lengkap. Di TPA misalnya pada Semester 1 anak TK diajarkan IQRO ditambah dengan hafalan surat pendek dan doa-doa. Untuk Calistung misalnya pada semester 1 diajarkan huruf apa saja dan angka-angka apa saja. Pada saat itu Saya murni tidak menggunakan metode apapun yang saat ini semakin banyak misalnya metode jarimatika untuk menghitung atau metode qiroati untuk membaca IQRO. Jika hanya menuruti silabus mungkin seorang guru akan terus saja tancap gas tanpa melihat pemahaman si anak. Cara seperti ini mungkin saja baik dilakukan pada pengajaran orang dewasa, namun tidak cocok diterapkan untuk mengajar seorang anak TK. Ketika mengajar seorang anak TK maka kita harus pelan-pelan membimbing mereka hingga mereka memahami pelajaran yang kita ajarkan.
Itu semua dulu, ketika Saya belum memiliki anak. Saat itu Saya hanya mengajarkan anak orang lain. Saat itu Saya belum memiliki anak. Ketika kita mengajarkan anak orang lain maka beban itu akan berakhir ketika anak itu sudah selesai belajar atau ketika anak itu sudah beranjak pada pelajaran selanjutnya dimana kita tidak mengajarkannya lagi. Misalnya ketika anak itu sudah bisa membaca IQRO atau sudah bisa membaca, menulis dan menghitung. Namun tidak jika kita sudah memiliki anak sendiri. Yang Saya pribadi merasakannya lebih daripada ketika Saya mengajarkan anak orang lain. Bagaimana pendapatmu jika seorang Umar ketika sedang diajarkan membaca dengan kartu baca maka kartu bacanya itu dibuat menjadi kipas-kipasan seperti pada gambar di bawah ini. Apakah kita tetap akan mengajarkan membaca atau justru mengajarkan konsep angin kepadanya? Ya seringkali anak-anak itu kreatif dalam memanfaatkan mainan kartu bacanya menjadi konsep pembelajaran lainnya. Dan itu yang harus segera ditangkap oleh Saya. Terkadang momen-momen itu tak selalu tertangkap oleh Saya, sebagai orang tua khusunya seorang ibu harus jeli dalam menanggapi hal ini.
Di waktu lain Umar dan Azkiya menggunakan mainan excavator untuk bermain-main dengan pasir. Mereka memanfaatkan pasir yang sedang digunakan sebagai bahan pembangun rumah di sekitar rumah kami. Kalau dalam pemikiran kita sebagai orang dewasa mungkin buat apa bermain dengan pasir seperti itu, dalam pemikiran kita pasir itu tentu kotor, bisa jadi ada tahi kucing, bisa jadi bekas diinjak-injak orang lain. Dalam pemikiran kita kalau memang mau main-main dengan pasir ya nanti saja ketika kita ke pantai. Tapi ternyata yang ada dalam pikiran anak-anak berbeda dengan yang ada di pikiran kita sebagai orangtua dan orang dewasa. Bagi mereka adalah sebuah spontanitas dalam menciptakan sebuah permainan. Jika pasir di sekitar rumah bisa dimainkan saat ini mengapa harus menunggu pasir di pantai dahulu. Apalagi selain bisa digunakan sebagai pasir yang dimainkan dengan sebuah mainan excavator, pasir tersebut ternyata bisa digunakan untuk menulis. Hal ini tentu melatih syaraf-syaraf motorik anak-anak. Ya permainan spontan dan terkadang tak terpikir bagi orangtua. Sebagai orangtua maka kita yang seharusnya tanggap dan berpikir cepat kira-kira jika anak sedang memainkan sesuatu itu akan menjadi sarana pembelajaran akan apa bagi dirinya. Ya, permainan spontan yang sebenarnya menyenangkan jika dimanfaatkan juga sebagai alat bagi proses kita mendidik anak-anak.
Sebenarnya jika Saya memperhatikan ketika Umar dan Azkiya sedang bermain, benda apa saja bisa dijadikan permainan yang menyenangkan seperti sapu, pengki, galon aqua, bahkan bawang merah dan segala bumbu dapur bisa dijadikan alat oleh mereka untuk bermain. Para ahli psikologi menyepakati bahwa masa-masa usia 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun adalah usia Golden Age bagi anak. Usia keemasan. Dimana pada usia inilah seorang anak memiliki percepatan yang sangat baik dalam belajar. Berdasarkan hasil riset-riset kecerdasan anak menyarankan agar orangtua memberi banyak pengalaman dan stimulasi kepada anak. Hal ini dikristalkan oleh Howard Gardner pada tahun 1983 seorang Psikolog dan Pakar Ilmu Syaraf dari Universitas Harvard, USA yang menemukan Teori Kecerdasan yang disebut Multiple Intelligences.
Teori Multiple Intelligences menjelaskan bahwa kecerdasan manusia itu dibagi menjadi 9 kecerdasan:
- Visual/ Spatial (cerdas dalam melihat sesuatu atau melalui gambar);
- Verbal/Linguistic (cerdas berbahasa);
- Mathematical/ Logical (cerdas dalam logika matematika);
- Bodily/ Kinesthetic (cerdas dalam hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas tubuh/ dengan melakukan);
- Musical/ Rhythmic (cerdas dalam bermusik dan berirama);
- Intrapersonal (cerdas diri/ perasaan);
- Interpersonal (cerdas dalam bergaul dan berinteraksi);
- Naturalist (cerdas alam/ mengklasifikasi/ mengurutkan);
- Existential (cerdas dalam hal pemaknaan).
Menurut teori ini seorang anak bisa belajar tentang apapun itu yang ingin mereka ketahui. Banyak hal yang ada di sekitarnya seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, benda-benda di dapur, mobil-mobil di jalan raya, dll. Ketika anak berada di lingkungan sekolah maka anak belajar dari hal apa saja yang ia temui di dunia nyata. Ketika seorang anak sudah ada di rumah maka benda-benda di rumah bisa dijadikan alat untuk belajar. Semua alat dan fasilitas apapun di alam ini bisa dijadikan sebagai mainan. Jadi tidak perlu khawatir anak akan kehilangan sarana untuk belajar. Orangtua tak harus menyediakan mainan yang "wah" untuk anak, karena mainan itu sudah ada di sekitar kita. Walaupun tak menjadi larangan jika kita ingin membelikan mainan untuk anak yang tentunya akan lebih bermanfaat untuk pembelajaran anak jika mainan tersebut memiliki unsur edukatif.
Saya hanya berpikir sejenak, mainan Umar dan Azkiya yang benar-benar berupa mainan dalam arti mainan yang dibeli di toko itu terkadang tak lebih mereka sukai daripada mainan yang memang mereka ciptakan sendiri. Entahlah, apa karena teori itu tadi ya. Bahwa anak-anak itu diperbolehkan belajar apapun yang ia inginkan. Sewaktu Umar masih 8 bulan malahan dia menciptakan mainannya berupa kardus bekas yang dimasuki olehnya lalu kardus itu ditarik kain jarik oleh kita. Itu seperti mainan kereta-keretaan bukan? Namun lebih murah tentu saja karena hanya menggunakan kardus bekas.Namun mainan edukatif yang dibeli di toko pun ada juga yang awet hingga hari ini yaitu berupa mainan besi dilekuk-lekukan dan bisa dilewati benda-benda dengan bentuk bulat, segitiga ataupun kotak. Seperti yang ada di gambar dibawah ini. Mainan seperti ini bagus untuk melatih motorik seorang anak serta pengenalan warna dan bentuk.
Metode belajar dengan permainan sesungguhnya masih sulit jika Saya terapkan ketika kita akan mengenalkan konsep akan sesuatu hal kepada anak-anak dengan usia dibawah 5 tahun. Menurut psikolog seorang anak berumur kurang dari 5 tahun itu pola berpikirnya masih terpaku pada hal-hal yang nyata. Sebagaimana yang telah Saya kisahkan pada postingan karena kau begitu nyata. Hal itu terbukti pada anak Saya Umar, jadi ceritanya beberapa hari yang lalu ketika Saya mengambil raport triwulan Umar di TK nya seorang guru yang merupakan guru kelas Umar berujar. Guru itu berujar seperti ini, "Ibu Puteri, Umar itu gemar sekali memplesetkan kata-kata ya? Waktu kami belajar nyanyian Asmaul Husna dengan lirik Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim ketika sampai di kata Ya Malik eh Umar malahan memplesetkannya menjadi Ya Adit, Ya Rubi, Ya Azkiya (dan teman-teman lainnya disebut juga). Itu karena teman sekolahnya Umar memang ada yang bernama Malik. Sehingga dalam pemikirannya itu akan dilanjutkan dengan nama teman-teman yang lain". Hmm, Saya terus terang geli sekaligus tertegun. Ini pasti karena Umar belum memahami konsep asmaul husna sebagai asma Allah/ nama-nama Allah. Saya pun berusaha menjelaskan kepada Umar bahwa dalam Asmaul Husna itu penyebutan bagi nama-nama Allah bukannya nama-nama teman, walaupun memang nama teman Umar yang bernama Malik itu sama dengan nama Allah "Malik". Entahlah apakah saat ini dia sudah paham atau belum tapi yang jelas Saya mencoba mengajarkannya dan memberitahu dengan berulang-ulang.
Di saat lain ketika Azkiya sedang Saya bacakan sebuah buku cerita yang membahas Ummu Salamah disana disebutkan Ayah dari Ummu Salamah berturut keturunannya ke atas. Salah satunya adalah Bin Umar. Azkiya beranggapan mengapa harus ada bin Umar, maka dengan polosnya diapun berucap, "Bin Kiya mana ummi?". Sungguh ditanya anak berumur 2 tahun dengan pertanyaan semacam itu tentu saja saya agak bingung dalam menjawabnya. Namun sekali lagi, guru mengaji saya pernah mengatakan bahwa kita harus tetap menjelaskan pada seorang anak meskipun dia tak mengerti dengan ucapan kita. Dan itu dilakukan secara terus menerus. Maka Saya pun berusaha menjelaskan pada Azkiya akan hal ini. Memang agak sulit menciptakan mainan untuk sebuah konseptual, hanya bisa bercerita dan menjelaskan.
Ya, demikianlah menjadi Ibu tentu saja harus siap menghadapi tingkah polah anak-anak dalam belajar. Permainan harus terus bisa kita ciptakan demi tumbuh kembang anak yang wajar dan sehat. Keep Spirit ! Bagi para orangtua tentu saja terus menerus belajar dalam usaha mendidik anak harus terus dilakukan. Seperti kata Kak Kiki iparku bahwa dia sudah pusing dengan pelajaran anak SD sekarang yang semakin bertambah rumit saja tak seperti ketika jaman kita dahulu. Wah bagaimana ketika Umar dan Azkiya sekolah SD nantinya. Hmm, harus siap-siap jadi guru les lagi nih untuk anak sendiri.
Salam Persahabatan Untukmu teman^^
“Artikel ini diikutsertakan pada Mainan Bocah Contest di Surau Inyiak".
Baca juga daftar isi
14 komentar:
Benar sekali, sebagai guru atau orangtua, kita harus kreatif menciptakan aneka mainan yang menunjang pembelajaran. Dengan kreatifitas tersebut, belajar akan menjadi sangat menyenangkan.. :)
Terima kasih Puteri sudah mengirimkan artikelnya.
Saya sudah catat sebagai salah satu peserta dalam MAINAN BOCAH CONTEST
terimakasih uda vizon
Bagus sekali Jeng, inspirasi kreativitas pembelajaran dalam pendampingan tumbuh kembang buah hati
Wah setuju mbak, sebenernya apa aja bisa jadi mainan tergantung gimana ngeliatnya.
Semoga menang mbak...
Wah metodenya bs dicoba kalo nanti punya anak sndr :)
Jadi ingat tulisan ttg "mainan"ku yang belum kelaar Pu, moga aja masih sempat ya ;)
Mana belum kenalan ama penyelenggara pula ;(
Puuuu...mengajar anak2 memang pengalaman yg sangat luar biasa ya :)
Alhamdulillah, akhirnya saya pun selesai juga mengerjakan tulisan untuk kontes ini. Semoga ikhtiar ini bisa membuahkan hasil maksimal . Amin. Saling mendoakan, insha Allah.
Oh ya, saya juga sedang mengadakan kontes menulis Endorsement for Abi Sabila. Mohon doanya, dan saya tunggu partisipasinya. Terima kasih.
ga pa2 mbak jadi guru les buat anak sendiri, kan lumayan jd irit, hehehe (padahal mah emang udah kewajiban :D)
sukses ngontesnya ya mbak...
..
wah metode pembelajaran untuk anak yg kreatif dan sangat mendidik..
sebuah informasi baru buat saya..
makasih..
..
mbak putriii tulisannya kerennn, suka banget, menginspirasi banget. mdh2an sy bisa jadi umie yang baik.
belajar sambil bermain ^^
salam kenal
bermain sambil belajar tentunya akan membuat senang.
Posting Komentar