Selasa, 07 Januari 2020

Dinamika Partisipasi Masyarakat dan Peran Pers Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah modal kemanusiaan sejak zaman Nabi Adam AS.[1] Setiap manusia mempunyai mulut untuk berbicara, otak untuk berpikir dan hati untuk merasakan. Dikarenakan pikiran dan hati setiap manusia beragam maka terjadilah bermacam-macam pendapat, keinginan, dan tujuan-tujuan hidup. Hal tersebut adalah suatu hal yang lumrah dalam kehidupan umat manusia sebab tiada perbedaan menyebabkan kemanusiaan itu mati. Namun yang menjadi masalah justru apabila perbedaan itu menimbulkan perselisihan dan bahkan menimbulkan konflik. Apakah konflik adalah suatu kewajaran sebagaimana dinyatakan oleh Karl Marx[2] berabad yang lampau dalam teori konflik bahwa selama ada sekelompok manusia maka disitu akan muncul konflik? Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin mendapatkan jawaban “Ya,” namun kenyataannya itu yang terjadi di banyak kelompok manusia.

 
Negara Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga Papua memiliki penduduk dengan beragam budaya, latar belakang sosial, agama, mata pencarian, usia, hubungan dengan media dan lain sebagainya. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung berpotensi menimbulkan konflik dengan adanya perbedaan daya pikir, lingkungan domisili, dan pencapaian yang ingin diraih. Masa orde lama[3] dan orde baru[4] kebebasan untuk mengemukakan pendapat dibungkam, apabila ada warga masyarakat, organisasi masyarakat, badan hukum maupun pers yang mengeluarkan pernyataan yang menentang pemerintah maka akan dipenjara, atau diberangus izinnya. Masa reformasi tiba, masyarakat seperti mendapatkan jalan untuk bisa berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya.
Pada tahun 1998 akhirnya rezim orde baru dilumpuhkan karena adanya partisipasi aktif mahasiswa dan masyarakat untuk menggulingkan orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun akibat dari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sudah tidak berada dalam garis normal. Normalnya dalam suatu sistem parlementer, dimana MPR yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat, utusan daerah dan utusan golongan, maka Presiden bisa diawasi oleh MPR. MPR bisa membubarkan Kabinet apabila tidak dapat memenuhi amanat rakyat. Namun yang terjadi adalah MPR justru memilih berkali-kali Presiden pada masa itu.[5] Presiden pada kenyataannya tidak memberikan yang terbaik bagi rakyat. Perekonomian pada saat itu lumpuh, nilai tukar dollar berada di titik Rp20.000,00, nilai tukar terendah selama masa orde baru. Reformasi adalah saat yang ditunggu setidaknya rakyat sudah bosan memiliki Presiden yang sama dalam masa yang lama. Rakyat membutuhkan perubahan, rakyat tidak mau diperlakukan dengan layaknya seperti berada di pemerintahan otoriter, suatu keadaan yang bertolak belakang dengan konstitusi bahwa Indonesia menerapkan sistem demokrasi dengan rakyat memilih anggota MPR.
Pasca reformasi keran kebebasan berpendapat dibuka, masyarakat dapat mengeluarkan pendapat dan dilindungi kebebasan berekspresi. Organisasi masyarakat, badan hukum dan pers mulai diberikan ruang untuk memberikan pendapatnya. Mulai saat itu unjuk rasa mulai sering dilakukan oleh Mahasiswa dan masyarakat umum.[6] Berbagai issu dikemukakan mulai dari persoalan tindakan-tindakan Pemerintah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme hingga ke permasalahan buruh, permasalahan kebebasan beragama, hingga tuntutan untuk hak dasar masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, dan masalah masyarakat hukum adat.
Hal tersebut berlaku pula untuk kebebasan pers. Apabila pada zaman orde lama dan orde baru kebebasan pers adalah barang langka maka pada era reformasi kebebasan pers ini dibuka kerannya seluas-luasnya. Menurut Huttington (2008) bahwa salah satu konsep dari negara demokrasi adalah adanya kebebasan pers. Hal yang terkait dengan hak public untuk mengetahuinya adalah adanya penulisan pers yang bebas di surat kabar, televisi, radio untuk dapat mengabarkan jalannya pemerintahan dengan apa adanya tanpa takut adanya penuntutan dan ancaman. Kemajuan media massa tidak bisa lepas dari kemajuan demokrasi suatu negara. Semenjak amandemen UNDANG-UNDANG DASAR 1945 saat itulah era demokrasi yang sebenar-benarnya mulai dijalankan. Rakyat diberikan akses untuk memilih Presiden secara langsung. Saat itu permasalahan yang ada adalah keinginan untuk dapat berdemokrasi secara baik.
Pada tahun 2019 terjadi unjuk rasa luar biasa yang bisa dikatakan sebagai unjuk rasa dengan tema yang luar biasa yang terjadi di saat-saat terakhir jalannya pemerintahan. Unjuk rasa ini terkait dengan keinginan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyelesaikan beberapa Rancangan Undang-Undang (RANCANGAN UNDANG-UNDANG), diantaranya RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA[7] dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI.

Awal mulanya karena status yang diunggah seorang politikus di akun media sosialnya yang menulis bahwa Panitia Kerja RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DPR baru saja menyelesaikan pembahasan terakhir REVISI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA di Hotel Fairmont, Jakarta 15 September malam, hal ini membuat anggota Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tidak menyangka karena para anggota ICJR yang memantau perkembangan pembahasan RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA sejak 2007 merasa tidak mendengar informasi bahwa Panitia Kerja sedang mempercepat membahas  RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA. Agenda pembahasan revisi yang bisa diakses oleh public diunggah di situs DPR terakhir kali pada Mei 2018. Setelah itu tidak ada berita lagi sehingga mereka harus mencari-cari sendiri informasi tersebut kepada para anggota DPR atau staf ahli DPR. Kabar rapat tertutup itu mereka sebarkan ke grup WhatsApp “Aliansi Nasional Reformasi KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.” Informasi tersebut juga masuk ke grup Aliansi Masyarakat untuk keadilan dan demokrasi (AMUKK), perkumpulan masyarakat yang lebih besar, mendengar kabar bahwa panitia kerja sudah menyelesaikan pembahasan mereka langsung gempar. Dua anggota Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) segera bertolak ke Hotel Fairmont. Mereka menuturkan bahwa petugas hotel membenarkan ada pemesanan ruangan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang menginisiasi perubahan KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA tapi saat mereka dating ruangan sudah kosong. Kuatir draft tersebut tiba-tiba diketuk tanpa mereka tahu isi terakhirnya, para anggota Aliansi Nasional Reformasi pun mencari draft rancangan tersebut ke tim ahli perumus revisi dan akhirnya mereka mendapatkan rancangan tersebut. Para anggota Aliansi Nasional Reformasi sepakat ada 17 isu yang masih bermasalah seperti perihal penghinaan terhadap pemerintah yang sah, kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, urusan privasi, serta hukum yang berlaku di masyarakat. Akhirnya mereka menentang DPR mengesahkan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI yang memang sudah diniatkan untuk mengadakan unjuk rasa RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI. Di saat-saat itu ternyata DPR mengesahkan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI yang diduga dilakukan untuk melemahkan KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI dengan meloloskan Jenderal yang diduga melakukan pelanggaran kode etik pada saat menjadi Deputi Penindakan KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI pada 2018. Sehari setelahnya Komisi Hukum DPR mengesahkan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA di tingkat I pengesahan di Komisi Hukum sebelum dibawa ke sidang paripurna. Hal tersebut membuat kaget dan syok. Hingga akhirnya mereka berembuk dan mengadakan unjuk rasa.[8]

Itulah latar belakang adanya unjuk rasa besar-besaran dari sisi masyarakat sipil dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat. Mereka juga banyak berdiskusi dengan mahasiswa. Sampai dengan saat ini baik LSM maupun mahasiswa tetap memantau perkembangan respons pemerintah dan DPR terhadap tuntutan mereka. Permintaan untuk perbaikan revisi, bukan penundaan. Dari keadaan tersebut dirasa ada satu hal yang menarik untuk dikaji bagaimana sebenarnya dinamika partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana kita tahu bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa mekanisme partisipasi public diatur sebagai sarana masyarakat menyampaikan aspirasinya. Namun dengan adanya unjuk rasa yang terjadi maka patut dipertanyakan seberapa jauh mekanisme partisipasi publik tersebut dilaksanakan. Jika kita melihat dari kejadian di atas juga dapat disimpulkan bahwa pers kurang dalam memberitakan persoalan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANGKITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANGKOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI. Untuk itu kami mengajukan pokok permasalahan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana evaluasi partisipasi masyarakat terhadap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan?
b.      Apa peran pers untuk menyokong partisipasi masyarakat terhadap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan?



B. Analisis
1. Evaluasi Partisipasi Masyarakat terhadap Rancangan Peraturan   Perundang-Undangan
a.   Aturan yang Mendukung
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of Rights:
“...we should these truths to be selfevident; that all men are created equal; that they are endowed by their creator with certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice Cranston, 1983:3).[9]

Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tidak memandang batas-batas wilayah.
Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengelaurkan pendapat.
Partisipasi masyarakat terhadap rancangan peraturan perundang-undangan telah mendapatkan payung hukum pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu Pasal 5 huruf g yang menyatakan kan bahwa salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah harus berdasarkan asas “keterbukaan.”[10] Dalam penjelasan Pasal 5 huruf g mengatur bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.[11] Masyarakat mempunyai kesempatan yang luas untuk memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 96 ayat (1) secara lebih tegas telah menjamin bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 96 ayat (2) dinyatakan bahwa masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: a) rapat dengar pendapat umum; b) kunjungan kerja; c) sosialisasi; dan/atau d) seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat yang berhak berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 96 ayat (3) adalah orang perseorangan atau kelompok orang atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan.
Sejak tahap perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu sejak tahap penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), masyarakat bisa berpartisipasi. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Pasal 16 ayat (3)[12] menyatakan bahwa dalam forum konsultasi dapat pula diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Selanjutnya, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Pasal 41[13] menyatakan:
1)   masyarakat dapat memberikan masukan kepada Pemrakarsa dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang;
2)   masukan dilakukan dengan menyampaikan pokok-pokok materi yang diusulkan;
3)   masyarakat harus menyebutkan identitas secara lengkap dan jelas.

b.  Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat
Guy Peters[14] mengemukakan model reformasi partisipasi ditempatkan pada kerangka politis. Permasalahan dalam sektor publik yang menjadi tantangan reformasi adalah pemerintah yang sangat hierarkis, padahal kebutuhan partisipasi menjadi kebutuhan dalam setiap organisasi. Reformator partisipasi berpendapat bahwa organisasi pemerintah akan menjadi lebih baik jika anggota struktur organisasi dilibatkan dalam pembuatan keputusan. Gagasan mengenai partisipasi ini didasarkan pada asumsi bahwa individu tertarik pada hal tersebut dan jika diberi kesempatan maka mereka akan bekerja secara optimal. Pegawai di sektor publik seringkali termotivasi atas komitmen dan rasa tanggung jawab atas pekerjaannya dalam memberikan pelayanan publik. Namun partisipasi tidak hanya fokus terhadap keterlibatan pegawai, pada reformasi sektor publik juga dibutuhkan keterlibatan dari masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Pikiran atas pentingnya melibatkan publik dalam reformasi pelayanan publik didasarkan pada asumsi bahwa publik juga tertarik dan memiliki kepentingan untuk melakukan kontrol dan terlibat aktif dalam sektor publik. Namun, pada kenyataannya sulit bagi publik untuk mengintervensi pengaruh dalam struktur birokrasi pemerintahan yang konvensional. Maka atas dasar inilah dibutuhkan peluang partisipasi publik seperti pemungutan suara sederhana, audiensi publik, dan diskusi mengenai program yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan apabila kita perhatikan pada Pasal 96 ayat (1) bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada sebagian kalangan memberikan masukan diartikan hanya pada tahap akhir saja. Namun apabila kita perhatikan bahwa pemberian masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”[15] mengandung arti dapat memberikan masukan lisan maupun tertulis di semua tahap pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Namun terkait dengan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan belum ada suatu aturan mengenai partisipasi masyarakat untuk memasuki rapat-rapat yang secara intens membahas materi rancangan khususnya rancangan undang-undang dalam Komisi/Pansus maupun Panitia Kerja. Hal ini harus menjadi pemikiran sebab pembentukan undang-undang yang melibatkan masyarakat mendorong terwujudnya produk-produk undang-undang yang lebih responsif.[16]
Jika kita perhatikan para anggota ICJR yang memantau perkembangan pembahasan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA sejak 2007 merasa tidak mendengar informasi bahwa Panitia Kerja sedang mempercepat membahas  RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA. Agenda pembahasan revisi yang bisa diakses oleh public diunggah di situs DPR terakhir kali pada Mei 2018. Setelah itu tidak ada berita lagi sehingga mereka harus mencari-cari sendiri informasi tersebut kepada para anggota DPR atau staf ahli DPR. Apabila pembahasan rancangan ini dapat melibatkan partisipasi masyarakat untuk hadir dalam rapat-rapat Komisi/Pansus maupun Panitia Kerja, misalnya dengan perwakilan dari masyarakat tentunya proses pemahaman atas aspirasi masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang lebih mudah dilakukan. Dibandingkan hanya berupa tulisan hitam di atas putih atau pembahasan di luar rapat-rapat Komisi/Pansus maupun Panitia Kerja sehingga menyebabkan ada ketidaksingkronan karena tidak berada di rapat yang sesungguhnya.
Sebenarnya permasalahan utama dari pentingnya partisipasi masyarakat ini adalah Korupsi Legislasi yang merupakan jenis korupsi yang belum banyak dibahas dalam kajian hukum dan social di Indonesia. Selama ini yang banyak dibahas adalah korupsi anggaran. Korupsi legislasi ini merupakan bentuk-bentuk korupsi politik yang disebut oleh World Bank sebagai state capture sebenarnya dibangun dari konsep regulatory capture  dicetuskan pertama kali oleh Stigler (1971)[17] yang munculnya dilatarbelakangi keinginan untuk memahami apa sebenarnya yang memotivasi pembentuk undang-undang anggota parlemen, pemerintah, atau badan regulasi membuat suatu undang-undang yang mengikat public, apakah untuk menyuguhkan kebijakan yang terbaik untuk masyarakat atau motivasi untuk kepentingan pribadi. Dengan adanya partisipasi masyarakat maka diharapkan korupsi legislasi bisa diminimalisir dan dihilangkan.

2. Peran Pers untuk menyokong partisipasi masyarakat terhadap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan
a.    Aturan yang Mendukung
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of Rights:
“...we should these truths to be selfevident; that all men are created equal; that they are endowed by their creator with certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice Cranston, 1983:3).[18]

Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tidak memandang batas-batas wilayah.
Peran pers dalam menyokong partisipasi masyarakat untuk mendapatkan informasi sebenarnya sudah sangat dilindungi oleh Undang-Undang. Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat pembatasan terhadap pers pada era orde baru meskipun Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hal itu yaitu dengan adanya Peraturan Menteri Penerangan Nomor 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP) berdasarkan Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, sangat membatasi kebebasan pers. Apalagi dalam UNDANG-UNDANG DASAR 1945 aturan-aturan mengenai Hak Asasi Manusia sangat sumir. Tetapi setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 F UNDANG-UNDANG DASAR 1945[19] ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Mengenai fungsi pers, Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Pers mengatur bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol social.
Kemerdekaan pers ini mendapatkan payung hukum yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, pada Pasal 4 Undang-Undang Pers dijamin empat hal penting dan mendasar, seperti:
1)        Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara;
2)        Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor, pembredelan atau pelarangan penyiaran;
3)        Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi;
4)        Wartawan mempunyai hak tolak.
Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Pers[20] menyatakan, yang dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara” adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dana tau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Peranan pers nasional diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Pers[21] yaitu:
1)        Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
2)        Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia serta menghormati kebinekaan;
3)        Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
4)        Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
5)        Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

b.    Pelaksanaan Peran Pers
Dari aturan-aturan yang mendukung itu sebenarnya pers mempunyai payung hukum untuk dapat sebagai penyalur informasi bagi masyarakat mengenai Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat sendiri dapat memberikan informasi secara terbuka terhadap Pers. Jadi misalnya seperti dalam kejadian  diatas bahwa informasi mengenai Rancangan Undang-Undang Revisi Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bisa segera disalurkan melalui pers sehingga pers bisa menyebarluasakan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi mengenai suatu Rancangan Undang-Undang.
Namun dalam kenyataannya tetap ada distorsi yang terjadi terhadap pers meskipun peranan pers untuk mengawasi dan menegakkan Hak Asasi Manusia sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan dinataranya adalah:[22]
1)   Distorsi melalui peraturan perundang-undangan seperti halnya Peraturan Menteri tentang SIUP dan sejumlah Undang-Undang yang masih berlaku, termasuk adanya sekitar 37 Pasal dalam KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANAidana yang dapat membawa wartawan masuk penjara;
2)   Melalui birokrasi diantaranya seringnya apparat keamanan bertindak berlebihan dengan mengusir, memukul, menganiaya dan lainnya;
3)   Melalui masyarakat dengan tindakan “main hakim sendiri,” seringkali media diteror, diancam, kantornya diduduki dan dirusak oleh massa apabila ada berita atau tulisan yang dinilai merugikan atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Padahal tindakan tersebut tidak perlu dilakukan karena ada mekanisme yang bisa ditempuh berupa hak jawab dan hak koreksi sesuai ketentuan Undang-Undang Pers. Hak jawab dan hak koreksi itu menurut Undang-Undang Pers merupakan wujud control masyarakat terhadap pers;
4)   Dalam praktek gangguan tersebut bisa juga dating dari kalangan pers itu sendiri. Antara lain berupa penyajian berita yang tidak mentaati norma etik dan norma hukum. Akibatnya pers atau wartawan terpaksa dihadapkan di meja hijau.

Khusus mengenai Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang unik karena sesungguhnya ada pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang tersebut yang mengancam kebebasan pers, sehingga Dewan Pers sendiri menolak Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hingga akhirnya dengan dukungan masyarakat Rancangan Undang-Undang tersebut ditunda pengesahannya. Presiden Jokowi dengan mencermati aspirasi yang berkembang di masyarakat memutuskan untuk meminta agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditunda.[23]
Kasus-kasus pemukulan terhadap jurnalis Metro TV saat meliput pilkada di Makassar,[24] pengusiran dan intimidasi terhadap jurnalis Detikcom saat meliput massa aksi 212,[25] pengusiran jurnalis dan contributor BBC yang meliput krisis kesehatan di Asmat, Papua,[26] Kekerasan terhadap wartawan unjuk rasa penolakan pembangkit listri tenaga panas di Banyumas, Jawa Tengah,[27] dan lain-lain.

C. Kesimpulan dan Saran
1.     Kesimpulan
a)         Belum ada suatu aturan mengenai partisipasi masyarakat untuk memasuki rapat-rapat yang secara intens membahas materi rancangan khususnya rancangan undang-undang dalam Komisi/Pansus maupun Panitia Kerja. Hal ini harus menjadi pemikiran sebab pembentukan undang-undang yang melibatkan masyarakat mendorong terwujudnya produk-produk undang-undang yang lebih responsif.
b)        Pers mempunyai payung hukum untuk dapat sebagai penyalur informasi bagi masyarakat mengenai Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat sendiri dapat memberikan informasi secara terbuka terhadap Pers. Jadi misalnya seperti dalam kejadian  diatas bahwa informasi mengenai Rancangan Undang-Undang Revisi Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bisa segera disalurkan melalui pers sehingga pers bisa menyebarluasakan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi mengenai suatu Rancangan Undang-Undang. Namun dalam kenyataannya tetap ada distorsi yang terjadi terhadap pers meskipun peranan pers untuk mengawasi dan menegakkan Hak Asasi Manusia sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan.

2.     Saran
a)      Agar dibuat suatu aturan mengenai partisipasi masyarakat untuk memasuki rapat-rapat yang secara intens membahas materi rancangan khususnya rancangan undang-undang dalam Komisi/Pansus maupun Panitia Kerja;
b)      Agar dibuat suatu mekanisme yang jelas mengenai tata cara dan kesepakatan tentang hak dan kewajiban pers agar tidak terjadi lagi distorsi terhadap pers.

















DAFTAR PUSTAKA

Buku

Masyhur, Effendi, A. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia:1994.
Petters , B. Guy.The Politics of Bureaucracy. London: Routledge, 2001.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.


Jurnal Ilmiah

Syahmardan, Partisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Demokratis, (Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 No.1-April 2012).

Direktur Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan Jurnal Legislasi, Vol. 5 No.1

Stigler, G.J.”The Theory of Economic Regulation,” The Bell Journal of Economics and Managemnet Science Vol. 2, No.1 (Spring, 1971), hal. 3-21.

Purawan, Akhmad Adi, Korupsi Legislasi Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Jurnal Rechtsvinding, Vol. 3, No. 3, Desember 2014.

Harahap, M. Syahnan. Tinjauan Hukum Peran Pers Guna Menegakkan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jakarta: Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, FH Univ. Suryadarma, Vol. 4, No. 1, September 2013.


Internet
10 Pasal di RKUHP Ancam Penjarakan Jurnalis dan Media", https://tirto.id/ehpd










Majalah

Tim Redaksi. Gara-Gara DPR Ngebut. Jakarta: Majalah Tempo, 2019.


[5] Pada sistem pemerintahan parlementer karena Presiden adalah mandataris MPR maka Presiden sangat tergantung kepada Parlemen. Proses pembentukan pemerintahan lama karena adanya lobi-lobi antara anggota legislative yang terdiri dari partai partai selanjutnya adalah persoalan lamanya pemerintahan akan terbentuk. Instabilitas yang mungkin terjadi adalah seperti pada saat berlakunya UNDANG-UNDANG DASARS 1950 di negara Indonesia. Pada saat itu berlaku sistem parlementer di Indonesia. Berdasarkan konstitusi UNDANG-UNDANG DASARS 1950 maka Parlemen bisa membubarkan Eksekutif (kabinet) apabila ada ketidaksesuaian. Tercatat 7 kali pergantian kabinet dan perdana menteri.  Sedangkan pada masa orde baru (1966-1998) Presiden juga dipilih oleh Legislatif. Pada saat itu Presiden terus dipilih kembali oleh legislative selama 32 tahun. Hal ini menimbulkan instabilitas politik dimana terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme, terjadi pelanggaran hak asasi manusia, dan lain-lain. (Direktur Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan[Jurnal Legislasi, Vol. 5 No.1 http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/439-dampak-sistim-multipartai-dalam-kehidupan-politik-indonesia.html)
[6] https://kumparan.com/zenius-education/unjuk-rasa-sebagai-bagian-dari-demokrasi-1rvtbKrfEiB, diakses pada 3 Januari 2020. Setelah demonstrasi 1998 terjadi juga demonstrasi menurunkan Megawati dan Gusdur yang juga dikomando oleh Mahasiswa.
[7] Beberapa hari lalu pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA) nasional sudah hampir pasti dicanangkan 24 September 2019. Namun, kepastian itu buyar ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan meminta penundaan pengesahan RKITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA karena ada sejumlah isu belum tuntas dan perlu dibahas anggota DPR mendatang. Harus menunggu berapa lama lagi negeri kita memiliki KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA yang disusun bangsa sendiri? Suka tidak suka kita hidup di negeri yang tanpa KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA nasional. Sebenarnya, cita-cita mempunyai KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA nasional hampir sama umurnya dengan umur negara ini. Pada 1946, Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta mengesahkan UNDANG-UNDANGNo 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menyatakan berlakunya KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1915 dengan berbagai perubahan. Pada bagian akhir UNDANG-UNDANGitu dikatakan bahwa akan segera disusun KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA baru. Menunggu 73 tahun Setelah berlalu 73 tahun, cita-cita itu belum juga diwujudkan. Artinya, kita masih menggunakan KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA yang asalnya dari wetboek van strafrecht (WvS) 1915 (yang berlaku mulai 1918) dengan berbagai perubahannya. Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan atas WvS itu tidak kurang dari 82 kali sejak 1918. Ketika Indonesia merdeka tidak kurang dari 12 kali perubahan telah dilakukan atas KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA itu. Berdasarkan UNDANG-UNDANGNo 1 Tahun 1946 dan kemudian UNDANG-UNDANGNo 73 Tahun 1958, nyatalah bahwa bahasa resmi dari KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA kita itu masih bahasa Belanda, dengan berbagai perubahan, sebagian masih bahasa Belanda dan sebagian bahasa Indonesia. Maka dari itu, kalau kita baca KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA yang beredar saat ini, itu merupakan terjemahan dari KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA resmi, jadi bukan KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA-nya sendiri. (https://mediaindonesia.com/read/detail/261057-menjadi-negeri-tanpa-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-sendiri, diakses pada 3 Januari 2020).
[8] Tim Redaksi, Gara-Gara DPR Ngebut, (Jakarta: Majalah Tempo, 2019), hal 52-54.
[9] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[10] Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 5 huruf g.
[11] Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 5 huruf g, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
[12] Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Pasal 16 ayat (3)
[13] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, Pasal 41.
[14] B. Guy Petters, The Politics of Bureaucracy, (London: Routledge, 2001).
[15] Undang-Undang No 12 Tahun 2011, Pasal 1 ayat 1.
[16] Syahmardan, Partisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Demokratis, (Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 No.1-April 2012), hal 148.
[17] Lihat G.J. Stigler,”The Theory of Economic Regulation,” The Bell Journal of Economics and Managemnet Science Vol. 2, No.1 (Spring, 1971), hal. 3-21. Lihat juga Akhmad Adi Purawan, Korupsi Legislasi Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Jurnal Rechtsvinding, Vol. 3, No. 3, Desember 2014), hal 352
[18] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[19] Bahkan kalau mau dikaji lebih lanjut, ketentuan Pasal 28 F UNDANG-UNDANGNRI Tahun 1945 tersebut telah mengakomodir perjuangan gigih pers selama ini (orde lama dan orde baru) hanya terbatas pada prinsip “freedom from” bebas dari tekanan, bebas dari terror, bebas dari sensor, bebas dari bredel, bebas dari budaya telepon, bebas dari pembatalan SIUP, danlainnya. Padahal perjuangan kebebasan pers yang sebenarnya tidak terbatas pada “freedom from” saja, melainkan jauh lebih luas dari itu yakni “freedom for” bebas untuk mencari, memperoleh, mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Itulah sebabnya dikatakan Pasal 28 F UNDANG-UNDANGNRI Tahun 1945 telah mencakup perjuangan pers dalam arti luas. (https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jihd/article/viewFile/85/82).
[20] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4.
[21] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 6.
[22] M. Syahnan Harahap, Tinjauan Hukum Peran Pers Guna Menegakkan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, FH Univ. Suryadarma, Vol. 4, No. 1, September 2013), hal 28.
[23] Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim menambahkan, ada 10 pasal di RKUHP, termasuk Pasal 281 yang berpotensi menghambat kerja media dan jurnalis dalam kontrol sosial. Ke-10 pasal di RKUHP yang berpotensi mengkriminalkan jurnalis dan media menurut AJI Indonesia dan LBH Pers, yakni: 1. Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden 2. Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah 3. Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa 4. Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong 5. Pasal 263 tentang berita tidak pasti 6. Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan 7. Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama 8. Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara 9. Pasal 440 tentang pencemaran nama baik 10. Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Baca selengkapnya di artikel "10 Pasal di RKUHP Ancam Penjarakan Jurnalis dan Media",
https://tirto.id/ehpd
[26] https://nasional.tempo.co/read/1057397/pengusiran-jurnalis-bbc-dari-asmat-dinilai-ancam-kebebasan-pers

Tidak ada komentar: