A.
Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah modal kemanusiaan sejak zaman Nabi Adam AS.[1]
Setiap manusia mempunyai mulut untuk berbicara, otak untuk berpikir dan hati
untuk merasakan. Dikarenakan pikiran dan hati setiap manusia beragam maka
terjadilah bermacam-macam pendapat, keinginan, dan tujuan-tujuan hidup. Hal
tersebut adalah suatu hal yang lumrah dalam kehidupan umat manusia sebab tiada
perbedaan menyebabkan kemanusiaan itu mati. Namun yang menjadi masalah justru
apabila perbedaan itu menimbulkan perselisihan dan bahkan menimbulkan konflik.
Apakah konflik adalah suatu kewajaran sebagaimana dinyatakan oleh Karl Marx[2]
berabad yang lampau dalam teori konflik bahwa selama ada sekelompok manusia maka
disitu akan muncul konflik?
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin mendapatkan jawaban “Ya,” namun
kenyataannya itu yang terjadi di banyak kelompok manusia.
Negara Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga Papua memiliki
penduduk dengan beragam budaya, latar belakang sosial, agama, mata pencarian,
usia, hubungan dengan media dan lain sebagainya. Hal ini secara langsung maupun
tidak langsung berpotensi menimbulkan konflik dengan adanya perbedaan daya
pikir, lingkungan domisili, dan pencapaian yang ingin diraih. Masa orde lama[3]
dan orde baru[4]
kebebasan untuk mengemukakan pendapat dibungkam, apabila ada warga masyarakat,
organisasi masyarakat, badan hukum maupun pers yang mengeluarkan pernyataan
yang menentang pemerintah maka akan dipenjara, atau diberangus izinnya. Masa
reformasi tiba, masyarakat seperti mendapatkan jalan untuk bisa berekspresi dan
mengeluarkan pendapatnya.
Pada tahun 1998 akhirnya rezim orde baru dilumpuhkan karena adanya
partisipasi aktif mahasiswa dan masyarakat untuk menggulingkan orde baru yang
telah berkuasa selama 32 tahun akibat dari pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sudah tidak berada
dalam garis normal. Normalnya dalam suatu sistem parlementer, dimana MPR yang
terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat, utusan daerah dan utusan golongan, maka
Presiden bisa diawasi oleh MPR. MPR bisa membubarkan Kabinet apabila tidak
dapat memenuhi amanat rakyat. Namun yang terjadi adalah MPR justru memilih
berkali-kali Presiden pada masa itu.[5] Presiden
pada kenyataannya tidak memberikan yang terbaik bagi rakyat. Perekonomian pada
saat itu lumpuh, nilai tukar dollar berada di titik Rp20.000,00, nilai tukar
terendah selama masa orde baru. Reformasi adalah saat yang ditunggu setidaknya
rakyat sudah bosan memiliki Presiden yang sama dalam masa yang lama. Rakyat
membutuhkan perubahan, rakyat tidak mau diperlakukan dengan layaknya seperti
berada di pemerintahan otoriter, suatu keadaan yang bertolak belakang dengan
konstitusi bahwa Indonesia menerapkan sistem demokrasi dengan rakyat memilih
anggota MPR.
Pasca reformasi keran kebebasan berpendapat dibuka, masyarakat dapat
mengeluarkan pendapat dan dilindungi kebebasan berekspresi. Organisasi
masyarakat, badan hukum dan pers mulai diberikan ruang untuk memberikan
pendapatnya. Mulai saat itu unjuk rasa mulai sering dilakukan oleh Mahasiswa
dan masyarakat umum.[6]
Berbagai issu dikemukakan mulai dari persoalan tindakan-tindakan Pemerintah
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme hingga ke permasalahan buruh,
permasalahan kebebasan beragama, hingga tuntutan untuk hak dasar masyarakat
seperti kesehatan, pendidikan, dan masalah masyarakat hukum adat.
Hal tersebut berlaku pula untuk kebebasan pers. Apabila pada zaman orde
lama dan orde baru kebebasan pers adalah barang langka maka pada era reformasi
kebebasan pers ini dibuka kerannya seluas-luasnya. Menurut Huttington (2008)
bahwa salah satu konsep dari negara demokrasi adalah adanya kebebasan pers. Hal
yang terkait dengan hak public untuk mengetahuinya adalah adanya penulisan pers
yang bebas di surat kabar, televisi, radio untuk dapat mengabarkan jalannya
pemerintahan dengan apa adanya tanpa takut adanya penuntutan dan ancaman.
Kemajuan media massa tidak bisa lepas dari kemajuan demokrasi suatu negara.
Semenjak amandemen UNDANG-UNDANG DASAR 1945 saat itulah era demokrasi yang
sebenar-benarnya mulai dijalankan. Rakyat diberikan akses untuk memilih
Presiden secara langsung. Saat itu permasalahan yang ada adalah keinginan untuk
dapat berdemokrasi secara baik.
Pada tahun 2019 terjadi unjuk rasa luar biasa yang
bisa dikatakan sebagai unjuk rasa dengan tema yang luar biasa yang terjadi di
saat-saat terakhir jalannya pemerintahan. Unjuk rasa ini terkait dengan
keinginan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyelesaikan beberapa Rancangan
Undang-Undang (RANCANGAN UNDANG-UNDANG), diantaranya RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi
UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA[7] dan RANCANGAN
UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI.
Awal mulanya
karena status yang diunggah seorang politikus di akun media sosialnya yang
menulis bahwa Panitia Kerja RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA DPR baru saja menyelesaikan pembahasan terakhir REVISI RANCANGAN
UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA di Hotel Fairmont, Jakarta 15
September malam, hal ini membuat anggota Institute for Criminal Justice Reform
(ICJR) tidak menyangka karena para anggota ICJR yang memantau perkembangan
pembahasan RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA sejak 2007
merasa tidak mendengar informasi bahwa Panitia Kerja sedang mempercepat
membahas RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA. Agenda pembahasan revisi yang bisa diakses
oleh public diunggah di situs DPR terakhir kali pada Mei 2018. Setelah itu
tidak ada berita lagi sehingga mereka harus mencari-cari sendiri informasi
tersebut kepada para anggota DPR atau staf ahli DPR. Kabar rapat tertutup itu
mereka sebarkan ke grup WhatsApp “Aliansi Nasional Reformasi KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.” Informasi tersebut juga masuk ke grup Aliansi
Masyarakat untuk keadilan dan demokrasi (AMUKK), perkumpulan masyarakat yang
lebih besar, mendengar kabar bahwa panitia kerja sudah menyelesaikan pembahasan
mereka langsung gempar. Dua anggota Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) segera bertolak ke Hotel Fairmont. Mereka menuturkan bahwa petugas hotel
membenarkan ada pemesanan ruangan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
yang menginisiasi perubahan KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA tapi saat mereka dating
ruangan sudah kosong. Kuatir draft tersebut tiba-tiba diketuk tanpa mereka tahu
isi terakhirnya, para anggota Aliansi Nasional Reformasi pun mencari draft
rancangan tersebut ke tim ahli perumus revisi dan akhirnya mereka mendapatkan
rancangan tersebut. Para anggota Aliansi Nasional Reformasi sepakat ada 17 isu
yang masih bermasalah seperti perihal penghinaan terhadap pemerintah yang sah,
kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, urusan privasi, serta hukum yang
berlaku di masyarakat. Akhirnya mereka menentang DPR mengesahkan RANCANGAN
UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA dan RANCANGAN
UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI yang memang
sudah diniatkan untuk mengadakan unjuk rasa RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI. Di saat-saat itu ternyata DPR mengesahkan RANCANGAN
UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI yang diduga
dilakukan untuk melemahkan KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI dengan meloloskan
Jenderal yang diduga melakukan pelanggaran kode etik pada saat menjadi Deputi
Penindakan KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI pada 2018. Sehari setelahnya Komisi
Hukum DPR mengesahkan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA di tingkat I pengesahan di Komisi Hukum sebelum
dibawa ke sidang paripurna. Hal tersebut membuat kaget dan syok. Hingga
akhirnya mereka berembuk dan mengadakan unjuk rasa.[8]
Itulah latar
belakang adanya unjuk rasa besar-besaran dari sisi masyarakat sipil dalam hal
ini Lembaga Swadaya Masyarakat. Mereka juga banyak berdiskusi dengan mahasiswa.
Sampai dengan saat ini baik LSM maupun mahasiswa tetap memantau perkembangan
respons pemerintah dan DPR terhadap tuntutan mereka. Permintaan untuk perbaikan
revisi, bukan penundaan. Dari keadaan tersebut dirasa ada satu hal yang menarik
untuk dikaji bagaimana sebenarnya dinamika partisipasi
masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana kita
tahu bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa mekanisme partisipasi
public diatur sebagai sarana masyarakat menyampaikan aspirasinya. Namun dengan
adanya unjuk rasa yang terjadi maka patut dipertanyakan seberapa jauh mekanisme
partisipasi publik tersebut dilaksanakan. Jika kita melihat dari kejadian di atas juga dapat
disimpulkan bahwa pers kurang dalam memberitakan persoalan RANCANGAN
UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANGKITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA dan RANCANGAN
UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANGKOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI. Untuk itu kami
mengajukan pokok permasalahan
dari makalah ini adalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana
evaluasi partisipasi masyarakat terhadap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan?
b.
Apa
peran pers
untuk menyokong partisipasi
masyarakat terhadap
Rancangan Peraturan Perundang-Undangan?
B. Analisis
1. Evaluasi Partisipasi Masyarakat
terhadap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan
a. Aturan
yang Mendukung
Hak
Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam
deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of
Rights:
“...we should
these truths to be selfevident; that all men are created equal; that they are
endowed by their creator with certain inalienable rights, liberty and the
pursuit of happiness.”
(Maurice Cranston, 1983:3).[9]
Piagam PBB tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini
termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari,
menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja
dan tidak memandang batas-batas wilayah.
Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengelaurkan pendapat.
Partisipasi masyarakat terhadap rancangan peraturan perundang-undangan
telah mendapatkan payung hukum pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yaitu Pasal 5 huruf g yang menyatakan kan bahwa
salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah harus
berdasarkan asas “keterbukaan.”[10]
Dalam penjelasan Pasal 5 huruf g mengatur bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.[11] Masyarakat mempunyai kesempatan
yang luas untuk memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan
Perundang-undangan. Pada Pasal 96 ayat (1) secara lebih tegas telah menjamin
bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 96 ayat (2) dinyatakan
bahwa masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: a) rapat
dengar pendapat umum; b) kunjungan kerja; c) sosialisasi; dan/atau d) seminar,
lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat yang berhak berpartisipasi dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 96 ayat (3) adalah
orang perseorangan atau kelompok orang atau kelompok orang yang mempunyai
kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan.
Sejak tahap perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu
sejak tahap penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), masyarakat bisa
berpartisipasi. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005
tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Pasal
16 ayat (3)[12] menyatakan bahwa dalam
forum konsultasi dapat pula diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi
dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya
sesuai dengan kebutuhan.
Selanjutnya, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan
Rancangan Peraturan Presiden, Pasal 41[13]
menyatakan:
1)
masyarakat dapat memberikan masukan kepada
Pemrakarsa dalam rangka penyiapan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang;
2)
masukan dilakukan dengan menyampaikan pokok-pokok
materi yang diusulkan;
3)
masyarakat harus menyebutkan identitas secara
lengkap dan jelas.
b. Pelaksanaan
Partisipasi Masyarakat
Guy Peters[14] mengemukakan
model reformasi partisipasi ditempatkan pada kerangka politis.
Permasalahan dalam sektor publik yang menjadi tantangan reformasi adalah
pemerintah yang sangat hierarkis, padahal kebutuhan partisipasi menjadi
kebutuhan dalam setiap organisasi. Reformator partisipasi berpendapat bahwa
organisasi pemerintah akan menjadi lebih baik jika anggota struktur organisasi
dilibatkan dalam pembuatan keputusan. Gagasan mengenai partisipasi ini
didasarkan pada asumsi bahwa individu tertarik pada hal tersebut dan
jika diberi kesempatan maka mereka akan bekerja secara optimal. Pegawai di
sektor publik seringkali termotivasi atas komitmen dan rasa tanggung jawab atas
pekerjaannya dalam memberikan pelayanan publik. Namun partisipasi tidak hanya
fokus terhadap keterlibatan pegawai, pada reformasi sektor publik juga dibutuhkan
keterlibatan dari masyarakat dalam perencanaan dan implementasi
program. Pikiran atas pentingnya melibatkan publik dalam reformasi pelayanan
publik didasarkan pada asumsi bahwa publik juga tertarik dan memiliki
kepentingan untuk melakukan kontrol dan terlibat aktif dalam sektor publik.
Namun, pada kenyataannya sulit bagi publik untuk mengintervensi pengaruh dalam
struktur birokrasi pemerintahan yang konvensional. Maka atas dasar inilah
dibutuhkan peluang partisipasi publik seperti pemungutan suara sederhana,
audiensi publik, dan diskusi mengenai program yang berkaitan dengan kepentingan
publik.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan apabila kita perhatikan pada
Pasal 96 ayat (1) bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada sebagian kalangan
memberikan masukan diartikan hanya pada tahap akhir saja. Namun apabila kita
perhatikan bahwa pemberian masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam “Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan”[15]
mengandung arti dapat memberikan masukan lisan maupun tertulis di semua tahap
pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu tahap perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Namun terkait dengan
pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan belum ada suatu aturan
mengenai partisipasi masyarakat untuk memasuki rapat-rapat yang secara intens
membahas materi rancangan khususnya rancangan undang-undang dalam Komisi/Pansus
maupun Panitia Kerja. Hal ini harus menjadi pemikiran sebab pembentukan
undang-undang yang melibatkan masyarakat mendorong terwujudnya produk-produk undang-undang
yang lebih responsif.[16]
Jika
kita perhatikan para anggota
ICJR yang memantau perkembangan pembahasan RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA sejak 2007 merasa tidak mendengar informasi
bahwa Panitia Kerja sedang mempercepat membahas
RANCANGAN UNDANG-UNDANG Revisi UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA. Agenda pembahasan revisi yang bisa diakses oleh public diunggah di
situs DPR terakhir kali pada Mei 2018. Setelah itu tidak ada berita lagi
sehingga mereka harus mencari-cari sendiri informasi tersebut kepada para
anggota DPR atau staf ahli DPR. Apabila pembahasan rancangan ini dapat
melibatkan partisipasi masyarakat untuk hadir dalam rapat-rapat Komisi/Pansus
maupun Panitia Kerja, misalnya dengan perwakilan dari masyarakat tentunya
proses pemahaman atas aspirasi masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang
lebih mudah dilakukan. Dibandingkan hanya berupa tulisan hitam di atas putih
atau pembahasan di luar rapat-rapat Komisi/Pansus maupun Panitia Kerja sehingga
menyebabkan ada ketidaksingkronan karena tidak berada di rapat yang
sesungguhnya.
Sebenarnya permasalahan utama dari pentingnya
partisipasi masyarakat ini adalah Korupsi Legislasi yang merupakan jenis
korupsi yang belum banyak dibahas dalam kajian hukum dan social di Indonesia.
Selama ini yang banyak dibahas adalah korupsi anggaran. Korupsi legislasi ini
merupakan bentuk-bentuk korupsi politik yang disebut oleh World Bank sebagai state capture sebenarnya dibangun dari
konsep regulatory capture dicetuskan pertama kali oleh Stigler (1971)[17]
yang munculnya dilatarbelakangi keinginan untuk memahami apa sebenarnya yang
memotivasi pembentuk undang-undang anggota parlemen, pemerintah, atau badan
regulasi membuat suatu undang-undang yang mengikat public, apakah untuk
menyuguhkan kebijakan yang terbaik untuk masyarakat atau motivasi untuk
kepentingan pribadi. Dengan adanya partisipasi masyarakat maka diharapkan
korupsi legislasi bisa diminimalisir dan dihilangkan.
2. Peran Pers untuk menyokong partisipasi masyarakat terhadap Rancangan Peraturan Perundang-Undangan
a.
Aturan
yang Mendukung
Hak
Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat, secara formal dapat kita baca dalam
deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of
Rights:
“...we should these truths to be
selfevident; that all men are created equal; that they are endowed by their
creator with certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice
Cranston, 1983:3).[18]
Piagam PBB tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 19 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai
dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat
tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja dan tidak memandang batas-batas wilayah.
Peran pers dalam menyokong
partisipasi masyarakat untuk mendapatkan informasi sebenarnya sudah sangat
dilindungi oleh Undang-Undang. Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat
pembatasan terhadap pers pada era orde baru meskipun Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 menjamin hal itu yaitu dengan adanya Peraturan Menteri Penerangan
Nomor 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP) berdasarkan
Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers,
sangat membatasi kebebasan pers. Apalagi dalam UNDANG-UNDANG DASAR 1945
aturan-aturan mengenai Hak Asasi Manusia sangat sumir. Tetapi setelah amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28 F UNDANG-UNDANG DASAR 1945[19]
ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Mengenai fungsi pers, Pasal
3 ayat (1) Undang-Undang Pers mengatur bahwa pers nasional mempunyai fungsi
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol social.
Kemerdekaan pers ini
mendapatkan payung hukum yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, pada Pasal 4
Undang-Undang Pers dijamin empat hal penting dan mendasar, seperti:
1)
Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga
negara;
2)
Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor,
pembredelan atau pelarangan penyiaran;
3)
Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional
mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi;
4)
Wartawan mempunyai hak tolak.
Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Pers[20]
menyatakan, yang dimaksud dengan “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga negara” adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan,
dana tau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Peranan pers nasional diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Pers[21]
yaitu:
1)
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
2)
Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia serta menghormati kebinekaan;
3)
Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi
yang tepat, akurat dan benar;
4)
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
5)
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
b.
Pelaksanaan
Peran Pers
Dari aturan-aturan yang mendukung itu sebenarnya pers mempunyai payung
hukum untuk dapat sebagai penyalur informasi bagi masyarakat mengenai Rancangan
Undang-Undang yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Seharusnya
Dewan Perwakilan Rakyat sendiri dapat memberikan informasi secara terbuka
terhadap Pers. Jadi misalnya seperti dalam kejadian diatas bahwa informasi mengenai Rancangan
Undang-Undang Revisi Undang Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bisa segera
disalurkan melalui pers sehingga pers bisa menyebarluasakan kepada pihak-pihak
yang membutuhkan informasi mengenai suatu Rancangan Undang-Undang.
Namun dalam kenyataannya tetap ada distorsi yang terjadi terhadap pers
meskipun peranan pers untuk mengawasi dan menegakkan Hak Asasi Manusia sudah
dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
peraturan perundang-undangan dinataranya adalah:[22]
1) Distorsi melalui peraturan perundang-undangan seperti halnya Peraturan
Menteri tentang SIUP dan sejumlah Undang-Undang yang masih berlaku, termasuk
adanya sekitar 37 Pasal dalam KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANAidana yang dapat
membawa wartawan masuk penjara;
2) Melalui birokrasi diantaranya seringnya apparat keamanan bertindak
berlebihan dengan mengusir, memukul, menganiaya dan lainnya;
3) Melalui masyarakat dengan tindakan “main hakim sendiri,” seringkali media
diteror, diancam, kantornya diduduki dan dirusak oleh massa apabila ada berita
atau tulisan yang dinilai merugikan atau tidak sesuai dengan kenyataan yang
sebenarnya. Padahal tindakan tersebut tidak perlu dilakukan karena ada
mekanisme yang bisa ditempuh berupa hak jawab dan hak koreksi sesuai ketentuan
Undang-Undang Pers. Hak jawab dan hak koreksi itu menurut Undang-Undang Pers
merupakan wujud control masyarakat terhadap pers;
4) Dalam praktek gangguan tersebut bisa juga dating dari kalangan pers itu
sendiri. Antara lain berupa penyajian berita yang tidak mentaati norma etik dan
norma hukum. Akibatnya pers atau wartawan terpaksa dihadapkan di meja hijau.
Khusus mengenai
Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
memang unik karena sesungguhnya ada pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang
tersebut yang mengancam kebebasan pers, sehingga Dewan Pers sendiri menolak
Rancangan Undang-Undang Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hingga akhirnya dengan dukungan masyarakat Rancangan Undang-Undang tersebut
ditunda pengesahannya. Presiden Jokowi dengan mencermati aspirasi yang
berkembang di masyarakat memutuskan untuk meminta agar pembahasan Rancangan
Undang-Undang Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditunda.[23]
Kasus-kasus
pemukulan terhadap jurnalis Metro TV saat meliput pilkada di Makassar,[24]
pengusiran dan intimidasi terhadap jurnalis Detikcom saat meliput massa aksi
212,[25]
pengusiran jurnalis dan contributor BBC yang meliput krisis kesehatan di Asmat,
Papua,[26]
Kekerasan terhadap wartawan unjuk rasa penolakan pembangkit listri tenaga panas
di Banyumas, Jawa Tengah,[27]
dan lain-lain.
C. Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
a)
Belum ada suatu aturan mengenai partisipasi
masyarakat untuk memasuki rapat-rapat yang secara intens membahas materi
rancangan khususnya rancangan undang-undang dalam Komisi/Pansus maupun Panitia
Kerja. Hal ini harus menjadi pemikiran sebab pembentukan undang-undang yang
melibatkan masyarakat mendorong terwujudnya produk-produk undang-undang yang
lebih responsif.
b)
Pers mempunyai payung hukum untuk dapat sebagai
penyalur informasi bagi masyarakat mengenai Rancangan Undang-Undang yang sedang
dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat
sendiri dapat memberikan informasi secara terbuka terhadap Pers. Jadi misalnya
seperti dalam kejadian diatas bahwa
informasi mengenai Rancangan Undang-Undang Revisi Undang Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana bisa segera disalurkan melalui pers sehingga pers
bisa menyebarluasakan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi mengenai
suatu Rancangan Undang-Undang. Namun dalam kenyataannya tetap ada distorsi yang
terjadi terhadap pers meskipun peranan pers untuk mengawasi dan menegakkan Hak
Asasi Manusia sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan.
2.
Saran
a)
Agar
dibuat suatu aturan mengenai
partisipasi masyarakat untuk memasuki rapat-rapat yang secara intens membahas
materi rancangan khususnya rancangan undang-undang dalam Komisi/Pansus maupun
Panitia Kerja;
b)
Agar dibuat suatu mekanisme yang jelas mengenai tata
cara dan kesepakatan tentang hak dan kewajiban pers agar tidak terjadi lagi
distorsi terhadap pers.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Masyhur, Effendi, A. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan
Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia:1994.
Petters , B. Guy.The Politics of Bureaucracy. London: Routledge, 2001.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers
Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Jurnal Ilmiah
Syahmardan, Partisipasi Masyarakat: Wujud Transparansi
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Demokratis, (Jakarta: Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 9 No.1-April 2012).
Direktur Publikasi, Kerja Sama dan
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan Jurnal Legislasi, Vol. 5 No.1
Stigler,
G.J.”The Theory
of Economic Regulation,” The Bell Journal of Economics and Managemnet Science
Vol. 2, No.1 (Spring, 1971), hal. 3-21.
Purawan, Akhmad Adi, Korupsi Legislasi Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Jurnal Rechtsvinding, Vol. 3, No. 3,
Desember 2014.
Harahap, M. Syahnan. Tinjauan
Hukum Peran Pers Guna Menegakkan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Jakarta:
Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, FH Univ. Suryadarma, Vol. 4, No. 1, September
2013.
Internet
10 Pasal di RKUHP
Ancam Penjarakan Jurnalis dan Media", https://tirto.id/ehpd
https://nasional.tempo.co/read/565615/anggota-dprd-bantul-peleceh-wartawan-diperiksa-bk/full&view=ok.
https://hukum.tempo.co/read/1059485/kebebasan-pers-di-indonesia/full&view=okhttps://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/11/131125_lapsus_suharto_kebijakankeamananorba.
Majalah
Tim
Redaksi. Gara-Gara DPR Ngebut. Jakarta: Majalah
Tempo, 2019.
[1] https://www.rumahfiqih.com/konsultasi-1164627752-mana-yang-lebih-dulu-nabi-adam-a-s-atau-manusia-purba.html, diakses pada 3 Januari 2020.
[3] https://hukum.tempo.co/read/1059485/kebebasan-pers-di-indonesia/full&view=ok, diakses pada 3 Januari 2020
[4]https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/11/131125_lapsus_suharto_kebijakankeamananorba, diakses pada 3 Januari 2020
[5] Pada sistem pemerintahan
parlementer karena Presiden adalah mandataris MPR maka Presiden sangat
tergantung kepada Parlemen. Proses pembentukan pemerintahan lama karena adanya
lobi-lobi antara anggota legislative yang terdiri dari partai partai
selanjutnya adalah persoalan lamanya pemerintahan akan terbentuk. Instabilitas
yang mungkin terjadi adalah seperti pada saat berlakunya UNDANG-UNDANG DASARS
1950 di negara Indonesia. Pada saat itu berlaku sistem parlementer di
Indonesia. Berdasarkan konstitusi UNDANG-UNDANG DASARS 1950 maka Parlemen bisa
membubarkan Eksekutif (kabinet) apabila ada ketidaksesuaian. Tercatat 7 kali
pergantian kabinet dan perdana menteri.
Sedangkan pada masa orde baru (1966-1998) Presiden juga dipilih oleh
Legislatif. Pada saat itu Presiden terus dipilih kembali oleh legislative
selama 32 tahun. Hal ini menimbulkan instabilitas politik dimana terjadi
korupsi, kolusi dan nepotisme, terjadi pelanggaran hak asasi manusia, dan
lain-lain. (Direktur Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan[Jurnal Legislasi, Vol. 5 No.1 http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/439-dampak-sistim-multipartai-dalam-kehidupan-politik-indonesia.html)
[6] https://kumparan.com/zenius-education/unjuk-rasa-sebagai-bagian-dari-demokrasi-1rvtbKrfEiB, diakses pada 3 Januari 2020.
Setelah demonstrasi 1998 terjadi juga demonstrasi menurunkan Megawati dan
Gusdur yang juga dikomando oleh Mahasiswa.
[7] Beberapa hari lalu pengesahan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA)
nasional sudah hampir pasti dicanangkan 24 September 2019. Namun, kepastian itu
buyar ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan meminta penundaan
pengesahan RKITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA karena ada sejumlah isu belum
tuntas dan perlu dibahas anggota DPR mendatang. Harus menunggu berapa lama lagi
negeri kita memiliki KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA yang disusun bangsa
sendiri? Suka tidak suka kita hidup di negeri yang tanpa KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA nasional. Sebenarnya, cita-cita mempunyai KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA nasional hampir sama umurnya dengan umur negara ini. Pada 1946,
Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta mengesahkan UNDANG-UNDANGNo 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menyatakan berlakunya KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1915 dengan berbagai perubahan. Pada bagian akhir UNDANG-UNDANGitu
dikatakan bahwa akan segera disusun KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA baru.
Menunggu 73 tahun Setelah berlalu 73 tahun, cita-cita itu belum juga
diwujudkan. Artinya, kita masih menggunakan KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
yang asalnya dari wetboek van strafrecht (WvS) 1915 (yang berlaku mulai 1918)
dengan berbagai perubahannya. Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan
atas WvS itu tidak kurang dari 82 kali sejak 1918. Ketika Indonesia merdeka
tidak kurang dari 12 kali perubahan telah dilakukan atas KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA itu. Berdasarkan UNDANG-UNDANGNo 1 Tahun 1946 dan kemudian UNDANG-UNDANGNo
73 Tahun 1958, nyatalah bahwa bahasa resmi dari KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA kita itu masih bahasa Belanda, dengan berbagai perubahan, sebagian masih
bahasa Belanda dan sebagian bahasa Indonesia. Maka dari itu, kalau kita baca KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA yang beredar saat ini, itu merupakan terjemahan dari
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA resmi, jadi bukan KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA-nya sendiri. (https://mediaindonesia.com/read/detail/261057-menjadi-negeri-tanpa-Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana-sendiri,
diakses pada 3 Januari 2020).
[9] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam
Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[11] Penjelasan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 5 huruf g,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
[12] Peraturan
Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan
dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, Pasal 16 ayat (3)
[13] Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,
dan Rancangan Peraturan Presiden, Pasal 41.
[16] Syahmardan,
Partisipasi Masyarakat: Wujud
Transparansi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Demokratis,
(Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 9 No.1-April 2012), hal 148.
[17] Lihat G.J.
Stigler,”The Theory of Economic
Regulation,” The Bell Journal of Economics and Managemnet Science Vol. 2,
No.1 (Spring, 1971), hal. 3-21. Lihat juga Akhmad Adi Purawan, Korupsi Legislasi Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, (Jakarta: Jurnal Rechtsvinding, Vol. 3, No.
3, Desember 2014), hal 352
[18] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam
Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[19] Bahkan
kalau mau dikaji lebih lanjut, ketentuan Pasal 28 F UNDANG-UNDANGNRI Tahun 1945
tersebut telah mengakomodir perjuangan gigih pers selama ini (orde lama dan
orde baru) hanya terbatas pada prinsip “freedom
from” bebas dari tekanan, bebas dari terror, bebas dari sensor, bebas dari
bredel, bebas dari budaya telepon, bebas dari pembatalan SIUP, danlainnya.
Padahal perjuangan kebebasan pers yang sebenarnya tidak terbatas pada “freedom from” saja, melainkan jauh
lebih luas dari itu yakni “freedom for” bebas
untuk mencari, memperoleh, mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi. Itulah sebabnya dikatakan Pasal 28 F UNDANG-UNDANGNRI
Tahun 1945 telah mencakup perjuangan pers dalam arti luas. (https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jihd/article/viewFile/85/82).
[22] M. Syahnan
Harahap, Tinjauan Hukum Peran Pers Guna
Menegakkan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, (Jakarta: Jurnal Ilmiah Hukum
Dirgantara, FH Univ. Suryadarma, Vol. 4, No. 1, September 2013), hal 28.
[23] Ketua Bidang
Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim menambahkan, ada 10 pasal di RKUHP,
termasuk Pasal 281 yang berpotensi menghambat kerja media dan jurnalis dalam
kontrol sosial. Ke-10 pasal di RKUHP yang berpotensi mengkriminalkan jurnalis
dan media menurut AJI Indonesia dan LBH Pers, yakni: 1. Pasal 219 tentang
penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden 2. Pasal 241 tentang penghinaan
terhadap pemerintah 3. Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa 4. Pasal 262
tentang penyiaran berita bohong 5. Pasal 263 tentang berita tidak pasti 6.
Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan 7. Pasal 305 tentang
penghinaan terhadap agama 8. Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan
umum atau lembaga negara 9. Pasal 440 tentang pencemaran nama baik 10. Pasal
444 tentang pencemaran orang mati.
Baca selengkapnya di artikel "10 Pasal di RKUHP Ancam Penjarakan Jurnalis dan Media", https://tirto.id/ehpd
Baca selengkapnya di artikel "10 Pasal di RKUHP Ancam Penjarakan Jurnalis dan Media", https://tirto.id/ehpd
[24] https://pilkada.tempo.co/read/1102651/pilkada-makassar-jurnalis-terluka-saat-meliput-hitung-suara/full&view=ok, diakses pada 3 Januari 2020.
[25] https://metro.tempo.co/read/1143106/aji-jakarta-kecam-intimidasi-terhadap-jurnalis-detikcom, diakses pada 3 Januari 2020.
[26]
https://nasional.tempo.co/read/1057397/pengusiran-jurnalis-bbc-dari-asmat-dinilai-ancam-kebebasan-pers
[27] https://nasional.tempo.co/read/565615/anggota-dprd-bantul-peleceh-wartawan-diperiksa-bk/full&view=ok, diakses pada 3 Januari 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar