BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Demokrasi
selalu menarik untuk dipebincangkan terutama pada saat sebuah negara sedang
mengalami masa transisi menuju demokrasi yang
lebih sesuai dengan aspirasi seluruh rakyat Indonesia terutama setelah
saya membuat tugas Ringkasan Dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam
Transisi Politik di Indonesia mulai
dipahami bahwa setiap negara yang telah melewati pemerintahan otoritarian dan
memulai pemerintahan dengan sistem demokrasi akan melalui suatu fase transisi.
Suatu fase yang sedang dilalui oleh Indonesia setelah reformasi.
Satu hal yang
menarik perhatian adalah bahwa isu tentang hak asasi manusia ternyata menjadi salah satu akar permasalaan
yang menyebabkan sekelompok manusia yang bergabung dalam suatu masyarakat atau
negara dimana pada negara tersebut dipimpin oleh rezim yang otoriter akhirnya
memutuskan untuk melepaskan negara mereka dari pemerintahan otoriter tersebut
menjadi sebuah pemerintahan yang lebih demokratis. Saya sebut sebagai lebih
demokratis karena masa transisi menuju demokratis itu bukan berarti
pemerintahan tesebut sudah demokratis. Seperti yang terjadi di Indonesia sejak
masa reformasi untuk berlepas diri dari pemerintahan orde baru yang dipandang
otoriter. Hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia untuk bebas berekspresi,
untuk bebas beroranisasi dan berkelompok, bebas menyatakan pendapat. Ketika
masa orde baru dianggap hal tersebut kurang diakomodir di Indonesia. Tapi ternyata setelah reformasi pun, setelah
Indonesia berganti rezim, setelah Indonesia merubah Undang-Undang Dasar Tahun
1945, setelah adanya sistem pemilihan Presiden secara langsung sejak tahun
2004 yang dianggap lebih demokratis,
Indonesia tetap mengalami beberapa ketidakpuasan dari warga negara menyangkut
siapa yang akhirnya terpilih sebagai Pesiden.
Secara teori
ketatanegaraan, suatu negara sebaiknya melaksanakan sistem pemerintahan yang
menyangkut dalam hal hak asasi manusia, demokrasi, perwujudan negara hukum,
konstitusi, peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim. Sedangkan apabila
ada yang belum sesuai maka hal itu dipandang sebagai masa transisi ataupun
suatu fenomena yang mungkin membawa suatu perubahan yang baik atau buruk bagi
sistem ketatanegaraan suatu bangsa.
Pendidikan terutama di daerah rawan konflik dan rawan bencana selalu
menjadi masalah pekerjaan rumah pemerintah yang tiada henti-hentinya. Letak
geografis Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan
dikelilingi oleh lautan membuat negeri ini berpotensi dihantam banyak bencana
alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekap data pristiwa
bencana yang terjadi sepanjang bulan Januari sampai dengan bulan September
tahun 2019 telah terjadi 2.829 kejadian bencana dengan 464 korban meninggal dan
hilang, 1.826 korban luka, 5.075.783 mengungsi dan terdampak.[1]
Sedangkan pada daerah rawan konflik seperti Aceh dan Papua yang memiliki luka
masa lalu yang belum hilang menyisakan konflik berkepanjangan hingga saat ini.
Seperti kejadian baru-baru ini di Wamena, hal-hal semacam itu berpengaruh besar
pada keadaan psikologis masyarakat.[2] Menurut
catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dalam periode tahun 2001 warna
kekerasan masih mengental di bumi Aceh, dan tercatat tidak kurang dari 2.325
kasus aksi kekerasan terhadap kemanusiaan telah terjadi. Kasus-kasus kekerasan
yang dimaksud meliputi sekitar 1000 kasus pembunuhan, 683 kasus penyiksaan, 107
kasus penghilangan orang secara paksa, dan 535 kasus penangkapan dan penahanan
secara sewenang-wenang.[3]
Dalam konteks peringatan 53 tahun Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) yang diselenggarakan pada tahun 2001 yang lalu, patut dicatat bahwa hak
atas pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang bersifat
universal. Pasal 26 UDHR antara lain menyatakan sebagai berikut:[4]
1.
Bahwa tiap-tiap orang berhak atas pendidikan.
Pendidikan harus bebas biaya, terutama untuk tingkat pendidikan dasar.
Pendidikan dasar berisfat wajib, sedangkan pendidikan teknis dan professional
harus dimungkinkan untuk didapatkan dan pendidikan tinggi harus dapat diakses
oleh semua orang berdasarkan manfaat.
2.
Pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan penuh
dari kepribadian manusia dan ke arah penguatan penghormatan terhadap HAM dan
kebebasan-kebebasan dasar. Ia harus memajukan pemahaman, toleransi, dan
persahabatan di antara semua bangsa, kelompok-kelompok ras dan agama, dan juga
memajukan aktivitas-aktivitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memelihara
perdamaian.
3.
Para orang tua memiliki hak untuk memilih terlebih
dahulu macam pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
Pada masa orde baru pendidikan mengedepankan moto “membangun manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia.” Posisi siswa sebagai subjek
dalam era orde baru telah dipaparkan bahwa pada masa ini seluruh bentuk pendidikan
ditujukan untuk memenuhi hasrat penguasa, bukan menciptakan menjadi manusia
yang siap bereksplorasi dengan ilmunya. Jarak antara pendidikan dan aplikasi
dunia kerja yang begitu jauh menjadikan adanya pengangguran terdidik.
Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk
mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.[5]
Kondisi saat ini dengan kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara
rawan konflik dan rawan bencana, sistem pendidikan harus menciptakan manusia
yang benar kuat dan mampu berkolaborasi dengan keadaan. Apabila ditambah dengan
era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)[6]
dimana persaingan dunia kerja tingkat ASEAN. Tenaga kerja asing akan mudah
masuk ke Indonesia. Untuk itu diperlukan kekuatan sistem pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia.
Pada saat ini belum ada
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang khusus mengatur masalah pendidikan
pada daerah konflik dan bencana. Ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Konflik Sosial dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Tetapi kedua Undang-Undang tersebut belum mengakomodir isu pendidikan
di daerah konflik dan bencana. Sehingga permasalahan pendidikan di daerah
konflik menjadi permasalahan yang hingga kini belum benar-benar terakomodir.
Sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus
sebagai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, dimana Peraturan
Pemerintah tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Namun dikarenakan potensi konflik dan bencana yang
semakin besar akhir-akhir ini diperlukan payung hukum yang lebih tinggi yaitu
Undang-Undang karena memang pendidikan adalah hak dasar yang harus benar-benar
terjamin pelaksanaannya. Sehingga tanggungjawab pelaksanaan hal ini tak hanya
menjadi tanggungjawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tapi kerjasama
banyak instansi di bawah arahan Presiden.
Hal ini
dikarenakan belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur pelaksanaan pendidikan di daerah konflik dan bencana baik dari segi
fisik pendidikan maupun non fisik. Keadaan pendidikan di daerah konflik dan
bencana membutuhkan payung hukum khusus agar pelaksanaannya lebih dapat
dikendalikan dan penanganannya khusus.
Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi untuk menguji
Undang-Undang terhadap Konstitusi belum memiliki fungsi sebagai lembaga yang
menguji pengaduan konstitusional. Dimana pengaduan konstitusional merupakan
pengaduan warga negara ataupun sekelompok warga negara untuk menguji apabila
ada tindakan atau Keputusan Pemerintah yang tidak sesuai dengan konstitusi.
Dalam tulisan ini
Penulis bermaksud sedikit mengangkat issu tentang pengaduan konstitusional
sebagai bahan untuk diteliti lebih lanjut mengenai kemungkinan penambahan tugas
dan fungsi dari Mahkamah Konstitusi.
B.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana peluang
untuk menambah tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam pengajuan Pengaduan
Konstitusional?
b.
Bagaimana implikasi
yang akan timbul apabila tugas dan fungsi dilaksanakan?
C.
Tujuan Penulisan
a. Untuk memperoleh informasi mengenai peluang untuk menambah tugas dan
fungsi Mahkamah Konstitusi dalam pengajuan Pengaduan Konstitusional;
b. Untuk mengetahu implikasi yang akan timbul apabila tugas dan fungsi
dilaksanakan.
D.
Kerangka Teoritis
1. Teori hukum alam dari John Locke :
Men being, as has been said, by nature all free, equal, and
independent, no one can be put out of this estate and subjected to the
political power of another without his own consent.[7]
Dalam
tulisan ini dipilih teori hukum alam dari John Locke karena untuk mendapatkan
pemahaman mengenai teori-teori kenegaraan dalam hal hak asasi manusia dan
demokrasi teori ini memberikan suatu pemahaman awal bahwa manusia tidak bisa
dipaksakan untuk ikut dalam politik tertentu tanpa ada persetujuannya karena
pada dasarnya manusia itu bebas, sama dan merdeka.
2. Teori Stufenbau (teori mengenai sistem
hukum) dari Hans Kelsen:
Sistem hukum merupakan sistem anak tangga
dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus
berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi
(seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar
(grundnorm).[8]
Dalam
tulisan ini dipilih teori stufenbau (teori mengenai sistem hukum) dari Hans
Kelsen karena teori ini memberikan pemahaman awal yang baik dalam pelaksanaan
Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim. Bahwa seluruh
aturan tersebut harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar
(grundnorm).
E.
Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Kerangka Teoritis
E. Sistematika Penulisan
BAB II
TEORI DAN TUGAS FUNGSI MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Hak Asasi Manusia
Men being, as has
been said, by nature all free, equal, and independent, no one can be put out of
this estate and subjected to the political power of another without his own
consent.[9]
Merupakan kalimat indah dari seorang John Locke yang merupakan inti dari hak
asasi manusia yang dimiliki oleh semua manusia di dunia ini. Manusia itu pada
dasarnya secara alamiah adalah makhluk yang bebas, mempunyai kedudukan yang
sama, dan merdeka. Tidak seorang pun dapat menetapkannya dalam suatu kekuasaan
ataupun politik tanpa persetujuannya. Pembahasan mengenai hak asasi manusia
selalu menarik untuk dibahas karena dengan hak inilah akhirnya setiap manusia
dapat hidup dengan aman dan sentausa di dunia.
Selanjutnya apabila manusia itu
sesungguhnya hidup bebas, sama, dan merdeka lalu mengapa di dunia ini manusia
mau bergabung dengan orang lain. Apabila kita melihat nenek moyang manusia
yaitu Nabi Adam yang diciptakan pertama kali oleh Allah SWT pada akhirnya Nabi
Adam pun diberikan pasangan dari sesama manusia, Allah SWT menciptakan Hawa
sebagai istri Nabi Adam.[10] Itu
menandakan bahwa manusia itu secara alamiah adalah makhluk sosial yang meskipun
seorang manusia itu bebas tetapi manusia suka hidup bersama dengan manusia
lain.
Manusia
secara alamiah bersatu dengan manusia lainnya dalam suatu komunitas seperti
suatu perkumpulan yang terkecil yaitu keluarga. Bisa kita katakan bahwa
keluarga adalah tempat seorang mulai hidup, terdiri dari seorang ayah, ibu,
anak. Terkait hal ini John Locke memberikan perumpamaan keluarga adalah sebagai
suatu sistem monarki. Contoh
pemerintahan pertama adalah keluarga. Dengan ayah sebagai pemimpin keluarga,
ibu dan anak mengikutinya. Ayah mengeluarkan aturan-aturan hidup. Ayah
diberikan ruang untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam keluarga dan keluarga memberikan otoritas kepada
ayah untuk melakukan hal tersebut. Seorang ayah tentunya memimpin keluarganya dengan
cinta dan kasih sayang, dengan latihan dengan perhatian dan keahlian yang
membuat keluarganya tumbuh dengan lingkungan yang bahagia, perpolitikan keluarga yang bahagia.[11] Beda
dengan suatu keluarga dengan ayah yang otoriter yang memaksakan apapun yang
menjadi kehendaknya dengan sewenang-wenang, tanpa mempertimbangkan kebutuhan
keluarganya, tanpa anggota keluarga bisa diberikan contoh kebaikan dan
kesempatan untuk mengeluarkan pikirannya.[12]
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat,
secara formal dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara
Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of Rights:
“...we should these truths to be selfevident;
that all men are created equal; that they are endowed by their creator with
certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice
Cranston, 1983:3).[13]
Lalu apabila ada potensi suatu komunitas,
dimana seorang manusia bergabung di dalamnya baik keluarga, masyarakat maupun
negara, menjadi tidak baik dalam hal ini otoriter lalu mengapa seorang manusia
tetap ingin bergabung dengan suatu komunitas, mengapa ia tidak hidup sendiri
saja, masing-masing, sehingga tidak konflik yang terjadi dengan manusia
lain. Tetapi bertolak belakang dengan
pertanyaan tersebut pada kenyataannya setiap manusia juga memiliki hak untuk
mendapatkan rasa aman baik terhadap dirinya maupun hartanya. Dalam sebuah
masyarakat maka seseorang akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat
tersebut. [14]
Jadi inilah yang disebut bahwa hak asasi
manusia itu sangat bergantung juga dengan manusia lainnya. Negara Indonesia
adalah negara yang mengandung persatuan antara rakyat dan pimpinannya, persis
seperti yang dimaksud oleh Soepomo dengan teori integralistiknya.[15] Hal ini menurut Soekarno dan Soepomo. Dengan
ini corak Indonesia sangat kolektivistik dan cenderung mengabaikan
individualistik. Sementara Hatta-Yamin meskipun menerima kolektivisme, tetapi
mengharuskan adanya imbangan unsur individualisme paham HAM.[16] Hal tersebut menjadi
pembahasan apakah perlu memasukkan hal hak asasi manusia dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.[17] Ada dua pandangan yang berbeda
antara Soekarno dan Soepomo dengan Hatta dan Yamin. Pandangan Soekarno dan
Soepomo menunjukkan bahwa tidak perlu diatur hak asasi manusia, bahwa Indonesia
sangatlah kolektivisme cenderung mengabaikan individualistik. Sedangkan Hatta
dan Yamin meskipun sama pandangannya bahwa Indonesia bersifat kolektivisme
tetapi tetap harus ada unsur hak asasi manusia di dalamnya.
Sebenarnya permasalahan tersebut akhirnya
terjawab dengan pandangan John Locke meskipun manusia adalah makhluk bebas,
sama, dan merdeka (individualistik) tetapi tetap membutuhkan untuk bergabung
dalam masyarakat karena faktor keamanan, yang sesungguhnya juga merupakan hak
asasi manusia, bagi dirinya dan hartanya. Selain itu manusia membutuhkan
otoritas untuk menyatakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah apabila
seorang manusia memiliki konflik[18] dengan manusia lain,
untuk itu diperlukan pemimpin dalam hal ini sistem pemerintahan. Sistem
pemerintahan seperti apa yang mendukung hak asasi manusia, tentulah suatu
sistem pemerintahan yang melindungi hak asasi manusia dari warga negaranya,
sistem yang disebut sebagai demokrasi. Demokrasi akan dibahas pada bahasan
berikutnya dari tulisan ini. Demokrasi yang sering diartikan sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem yang menjunjung
rakyat untuk ikut serta mendukung dan memberikan hak suaranya dalam pemilihan
umum untuk memilih wakil rakyat.
B. Demokrasi
Dalam banyak literatur disebutkan bahwa
demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi tidak hanya pemerintahan
oleh rakyat tapi juga, dalam formula Presiden Abraham Lincoln, sebagai
pemerintahan untuk rakyat. Pemerintahan demokrasi yang ideal haruslah selalu
memiliki komunikasi yang baik dengan seluruh rakyat.[19]
Dalam sebuah negara yang menerapkan demokrasi
dengan baik yang utama adalah adanya partisipasi rakyat untuk memberikan
suaranya terhadap jalannya pemerintahan. Rakyat tidak dibungkam suaranya, tidak
diarahkan ke dalam pusaran tertentu dari keinginan pemerintah. Harus ada
informasi yang terbuka di negara tersebut. Dan adanya kesempatan rakyat terbuka
dan bebas melaksanakan pemilihan umum. Hak asasi manusia diberikan pada negara
demokrasi.
Robert A. Dahl menjelaskan bahwa
demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung 8 hal sebagai berikut[20]:
1.
Kebebasan untuk bersama dan bergabung
dalam organisasi;
2.
Kebebasan untuk berekspresi;
3.
Hak untuk memilih;
4.
Kelayakan untuk organisasi publik;
5.
Hak bagi pemimpin politik untuk
berkompetisi untuk mendapatkan dukungan dan pemilih;
6.
Banyak alternatif sumber informasi;
7.
Pemilihan yang jujur dan bebas;
8.
Institusi untuk membuat kebijakan
pemerintahan tergantung dari pilihan dan pilihan yang lain.
Tapi ternyata
demokrasi pun ada banyak modelnya, tergantung dari bagaimana corak dan
keragaman dari warga negara. Arend Lijphart[21]
membagi model demokrasi menjadi dua yaitu majoritarian dan consensus model.
Keduanya meupakan prescriptive model tapi saat sekarang disebut juga empirical
model. Majoritarian model cocok diterapkan pada negara yang masyarakatnya
homogen misalnya Inggris dan New Zealand, sedangkan consensus model cocok
diterapkan pada negara yang masyarakatnya plural misalnya Switzerland dan
Belgia. Keempat negara tersebut secara empiris mewakili. Mengenai dua model
demokrasi ini, saya rangkum dalam tabel berikut ini:
Tabel 1
Subjek
|
Majoritarian Model
|
Consensus Model
|
Konsenterasi Kekuasaan Eksekutif
|
1 partai dan kabinet dengan mayoritas
|
koalisi besar
|
Sistem pemerintahan
|
parlementer
|
presidensial
|
Kamar di Parlemen
|
assismetris
|
dua kamar
|
Sistem partai
|
dua partai
|
multi partai
|
Dimensi partai
|
satu dimensi
|
multi dimensi
|
Sistem pemilihan
|
plural
|
proposional
|
Pemerintahan
|
terpusat
|
desentralisasi dan ada negara bagian
|
Konstitusi
|
tidak tertulis
|
Tertulis
|
Demokratis atau
tidaknya suatu negara bukan dilihat dari apakah negara tersebut menerapkan
sistem kerajaan atau tidak, sebagaimana Inggris yang meskipun negara kerajan
(monarki)[22] tapi
menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahan. Adanya pemilihan umum untuk
memilih wakil rakyat di parlemen membuktikannya. Inggris dengan masyarakatnya
yang homogen bisa diterapkan sistem majoritarian demokrasi, hanya partai dengan
pemilih mayoritas saja yang bisa menduduki parlemen, hanya dua partai.
Partai-partai kecil yang minoritas tidak diberikan kursi untuk duduk di
parlemen. Berbeda dengan Switzerland dan Belgia yang menerapkan consensus
demokrasi sehingga partai diberikan proporsi kursinya masing-masing di
parlemen. Partai mayoritas dan minoritas tetap mendapat kursi di parlemen. Hal
tersebut tentunya berpengaruh terhadap demokrasi politik yang terjadi pada
negara-negara tersebut.
Prof. C.F. Strong[23]
dalam memberikan pengertiannya mengenai “demokrasi politik” ia menggariskan
tiga kriteria:
1.
Kebebasan untuk menyatakan pendapat dalam
pemilihan umum;
2.
Kebebasan mimbar;
3.
Kebebasan pers.
Menarik untuk
memperbincangkan juga mengenai kebebasan pers, apalagi jika diakitkan dengan
era internet 4.0. dimana kebebasan informasi benar-benar terjadi, lintas
tempat, lintas budaya, lintas ideologi. Indonesia yang menganut demokrasi
pancasila tentu harus berjuang keras agar demokrasi pancasila tetap terwujud
dalam sendi-sendi kehidupan bangsa.
Seperti yang
dijelaskan dalam makalah Ringkasan dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam
Transisi Politik di Indonesia[24]
hal 97-246 bahwa permasalahan demokrasi di Indonesia pada jaman orde baru bukan
karena hak asasi manusia tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945[25]
(saya mengkhususkan pembahasan pada era orde baru yang sudah berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, mengenai UUD RIS dan UUDS 1950 mungkin akan saya kaji
terpisah dalam makalah lainnya), secara tersirat Undang-Undang Dasar 1945
mengatur mengenai hak asasi manusia dan jelas-jelas bahwa Indonesia menganut
sistem demokrasi. Tetapi dalam pelaksanaan terlihat seperti otoriter lebih
karena tidak ada perwujudan negara hukum yang benar-benar menjelma dalam
kenyataan. Perwujudan negara hukum yang seharusnya membuat setiap warga negara
sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Masih adanya dwi fungsi ABRI
yang ternyata tidak sesuai dengan pengertian pada Undang-Undang Dasar 1945.[26]
Perwujudan
negara hukum[27]
menjadi sebuah harapan yang sangat besar dari suatu sistem kenegaraan sebab
ibarat bangunan maka hukum adalah kerangka yang akan membuat bangunan menjadi
kokoh berdiri, ia ibarat rangka yang menopang agar bangunan tidak roboh. Namun
seperti apakah perwujudan negara hukum yang diharapkan bisa memberi kerangka
yang baik bagi perwujudan demokrasi, ataukah justru demokrasi yang membuat
hukum mampu berdiri dengan tegak. Keduanya saling menopang dan akhirnya membuat
hak asasi manusia dapat terwujud dalam seluruh lingkup kehidupan.
C. Konstitusi, Peraturan Perundang-undangan
dan Keputusan Hakim
Konstitusi[28]
sebagai pokok haluan dalam bernegara. Dua jenis konstitusi yang ada di dunia
ini adalah konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tidak
tertulis hanya terdapat di tiga negara yaitu Inggris, New Zealand dan Israel.
Perubahan konstitusi dilaksanakan dengan berbagai cara pada negara-negara di
dunia ini. Tapi secara garis besar dengan special
majorities, popular referendum, regular parliamentary majority. Perubahan
konstitusi dengan special majorities
dilaksanakan oleh negara-negara dengan sistem demokrasi consensus. Biasanya dengan melaksanakan voting 2/3 suara parlemen. Popular Referendum biasanya merupakan
alat dari partai mayoritas di parlemen untuk memperoleh dukungan rakyat. Regular Parliamentary Majority biasanya
dilaksanakan negara-negara dengan konstitusi tidak tertulis, sehingga setiap
melaksanakan sesuatu hal yang membutuhkan hal baru terhadap konstitusi yang
tidak tertulis tersebut maka diadakan pemungutan suara.[29]
Konstitusi adalah dokumen tertulis yang
menggambarkan kekuasaan parlemen, pemerintahan dan kehakiman. Menggambarkan
hak-hak dasar dari tiga kekuasaan tersebut. Juga ada tata cara perubahan
konstitusi.[30] Jadi
menggambarkan juga pemisahan kekuasaan.[31]
Sementara itu di bawah konstitusi berlaku
aturan-aturan di bawah konstitusi yang tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi. Apabila aturan di bawahnya bertentangan dengan aturan di atasnya
maka itu berarti tidak tepat.[32]
Teori Stufenbau (teori mengenai sistem
hukum) dari Hans Kelsen:
Sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang
di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang
lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus
berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar[33]
(grundnorm).
Judicial review[34] menjadi salah
satu bagian dari pelaksanaan kenegaraan namun ternyata ada juga negara di dunia
tidak menjalankan judicial review
cukup dengan parlemen review, contohnya Republik IV Prancis, namun akhirnya
setelah perubahan konstitusinya mengatur keberadaan kekuasaan judicial dan
mengakomodir judicial review. Kasus yang fenomenal lain Marbury Vs. Madison merupakan contoh judicial review
di Amerika.[35]
Hal yang menjadi perbincangan hangat pada negara
transisi menuju demokrasi adalah apakah dengan adanya konstitusi di suatu
negara maka sistem demokrasi akan berjalan, atau justru mengikat. Semisal
Indonesia dengan wacana baru-baru ini ingin mengamandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara seperti Inggris[36]
yang tidak memiliki konstitusi, atau negara fedeal Amerika, Konstiusi di Uni
Eropa, dengan negara Jerman.[37]
Bagaimana kehidupan bernegara mereka yang tentunya sudah lebih ideal dalam melaksanakan
demokrasi.
Konstitusi
sebagai alat bargaining.[38]Ketika
pihak mayoritas akhirnya haruslah mengakomodir pihak minoritas. Terutama pada
negara dengan sistem demokrasi consensus.
Gag Rules juga diperlukan sebagai
kesepakatan awal parlemen. Konstitusi tidak betentangan dengan demokrasi
terutama untuk membatasi agar tidak ada kebebasan politik yang tanpa arah yang
akhinya menghancurkan kesejahteraan warga negara. Hak asasi manusia juga akhirnya
terlindungi dengan adanya konsitusi dimana di awal bab sudah dijelaskan bahwa
setiap adanya hak asasi manusia maka ada keinginan juga dari individu untuk
telindungi hak keamanan tehadap diri dan hartanya. Konstitusi membingkai itu
semua.[39]
Ada Tiga pembagian hukum di negara yang sedang
menjalani transisi yaitu repressive law,
autonomous law, responsive law.[40]
Dari ketiga jenis itu biasanya menggunakan responsive
law. Karena pada negara transisi seperti Indonesia biasanya legislature membuat Undang-Undang berdasarkan
permintaan masyarakat bukan kebutuhan. Berdasarkan politik. Berangsur
diharapkan bisa berubah menjadi autonomous law dimana dalam membuat
Undang-Undang sesuai kebutuhan dan terhindar dari keinginan politik.
D. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003,
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan
(5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2)
UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
It might be argued in
defense of the behaviour of the judiciary that its duty consist only in
upholding the law of the land as mandated by the competent legislative
authority. However, given an opportunity to interpret the meaning of the law,
the courts took practically no exception to the interpretation offered by the
advocated of the Pinochet government.
Tidak ada tugas dari Mahkamah Konstitusi dalam hal
bisa memerintahkan pembuatan Undang-Undang ke Presiden dan DPR tanpa ada
pengajuan judicial review dari masyarakat. Mungkin dalam hal ini sebaiknya DPR
sebagai perwakilan rakyat bisa menjalankan fungsi tersebut. Tidak ada
pertentangan Undang-Undang dengan konstitusi dalam kasus ini, tetapi soal
adanya kejadian yang luar biasa persoalan konflik dan bencana di Indonesia
sehingga membutuhkan payung hukum yang lebih yaitu Undang-Undang.
BAB III
PELUANG UNTUK MENAMBAH TUGAS DAN FUNGSI MAHKAMAH
KONSTITUSI DALAM PENGAJUAN PENGADUAN KONSTITUSIONAL DAN IMPLIKASI YANG AKAN
TIMBUL
a. Gagasan Tugas dan
Fungsi Mahkamah Konstitusi Untuk Mengusulkan Suatu Undang-Undang Terhadap
Keadaan Konflik dan Bencana
Apabila Mahkamah Konstitusi tidak dapat memutuskan
tanpa ada permintaan judicial review terhadap persoalan konflik dan bencana,
apakah bisa kita menggagas agar fungsi tersebut dapat diakomodir pada
konstitusi. Memang konsekuensinya harus ada perubahan Konstitusi dahulu yang
mana itu atas kehendak 2/3 anggota DPR. Perubahan Undang-Undang Dasar ditentukan dalam UUD
1945, antara lain:
Pasal 37
ayat (1) yang berbunyi, “Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya
1/3 dari jumlah anggota MPR.”
Pasal 37
ayat (2) yang berbunyi, “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang- Undang Dasar
diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan
untuk diubah beserta alasannya.”
Pasal 37
ayat (3) yang berbunyi, “Untuk mengubah pasal-pasal Undang- Undang Dasar,
sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.”
Pasal 37
ayat (4) yang berbunyi, “Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan
dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota
dari seluruh anggota MPR.”
The legislature saves time by confining it
self to broad principles in the law it enacts leaving details to be formulated
by the concerned administrative authorities.At another place, the committee
talks of the practice in these words: It is a natural reflection, in the sphere
of constitutional law, of changes in our ideas of government which have
resulted from changes in political, social and economic ideas, and of changes
in the circumtances of our lives which have resulted from scientific
discoveries.[41]
Pada konstitusi China pasal 85 bahwa Pemerintahan
China, eksekutif adalah level tertinggi kekuasaan di negara, dalam hal
administrasi. Konstitusi memberikan
kuasa ke eksekutif untuk membuat peraturan dan aturan. Standarnya adalah
mengukur pelaksanaan konstitusi dengan hukum lain.[42]
As Justice Stewart summarized in Perry vs. Sindermann
bahwa walaupun seseorang tidak memiliki hak untuk mendapat nilai kebebasan
berbicara dan walaupun pemerintah menutup nya untuk sejumlah alasan, ini
mungkin secara konstitusi tidak menjaga perilaku diantaranya kebebasan
berbicara. Untuk meminta pemerintah melakukan hal yang ingin diminta.[43]
Di Australia, Mahkamah menyelenggarakan legislasi
yang secara aplikasi ada diskriminasi dari pemerintah. Menciptakan aturan yang
menekankan batas diskriminasi. Dalam hal ini menyarankan pemerintah melakukan
ini itu terkait legislasi.[44]
Pada konstitusi Afrika diatur
masalah Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas, dan demokratisasi, ekonomi
pembangunan. Yang mana persoalan-persoalan ini merupakan hal dasar.[45] Sebagaimana dalam
konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 diatur masalah pendidikan sehingga
pendidikan bagi daerah konflik dan bencana yang menggejala di Indonesia harus
diatur dengan aturan yang tinggi di bawah konstitusi yaitu Undang-Undang. Agar
dalam pelaksanaan menjadi keutamaan.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dalam menginterpretasikan
bagaimana yang disebutkan berikut bahwa membaca teks itu berarti membaca
hati-hati dan mengartikan dengan murni tanpa menginterpretasikan teks.
Menggunakannya sebagaimana dalam lingkungan yang dia gunakan. Pertanyaanya
dalam menginterpretasikan apa yang disebut dalam pembuatan Undang-Undang
sebagai proses mungkin bia terjawab, proses yang terekam dan pertanyaan yang
memecah belah.[46]
Dalam arti apa yang disebut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 harus
diartikan sedemikian. Hingga memang tanpa ada pengajuan dari masyarakat tidak
akan bisa Mahkamah Konstitusi berinisiatif sendiri untuk mengajukan
Undang-Undang mana yang perlu ada dalam suatu pemerintahan. Dengan demikian Gagasan
Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Untuk Mengusulkan Suatu Undang-Undang
Terhadap Pendidikan pada daerah Konflik dan Bencana benar-benar membutuhkan
pengajuan dari masyarakat untuk menguji suatu Undang-Undang. Atau konstitusi
yang harus dirubah yaitu menambah tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi. Sesuai
Rule of Law, The Common word “rule” has a variety of meanings. We speak of
rules of law and also rules of the game of checkers and rules of personal
behaviour. [47]Segala
sesuatu membutuhkan aturan.
Daerah
konflik adalah daerah yang berpotensi terjadinya konflik dimana
konflik itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti percekcokan, perselisihan,
pertentangan, persaingan antara dua masyarakat sosial yang mempunyai kebudayaan
hampir sama, pertentangan antaranggota masyarakat yang bersifat menyeluruh
dalam kehidupan.[48]
Daerah
Bencana adalah daerah Daerah bencana adalah kawasan yang
hancur setelah dilanda bencana, seperti tornado,
angin topan, tsunami,
banjir,
gempa bumi, atau bencana
teknologi seperti kecelakaan
nuklir dan radiasi, atau bencana sosiologi
seperti kerusuhan, terorisme
atau perang.
Penduduk yang tinggal disana akan mengalami kekurangan energi, makanan,
layanan, dan juga meningkatnya risiko penyakit.
Daerah yang mengalami bencana biasanya mendapatkan bantuan nasional atau
internasional.[49] Definisi Bencana Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana
sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dari
pertanyaan pembangunan ekonomi dan progres pembangunan ada satu prioritas.
Negara yang baru merdeka dan negara berkembang seperti Indonesia yang mana
harus memperkuat keamanan nasional, identitas nasional, menjaga integritas,
memberikan kesejahteraan, meliputi spiritual dan hak asasi manusia. Developing
countries continue to go through a process of adjustment in a great number of
fields.
In Indonesia, the
people are in the process of adjusting and striking the right balance between
traditional values and modernity, between material and spiritual well being,
between economic progress and democratic progress and between reality and the
desirable.
[50]
Diskursus mengenai politik hukum staatsidee di bawah
orde baru berdasarkan dua karakteristik. Satu merujuk kepada pengertian negara
hukum pada UUD 1945 sebelum amandemen sementara lainnya adalah berdasarkan
negara hukum integral dari pandangan DR.Soepomo.
The
official interpretation of rechtstaat tends to link it to the integralistic
staatsidee even though it is being termed a law state based on Pancasila and
the 1945 Constitution.[51]
Dua tahun pertama pelaksanaan orde baru
sebenarnya adalah masa jaya penerapan hak asasi manusia, dimana pada masa awal
orde baru tersebut sudah ada keinginan untuk memformula tata cara yang lebih
tepat bagi Indonesia yang memiliki beragam pandangan yaitu kaum nasionalis,
Islam, dan agama lain. Sehingga diputuskan bahwa Pancasila yang akan memayungi
semua paham itu. In This respect, it is interesting to note that while waiting
for adoption of the charter in the general assembly to the President urging him
to initiate the following:[52]
1.
Hak asasi manusia
sesuai Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 34.
2.
Untuk bersama-sama
dengan DPR memonitor implementrasi dari hak asasi manusia, dan menciptakan
pengadilan administrasi.
3.
Mereview Perundangan
yang diskriminatif baik KUHP maupun HIR dan menggantikan dengan
perundang-undangan lain yang lebih menjunjung hak asasi manusia.
4.
Mengkampanyekan hak
asasi manusia di sekolah dan universitas dan menciptakan kesadaran HAM di
masyarakat.
Namun masa-masa
sesudahnya kenyataannya tak sebaik masa awalnya. Banyak
catatan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Presiden Suharto
saat berkuasa, diantaranya sebagai berikut menurut catatan Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS):[53]
1. Kasus
Pulau Buru 1965-1966;
2. Penembakan
misterius 1981-1985;
3. Tanjung
Priok 1984-1987;
4. Talangsari
1984-1987;
5. Daerah
Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998;
6. DOM
Papua 1963-2003;
7. Pristiwa
27 Juli 1996;
8. Penculikan
dan Penghilangan Secara Paksa 1997-1998;
9. Pristiwa
Trisakti 12 Mei 1998[54];
10. Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
Sejak
Orde Baru, Kemitraan menulis, pemerintah memberlakukan Kawasan Hutan dan
Non-Kawasan Hutan yang pada praktiknya justru tak memiliki batasan yang jelas
karena tata batas lahan berjalan lambat.
Pada 2005, misalnya, hanya sekitar 12 persen saja kawasan hutan yang berhasil masuk dalam aturan tata batas. Walaupun demikian, hal tersebut tak membuat pemerintah menunggu untuk mengeluarkan izin konsesi kepada pihak swasta. Hal inilah yang membuat konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat setempat.[55] Hutan-hutan ini tentu lebih banyak di daerah yang masih belum berkembang seperti di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (pada masa orde baru).
Pada 2005, misalnya, hanya sekitar 12 persen saja kawasan hutan yang berhasil masuk dalam aturan tata batas. Walaupun demikian, hal tersebut tak membuat pemerintah menunggu untuk mengeluarkan izin konsesi kepada pihak swasta. Hal inilah yang membuat konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat setempat.[55] Hutan-hutan ini tentu lebih banyak di daerah yang masih belum berkembang seperti di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (pada masa orde baru).
The most serious challenge was in Aceh where it was widely
acknowledge that a referendum would result in a vote for independence. The
grievences of Aceh’s 4.1 million people are multiple. Although the province’s
natural resources make a big contribution to the national budget, the level of
poverty in Aceh itself remains high. Begitupun di Irian Jaya (Papua), seperti
dikatakan oleh masyarakatnya bahwa tanah di Papua itu emas, namun tingkat
kemiskinan mereka tinggi. Hal ini menimbulkan keinginan untuk lepas dari
Indonesia.[56]
Dalam hal ini Penulis mengambil contoh yang terdekat berdasarkan
studi media internet. Pasca kerusuhan di Wamena pada bulan September 2019 masih
banyak warga masyarakat yang mengungsi, tentunya anak-anak mereka pun yang
masih sekolah, belum bisa bersekolah kembali dengan normal. Daerah Wamena Papua
adalah daerah terpencil ditambah dengan kondisi pasca konflik, yang bukan tidak
mungkin suatu saat akan muncul kembali, maka sekolah di Wamena[57] bisa kita bayangkan
berada pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk menjalankan kegiatan belajar
mengajar dengan normal. Ditambah dengan pernyataan dari Ketua Komnas HAM Ahmad
Taufan Damanik mengatakan kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua, disebabkan
oleh kesalahpahaman terkait isu seorang guru yang disebut melecehkan muridnya
dengan perkataan bernada rasial. Kesalahpahaman yang terjadi lalu bekembang
luas kepada orang banyak hingga berujung kerusuhan. [58] Seorang guru yang
seharusnya digugu dan ditiru ini justru memancing emosi dan isu. Persoalan Hak Asasi
Manusia di masa lampau memang menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi sebuah
negara khususnya Indonesia. Contoh realnya dengan kasus Papua (Wamena) bahwa
belum diselesaikannya sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut membuat konflik
di kawasan Indonesia Timur itu terus berulang sebagaimana disampaikan peneliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rosita Dewi, Senin 19 Agustus 2019.
Contoh lain situasi pendidikan di Aceh
mengalami penderitaan ganda.[59]
Pertama, sistem pendidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan
bersenjata mengorbankan warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana
alam yang menghancurkan sarana pendidikan menciptakan situasi
traumatis-psikologis akibat kematian orang-orang tercinta. Penderitaan ganda
ini mewajibkan berbagai pihak untuk menilai kembali posisi konfliktual yang
mereka hadapi dalam kerangka mencari langkah-langkah penyelesaian konflik yang
menjunjung tinggi kemanusiaan. Merupakan sebuah tanggung jawab moral bagi
setiap pihak untuk pertama-tama menghentikan perang. Konflik bersenjata antara
TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah semestinya dihentikan mengingat
beberapa bantuan kemanusiaan tidak sampai sasaran karena transportasi masih
terputus, maupun ancaman konflik bersenjata yang bisa berlangsung kapan saja.
Melanjutkan operasi militer bagi kedua pihak yang berkonflik dalam situasi
darurat seperti sekarang hanya menunjukkan tidak adanya kepekaan atas kesediaan
untuk menghargai martabat kemanusiaan.
Lesquiller distinguished four main groups of offences
in adat law:[60]
1. Behaviour which upset
the universal harmony;
2. Disturbance of
emotional equanimity;
3. Transgressions against
the authority of custom;
4. Behaviour resulting in
injury or damages.
Konstitusi Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada BAB XIII[61]
mengatur permasalahan Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Pasal 31 ayat (1) Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan, ayat (2) Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, ayat (3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, ayat (4) Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan [62]sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional, ayat (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Ada beberapa undang-undang (UU) dan Peraturan
Pemerintah (PP) yang masih berlaku sampai sekarang yang berkaitan secara
langsung atau tidak langsung dengan pendidikan, yaitu:[63]
No
|
Undang-Undang/ Peraturan
|
Tentang
|
1.
|
UU Nomor 20 Tahun 2003
|
Sistem
Pendidikan Nasional
|
2.
|
UU Nomor 12 Tahun
2012
|
Pendidikan
Tinggi
|
3.
|
UU Nomor 32 Tahun
2004
|
Pemerintahan
Daerah
|
4.
|
UU Nomor 20 Tahun
2013
|
Pendidikan
Kedokteran
|
5.
|
UU Nomor 12 Tahun
2012
|
Pendidikan
Tinggi
|
6.
|
UU Nomor 14 Tahun
2005
|
Guru dan Dosen[64]
|
7.
|
UU Nomor 18 Tahun
2002
|
Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
|
8.
|
PP Nomor 13 Tahun
2015
|
Perubahan Kedua
atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Perubahan Pertama PP Nomor 32 Tahun 2013
|
9.
|
PP Nomor 32 Tahun
2013
|
Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
|
10.
|
PP Nomor 17 Tahun
2010
|
Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan
|
11.
|
PP Nomor 19 Tahun
2005
|
Standar Nasional
Pendidikan[65]
|
12.
|
PP Nomor 25 Tahun
2000
|
Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
|
13.
|
PP Nomor 93 Tahun
2015
|
Rumah Sakit
Pendidikan
|
14.
|
PP Nomor 26 Tahun
2015
|
Bentuk dan
mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang mengubah PP
Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi
Negeri Badan Hukum
|
15.
|
PP Nomor 13 Tahun
2015
|
Perubahan Kedua
atas PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Perubahan
Pertama PP Nomor 32 Tahun 2013
|
16.
|
PP Nomor 4 Tahun 2014
|
Penyelenggaraan
Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi
|
17.
|
PP Nomor 66 Tahun
2010
|
Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan (sudah dibatalkan dengan PP Nomor 4 Tahun 2014)
|
18.
|
PP Nomor 41 Tahun
2009
|
Tunjangan
Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan
Kehormatan Profesor
|
19.
|
PP Nomor 37 Tahun
2009
|
Dosen
|
20.
|
PP Nomor 48 Tahun
2008
|
Pendanaan
Pendidikan[66]
|
21.
|
PP Nomor 55 Tahun
2007
|
Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan[67]
|
22.
|
PP Nomor 41 Tahun
2006
|
Perizinan
Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing,
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing
|
23.
|
PP Nomor 20 Tahun
2005
|
Alih Teknologi
Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Oleh
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan
Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan
|
24.
|
PP Nomor 19 Tahun
2005
|
Standar
Nasional Pendidikan
|
25.
|
PP Nomor 61 Tahun
1999
|
Penetapan
Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum (sudah dibatalkan PP Nomor 17
Tahun 2010
|
26.
|
PP Nomor 60 Tahun 1999
|
Pendidikan
Tinggi (sudah dibatalkan PP Nomor 17 Tahun 2010)
|
27.
|
PP Nomor 38 Tahun
1992
|
Tenaga
Kependidikan
|
28.
|
PP Nomor 39 Tahun
1982
|
Pemberian
Bantuan kepada Perguruan Tinggi Swasta
|
Ketika suatu permasalahan khususnya
masalah di daerah konflik dan bencana belum ditangani maka diperlukan paying
hukum agar birokrasi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan yang
terkait infrastruktur, tenaga pengajar, bahan-bahan ajar, hingga masalah
psikologis peserta didik memerlukan suatu aturan yang membatasi dan memastikan
akan dapat dilaksanakan. Diperlukan tata cara khusus dalam menangani daerah
konflik. Meskipun memang seringkali Non Government Organization (NGO), baik
dari dalam maupun luar negeri sudah banyak yang turun ke daerah konflik dan
bencana, tetapi tetap saja tanggungjawab pemerintah untuk dapat membuat suatu
aturan agar tata laksananya bisa berjalan dengan sebaik-baiknya. Seperti yang
dilakukan pemerintah dan NGO dari dalam maupun luar negeri untuk menangani
pendidikan di Sigi, Aceh.[68]
Bisa kita
bayangkan jika tidak ada payung hukum maka pelaksanaannya akan seadanya karena
tidak ada infrastruktur yang memadai, tenaga pengajar yang kurang karena mereka
tidak mau mengajar di daerah konflik dan bencana, bahan ajar yang kurang
lengkap, hingga peserta didik yang mungkin tidak mau sekolah karena trauma yang
dialaminya pasca konflik dan bencana, maupun apabila konflik dan bencana
tersebut tetap berlangsung.
Klaten[69] merupakan suatu kabupaten
yang terletak di wilayah Jawa Tengah dan merupakan salah satu kabupaten yang
berdekatan dengan salah satu gunung berapi yang aktif yaitu gunung merapi dan
merupakan kawasan yang berada di jalur “ring of fire”. Dua potensi bencana yang
telah diketahui masyarakat luas, bahkan dunia internasional, adalah letusan
gunung Merapi dan gempa bumi tektonik. Wilayah kabupaten Klaten yang rentan
terhadap bencana gempa bumi dibedakan menjadi tiga daerah potensial. Daerah
potensial I (kerusakan bangunan >80%) adalah Kecamatan Prambanan, Kecamatan
Wedi, Kecamatan Gantiwarno, Kecamatan Bayat, dan Kecamatan Jogonalan. Daerah
potensial II (kerusakan bangunan >60%) yaitu Kecamatan Cawas, Kecamatan
Ceper, Kecamatan Pedan dan Kecamatan Trucuk. Daerah potensial III (kerusakan
bangunan 20%-60%) yaitu Kecamatan Klaten Selatan, Kecamatan Tengah, Kecamatan
Klaten Utara, Kecamatan Karangnongko, Kecamatan Kemalang, Kecamatan Tulung,
Kecamatan Klaten (Panduan Pembelajaran Kebencanaan di Kabupaten Klaten, 2014).
Sehingga hal ini lah yang mampu menyebabkan kabupaten klaten berada pada daerah
rawan akan bencana alam seperti gempa bumi. Itu baru satu daerah yang rawan bencana. Ada banyak
daerah lain di Indonesia yang seperti itu semisal Sulawesi Tengah, NTB, Maluku,
Aceh, Papua, Sumatera Barat, Yogyakarta, dan daerah lainnya. [70]
Begitupun dengan daerah konflik seperti Sulawesi
Tengah, Kalimantan, Aceh, Papua. Sehingga dengan potensi yang demikian besar di
Indonesia sudah semestinyalah ada suatu aturan mengenai pendidikan daerah
konflik dan bencana.
Wakil rakyat di Parlemen seharusnya
konsentrasi mengenai pembentukan Undang-Undang untuk menangani persoalan
pendidikan pada daerah konflik dan bencana. Mereka bisa melihat secara jelas
dari kejadian konflik dan bencana yang terjadi di Indonesia, aturan hukum yang
belum mengatur khusus masalah itu, dan keterkaitan anggaran pendidikan 20% yang
diperuntukkan untuk daerah konflik dan bencana. Namun pada kenyataannya hal
demikian tidak terjadi pada Wakil Rakyat. Padahal ini sudah menjadi kebutuhan
untuk dapat membentuk Undang-Undang yang khusus mengatur masalah Pendidikan
pada daerah Konflik dan Bencana.
Bersepakat dengan masalah pristiwa
pelanggaran HAM di masa lalu, pada masa transisi menuju demokrasi, adalah salah
satu masalah yang kompleks dimana pelaku politik harus memahami hal ini.
Bersebelahan dengan etika yang sulit, politik, dan teknik menangani isu
bukanlah masalah sederhana.[71] Apalagi melihat kenyataan
Aceh dan Papua sebagai daerah konflik, dibutuhkan payung hukum berupa
Undang-Undang untuk bisa menarik kembali mereka. Dengan paying hukum yang
tinggi dan kuat maka poltical will Bersepakat
dengan masalah pristiwa pelanggaran HAM di masa lalu, pada masa transisi menuju
demokrasi, adalah salah satu masalah yang kompleks dimana pelaku politik harus
memahami tersebut.
B. Pengaduan Konstitusional Sebagai Solusi
Consitutional Complaint
atau pengaduan kostitusional adalah pengaduan warga negara yang dilakukan oleh
perorangan atau sekelompok warga masyarakat ke Mahkamah Konstitusi karena
mendapat perlakuan dari pemerintah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Constitutional Complaint merupakan
metode untuk memperjuangkan agar hak-hak dasar seseorang tidak terlukai oleh
tindakan negara. Dalam pengertian ini, constiutional complaint memiliki
arti penting yaitu berkaitan dengan kedudukan warga negara dalam sebuah negara.
Setiap warga negara dalam negara hukum modern yang demokratis merupakan bagian
dari pemilik kedaulatan yang sesungguhnya berasal dari rakyat. Oleh karena itu,
tuntutan biasanya diarahkan kepada pasal-pasal ataupu ayat-ayat dari suatu
undang-undang.[72]
Sejak awal berdirinya, Mahkamah Konstitusi telah banyak mendapatkan pemohonan
pengujian undang-undang tapi secara substansi sebenarnya itu adalah pengaduan
konstitusional. Misalnya perkara-perkara yang mempesoalkan implementasi
undang-undang, penyimpangan proses penegakan hukum, putusan pengadilan yang
melanggar konstitusi[73], dan Keputusan Pemerintah
yang berupa beschikking. Menurut I Dewa Gede Palguna, setidaknya terdapat 30
perkara judicial review dari tahun 2003-2010 yang secara subtansial
berisi pengaduan konstitusional konstitusional. [74]
1) Pendapat
Hukum:
Pasal
1 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa negara
Republik Indonesia adalah negara hukum. Hal memberikan pemaknaan bahwa setiap
hal di negara Indonesia timbul berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan
kekuasaan semata. Negara Indonesia juga merupakan negara demokrasi sebagaimana
dinyatakan oleh Robert A. Dahl yang menjelaskan bahwa demokrasi hanya bisa
berjalan apabila didukung 8 hal sebagai berikut[75]:
1. Kebebasan untuk bersama dan bergabung dalam organisasi;
2. Kebebasan untuk berekspresi;
3. Hak untuk memilih;
4. Kelayakan untuk organisasi publik;
5. Hak bagi pemimpin politik untuk berkompetisi untuk mendapatkan dukungan
dan pemilih;
6. Banyak alternatif sumber informasi;
7. Pemilihan yang jujur dan bebas;
8. Institusi untuk membuat kebijakan pemerintahan tergantung dari pilihan
dan pilihan yang lain.
Kebebasan untuk berekspresi semestinya mendapat
ruang tersendiri di negeri ini. Warga negara diberikan tempat menyatakan keluh
kesahnya atas tindakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi. Saya
pribadi berpandangan persoalan kebebasan beragama, persoalan kesehatan dan
persoalan pendidikan adalah tiga hal utama yang penting dan utama dalam
persoalan hak asasi manusia.[76]
Sehingga ketika ketiga hak tesebut tidak tepenuhi maka sudah selayaknya warga
masyarakat dapat menyuarakan pengaduannya. Saya sependapat dengan pelaksanaan
pengaduan konstitusional di Jerman[77]
yang mensyaratkan pengaduan konstitusional dapat dilakukan setelah menempuh
jalur peradilan lain. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa ketika warga negara
mencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara maka diajukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara,[78]
terhadap sengketa hak asasi manusia (HAM) maka diajukan ke Pengadilan HAM,[79]
terhadap sengketa pajak maka diajukan ke Pengadilan Pajak.[80]
Setelah sengketa persoalan kebebasan beragama, persoalan kesehatan dan
persoalan pendidikan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara ataupun Pengadilan
HAM namun tidak mendapatkan hasil yang adil maka dikarenakan persoalan
kebebasan beragama, persoalan kesehatan dan persoalan pendidikan adalah
persoalan inti kehidupan seseorang maka dapat diberikan peluang untuk diajukan
pengaduan konstitusional pada Mahkamah Konstitusi. Persoalan lain mungkin juga
penting, namun ketika awal menggagas maka mulailah dari persoalan yang paling
penting baik itu bagi kehidupan pribadi warga negara maupun bagi kehidupan
sosial seluruh warga negara.
2)
Implikasi
Yang Akan Muncul
Dari Sisi Institusi Mahkamah
Konstitusi
1. Dari
sisi institusi Mahkamah Konstitusi maka implikasi yang akan muncul adalah
adanya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk
memunculkan fungsi pengaduan konstitusional pada Mahkamah Konstitusi dimana ada
penambahan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan
d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang
terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang
ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Sehingga fungsi baru yaitu untuk menerima
dan menguji pengaduan konsitusional dalam hal ini terhadap perilaku pemerintah
ataupun lembaga negara yang merampas hak konstitusional warga negara harus
diatur terlebih dahulu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ahun
1945.
2. Implikasi
terhadap Mahhkamah Konstitusi yang akan muncul adalah kemungkinan tejadinya
pelampauan batas kewenangan Mahkamah Konstitusi apabila kewenangan dalam
menguji pengaduan konstitusional ini muncul. Apakah melampaui batas kewenangan
pemerintah. Misalnya apabila dalam hal pelayanan kesehatan dalam hal ini BPJS
yang merasa dilayani dengan berbelit-belit lalu diajukan pengaduan
konstitusional ke Mahkamah Konstitusi dan akhirnya Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa kesehatan adalah hak asasi yang diatur dalam konstitusi
sehingga harus diakomodir oleh pemeintah. Sementara dalam kenyataannya
pemerintah sedang mengalami kesulitan karena BPJS sendiri kurang dalam biaya
operasional. Hal-hal teknis semacam ini yang harus dipikirkan dalam pelaksanaan
fungsi pengaduan konstiusional pada Mahkamah Konstitusi.
3. Implikasi
selanjutnya adalah apabila materi pengajuan pengaduan konstiusional tidak
dibatasi, maka Mahkamah Konstitusi akan menerima pengaduan konstitusional yang
sangat banyak. Apabila materi hanya dibatasi tiga (agama, kesehatan, dan
pendidikan) pun akan sangat banyak pengaduan konstitusi yang akan diajukan.
Untuk itu diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini. Ditambah dengan
fungsi-fungsi lain dari Mahkamah Konstitusi. Diperlukan penggemukan oganisasi
Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengakomodir persoalan ini.
Dari
Sisi Pelaksanaan Putusan
1. Apabila
putusan dari pengaduan konstitusional tersebut dilaksanakan maka akan
menguatkan hak konsitusional warga negara pemohon dan juga bagi warga negara
lain karena akan berimbas dari sisi lebih baiknya pelayanan kesehatan dan
pendidikan juga kebebasan beragama di Indonesia dan menguatkan kepercayaan
masyarakat pada hukum dan keadilan di Indonesia.
2. Namun
apabila putusan tersebut berlarut-larut dilaksanakan oleh Pemerintah maka akan
meruntuhkan legitimasi Putusan Mahkamah Konstitusi. Dan tentu saja hal ini
mengecewakan bagi warga negara pemohon karena pemohon telah berupaya panjang
mengajukan permohonan juga ke Pengadilan TUN dan Pengadilan HAM, apabila pada
Putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak dilaksanakan maka akan mengurangi
kepercayaan masyarakat pada hukum dan keadilan di Indonesia.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kebebasan untuk berekspresi semestinya mendapat
ruang tersendiri di negeri ini. Warga negara diberikan tempat menyatakan keluh
kesahnya atas tindakan pemerintah yang tidak sejalan dengan konstitusi. Saya
pribadi berpandangan persoalan kebebasan beragama, persoalan kesehatan dan
persoalan pendidikan adalah tiga hal utama yang penting dan utama dalam
persoalan hak asasi manusia.[81]
Sehingga ketika ketiga hak tesebut tidak tepenuhi maka sudah selayaknya warga
masyarakat dapat menyuarakan pengaduannya. Saya sependapat dengan pelaksanaan
pengaduan konstitusional di Jerman[82]
yang mensyaratkan pengaduan konstitusional dapat dilakukan setelah menempuh
jalur peradilan lain. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa ketika warga negara
mencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara maka diajukan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara,[83]
terhadap sengketa hak asasi manusia (HAM) maka diajukan ke Pengadilan HAM,[84]
terhadap sengketa pajak maka diajukan ke Pengadilan Pajak.[85]
Setelah sengketa persoalan kebebasan beragama, persoalan kesehatan dan
persoalan pendidikan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara ataupun
Pengadilan HAM namun tidak mendapatkan hasil yang adil maka dikarenakan
persoalan kebebasan beragama, persoalan kesehatan dan persoalan pendidikan
adalah persoalan inti kehidupan seseorang maka dapat diberikan peluang untuk
diajukan pengaduan konstitusional pada Mahkamah Konstitusi. Persoalan lain
mungkin juga penting, namun ketika awal menggagas maka mulailah dari persoalan
yang paling penting baik itu bagi kehidupan pribadi warga negara maupun bagi
kehidupan sosial seluruh warga negara.
2. Dari
sisi institusi Mahkamah Konstitusi maka implikasi yang akan muncul adalah
adanya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia untuk
memunculkan fungsi pengaduan konstitusional pada Mahkamah Konstitusi dimana ada
penambahan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan
d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang
terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang
ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Sehingga fungsi baru yaitu untuk menerima
dan menguji pengaduan konsitusional dalam hal ini terhadap perilaku pemerintah
ataupun lembaga negara yang merampas hak konstitusional warga negara harus
diatur terlebih dahulu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ahun
1945.
Implikasi selanjutnya terhadap Mahkamah
Konstitusi yang akan muncul adalah kemungkinan tejadinya pelampauan batas
kewenangan Mahkamah Konstitusi apabila kewenangan dalam menguji pengaduan
konstitusional ini muncul. Apakah melampaui batas kewenangan pemerintah.
Misalnya apabila dalam hal pelayanan kesehatan dalam hal ini BPJS yang merasa
dilayani dengan berbelit-belit lalu diajukan pengaduan konstitusional ke
Mahkamah Konstitusi dan akhirnya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa kesehatan
adalah hak asasi yang diatur dalam konstitusi sehingga harus diakomodir oleh
pemeintah. Sementara dalam kenyataannya pemerintah sedang mengalami kesulitan
karena BPJS sendiri kurang dalam biaya operasional. Hal-hal teknis semacam ini
yang harus dipikirkan dalam pelaksanaan fungsi pengaduan konstiusional pada
Mahkamah Konstitusi.
Implikasi
selanjutnya adalah apabila materi pengajuan pengaduan konstiusional tidak
dibatasi, maka Mahkamah Konstitusi akan menerima pengaduan konstitusional yang
sangat banyak. Apabila materi hanya dibatasi tiga (agama, kesehatan, dan
pendidikan) pun akan sangat banyak pengaduan konstitusi yang akan diajukan.
Untuk itu diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini. Ditambah dengan
fungsi-fungsi lain dari Mahkamah Konstitusi. Diperlukan penggemukan oganisasi
Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengakomodir persoalan ini.
Apabila putusan dari pengaduan
konstitusional tersebut dilaksanakan maka akan menguatkan hak konsitusional
warga negara pemohon dan juga bagi warga negara lain karena akan berimbas dari
sisi lebih baiknya pelayanan kesehatan dan pendidikan juga kebebasan beragama
di Indonesia dan menguatkan kepercayaan masyarakat pada hukum dan keadilan di
Indonesia. Namun apabila putusan tersebut berlarut-larut dilaksanakan oleh
Pemerintah maka akan meruntuhkan legitimasi Putusan Mahkamah Konstitusi. Dan
tentu saja hal ini mengecewakan bagi warga negara pemohon karena pemohon telah
berupaya panjang mengajukan permohonan juga ke Pengadilan TUN dan Pengadilan
HAM, apabila pada Putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak dilaksanakan maka akan
mengurangi kepercayaan masyarakat pada hukum dan keadilan di Indonesia.
B.
Saran
1.
Pengaduan
Konstitusi merupakan peluang yang baik bagi warga negara untuk dapat mengadukan
apabila warga negara merasa ada hak konstitusionalnya yang dirampas Pemerintah;
2.
Pengaduan
Konstitusi Harus benar-benar diatur dengan cermat apabila akan dijadikan tugas
dan fungsi Mahkamah Konstitusi terutama juga karena ada keharusan untuk merubah
konstitusi.
[2]
https://www.metrotvnews.com/play/k8oC9JJv-gara-gara-hoaks-sebagian-warga-wamena-kehilangan-pekerjaan
[3] Lihat
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: FHUI: 2018), hal 294
[4] Ibid, hal 304-305.
[5] Nurdahlia
Hala’a, https://www.academia.edu/35549411/pendidikan_pada_masa_orde_baru, 4
November 2019.
[6]
Ratih Keswara, https://ekbis.sindonews.com/read/1073660/34/hadapi-mea-pasar-tenaga-kerja-paling-mengkhawatirkan-1451565656, 4 November 2019.
[7] Lihat John Locke, The Second Treatise of Government Edited
with an introduction by Thomas P.Peardon, (Newyork: The Library of Liberal
Art), hal 3. Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta:
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[8] Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law and State Translated
by Anders Wedberg, (Newyork: Russell & Russell, 1961). Lihat juga Satya
Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[9] John Locke, Op.cit
[10] Qs. Al Baqarah: 35.
[11] John Locke, Op.cit, hal 8-9.
[12]SyafrinaSyaaf,https://lifestyle.kompas.com/read/2013/12/11/1933300/Orangtua.Otoriter.Hasilkan.Anak.Pecundang, 13 Okober 2019
[13] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam
Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[14] John Lock, Op.cit, hal 19.
[15] Lihat Floriberta Aning,
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Lahirnya Pancasila:
Kumpulan Pidato BPUPKI, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006).
[16]
Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve:1994), hal
68-69.
[17] Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
[18] Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konflik, 13 Oktober 2019.
[19] Arend Lijphart, Patterns of Majoritarian and Consensus
Government in Twenty One Countries, (London: Yale Univesity Press). Lihat
juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[20] Lihat Robert A.Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition
(New Haven: Yale University Press, 1971). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2,
(Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[21] Lihat Arend Lijphart, Op.cit
[22] John Locke, Op.cit, hal 22
[23] C.F. Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative
Study of Their History and Existing Form (London: Sidqwick & Jackson
Limited, 1963), hal. 13. Lihat juga Satya Arinanto, Demokrasi Berdasarkan Konstitusi: Mungkinkah Terjelma di Dalam Realita?,
Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 23, Nomor 3, Tahun
1993, hal 214.
[24] Puteri Anggun Amirillis, Tugas Mata Kuliah Politik Hukum: Ringkasan
dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia,
(Jakarta:Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, 2019), hal. 23
[25] Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan
Universitas Indonesia, Volume 22, Nomor 3, Tahun 1992, hal 1.
[26] Satya Arinanto, Op.cit, hal
[27]
Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di
Indonesia. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal 53-55
mengemukakan bahwa A.V Dicey dalam bukunya yang berjudul Introduction to The
Study of The Law of The Constitution, mengemukakan 3 unsur dari Rule of Law,
yaitu:
a. Supremacy of Law;
b. Equality before the law;
c. Constitution based on Individual Rights.
[28] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dkk, Teori
dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2017, hal
1-2.Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian
tentang ruang lingkup paham kostitusi terdiri dari:
a. Anatomi kekuasaan tunduk pada hukum;
b. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
c. Peradilan yang bebas dan mandiri;
d. Pertanggungjawaban kepada rakyat sebagai sendi utama dari asas
kedaulatan rakyat.
[29] Lihat Arend Lijphart, Op.cit, hal 71-74.
[30] Eric Barendt, An Introduction To Constitutional Law, Clarendon Law
Series, hal 107. Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1,
(Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[31] Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 22,
Nomor 3, Tahun 1992, hal 29.
[32]RWM Dias, Jurisprudence, Fifth Edition,
(London: Butterworhts, 1985). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik
Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[33] Indonesia, Pancasila
[34] Author, https://www.indonesia.go.id/layanan/kependudukan/ekonomi/judicial-review-ke-mahkamah-konstitusi, 17 Oktober 2019.
[35] Mustafa Fachry, Bahan Ajar Peradilan
Konstitusi,(Jakarta: Pasca Sajana FHUI, 2019)
[36] Eric Barendt, Op.cit, hal
132-156.
[37] Donnald P. Kommers, German
Konsituionalism: A Prolegomenon, Emory Law Journal, Vol. 40, No. 3, Summer
1991, hal 837-873
[38] Stephen Holmes, Gag Rules on The Politics of Omission on
Constitutionalism and Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press).
Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[39] Lihat Cass R. Sunstein, Constitutions and Democracies: an
Epilogue, on The Politics of Omission on Constitutionalism and Democracy,
(Cambridge: Cambridge University Press). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar
Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2018).
[40] Philippe Nonet dan Philip Selzaick, Law and Society in Transition
Toward Responsive Law, Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2,
(Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[41] M.P.Jain,
Administrative Law of Malaysia and Singapore (Kuala Lumpur: Malayan Law Journal
Pte. Ltd., 1989), hal 20.
[42] Du Xichuan and
Zhang Lingyuan, China’s Legal System: A General Survey, (Beijing: New World
Press, 1990), hal. 58.
[43] Peter M. broody,
The First Amandement, Governmental Cencorship, and Sponsored Research, The
Journal of College and University Law (Vol. 19, No. 3, Winter 1998), hal 184.
[44] Geofrey Lindell,
ed, Future Directions in Australian Constitutional Law (Canberra: The
federation Press, 1994), hal 155.
[45] Clive Napier,
Africa’s Constitutional Renaissances? Stocktaking in the 90’s, Africa dialogue
(Monograph Series No. 1, 2000), hal 231.
[46] Richard A.
Posner, The Problem of Jurisprudence (Cambridge: Harvard University Press,
1990), hal 291.
[47] Stewart
Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey, eds, Law & Society: Readings
on the social study of law (New York: W.W. Norton & Company, 1955), hal
340.
[50] J. Soedjati Djiwandono, Democratic
Experiment in Indonesia: Between Achievement and Expectations, (The Indonesian
Quarterly, Vol XV, No 4, 1987)
[51] Todung Mulya
Lubis, Disertasi Doktoral: In Search of Human Rights : Legal Political Dilemmas
Of Indonesia ‘s New Order 1966-1990, (California: Universityof California,
Berkeley), hal.169. b
[53] Kristian
Erdianto, Kontras Paparkan 10 Kasus
Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto,https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Paparkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?page=all, 8
Oktober 2019.
[54] Rakhmad Permana,
Mengenang Tragedi Trisakti: Martir Demokrasi yang Mati Ditembak Peluru Besi, https://news.detik.com/berita/d-4546001/mengenang-tragedi-trisakti-martir-demokrasi-yang-mati-ditembak-peluru-besi, 8
Oktober 2019.
[55] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171105084258-92-253553/kemitraan-ketimpangan-melebar-sejak-soeharto-hingga-jokowi,
diakses pada tanggal 21 November 2019.
[56] Harold Crouch,
Indonesia: Democratization and The Threat of Disintegration, Southeast Asian
Affairs 2000 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000), hal 364.
[58] https://nasional.kompas.com/read/2019/09/30/17230711/kronologi-kerusuhan-di-wamena-versi-komnas-ham?page=all,
diakses 20 November 2019.
[59] Doni Koesoema A, file:///C:/Users/PUTERI~1.AMI/AppData/Local/Temp/digital_blob_F32140_Pendidikan%20Darurat%20Pasca-1.htm, 4
November 2019.
[60] Peter J. Burns,
The Leiden Legacy: Concept of Law in Indonesia, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
1999), hal 247.
[62] Sri
Mulyani memastikan anggaran 20 persen pendidikan akan tetap dikucurkan oleh
pemerintah karena amanat undang-undang. "Anggaran tetap akan dialokasikan
namun bagaimana kita menggunakan (harus diubah)," kata dia. Saat ini,
ucapnya, Indonesia memiliki permasalahan di bidang sumberdaya manusia. Jumlah
pekerja melimpah namun pendidikannya relatif rendah. Selain itu, kewenangan
pemerintah daerah juga menjadi tantangan perbaikan tingkat SDM di Indonesia.
"Dari sisi desentralisasi, mulai PAUD, AS, SMP dan SMA itu (kewenangan)
ada di level kabupaten provinsi kota. Bagimana bisa menyinkronkan antara
kewenangan itu di daerah dengan kualitas yang harus relatif seragam," kata
dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani: Anggaran Pendidikan 20 Persen dari APBN Hasilnya Tak Memuaskan...", https://money.kompas.com/read/2019/08/09/162702626/sri-mulyani-anggaran-pendidikan-20-persen-dari-apbn-hasilnya-tak-memuaskan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani: Anggaran Pendidikan 20 Persen dari APBN Hasilnya Tak Memuaskan...", https://money.kompas.com/read/2019/08/09/162702626/sri-mulyani-anggaran-pendidikan-20-persen-dari-apbn-hasilnya-tak-memuaskan.
[63] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi Keadilan Sosial, (Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2018),
hal 285-286.
[65] Standar Nasional
Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Standar Nasional
Pendidikan terdiri dari :
- Standar Kompetensi Lulusan
- Standar Isi
- Standar Proses
- Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
- Standar Sarana dan Prasarana
- Standar Pengelolaan
- Standar Pembiayaan Pendidikan
- Standar Penilaian Pendidikan
Fungsi dan
Tujuan Standar :
- Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
- Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
- Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
http://bsnp-indonesia.org/standar-nasional-pendidikan/,
diakses pada tanggal 21 November 2019.
[66] Pendanaan
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama anatara Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan masyarakat. Pasal 2 ayat (1) PP No. 48 Tahun 2008. https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/PP48-2008DanaDik.pdf,
diakses pada tanggal 21 November 2019.
[67] Pendidikan agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melaluimata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan. 2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan
peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan
mengamalkan ajaran agamanya. Pasal 1 angka
1 dan 2 PP No. 55 Tahun 2007. https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/PP_55_2007-Pendidikan-Agama-Keagamaan.pdf,
diakses pada tanggal 21 November 2019.
[71] Jorge Correa S,
Dealing With Past Human Rights Violations: The Chilean Case After Dictatorship,
Notre Dame Law Review (Vol. 67, No. 5, 1992), hal 73.
[72] Jimly Asshiddiqie, Peradilan
Konstitusi di 10 Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 73.
[73] Hamdan Zoelva, Consitutional
Complaint Dan Constituional Question Dan Pelindungan Hak-Hak Konstitusional
Warga Negara, (Jakarta: Jurnal Media Hukum, Vol.19, No.1, Juni 2012
Fakultas Hukum Universitas Islam
Asy-Syafi’iyah), hal.2.
[74] Zaka Firma
Aditya, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Menyelesaikan Perkara
Constituional Complaint Berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, (Semarang:
Unnes Law Journal, Vol.3, No.1, 2014).
[75] Lihat
Robert A.Dahl, Polyarchy: Participation
and Opposition (New Haven: Yale University Press, 1971). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar
Politik Hukum 2, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2018) dan Mustafa Fakhri, Bahan Ajar Peradilan Konstitusi,
(Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019).
[76] Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia ahun 1945 pasal 28C, 28E, 28H.
[77] Permohonan baru dapat diterima
jika semua upaya hukum sudah ditempuh (exhausted) kecuali jika Mahkamah
berpendapat bahwa akan ada kerugian yang besar jika upaya biasa (upaya hukum
biasa) dilakukan terlebih dahulu (Pasal 90 ayat (2) UU MK Jerman)
[78] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[79] Undang-Undang No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
[81] Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia ahun 1945 pasal 28C, 28E, 28H.
[82] Permohonan baru dapat diterima
jika semua upaya hukum sudah ditempuh (exhausted) kecuali jika Mahkamah
berpendapat bahwa akan ada kerugian yang besar jika upaya biasa (upaya hukum
biasa) dilakukan terlebih dahulu (Pasal 90 ayat (2) UU MK Jerman)
[83] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[84] Undang-Undang No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar