BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan terutama di daerah rawan konflik dan rawan bencana selalu
menjadi masalah pekerjaan rumah pemerintah yang tiada henti-hentinya. Letak
geografis Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan dikelilingi
oleh lautan membuat negeri ini berpotensi dihantam banyak bencana alam. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekap data pristiwa bencana yang
terjadi sepanjang bulan Januari sampai dengan bulan September tahun 2019 telah
terjadi 2.829 kejadian bencana dengan 464 korban meninggal dan hilang, 1.826
korban luka, 5.075.783 mengungsi dan terdampak.[1]
Sedangkan pada daerah rawan konflik seperti Aceh dan Papua yang memiliki luka
masa lalu yang belum hilang menyisakan konflik berkepanjangan hingga saat ini.
Seperti kejadian baru-baru ini di Wamena, hal-hal semacam itu berpengaruh besar
pada keadaan psikologis masyarakat.[2]
Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dalam periode tahun
2001 warna kekerasan masih mengental di bumi Aceh, dan tercatat tidak kurang
dari 2.325 kasus aksi kekerasan terhadap kemanusiaan telah terjadi. Kasus-kasus
kekerasan yang dimaksud meliputi sekitar 1000 kasus pembunuhan, 683 kasus
penyiksaan, 107 kasus penghilangan orang secara paksa, dan 535 kasus
penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang.[3]
Dalam konteks peringatan 53 tahun Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) yang diselenggarakan pada tahun 2001 yang lalu, patut dicatat bahwa hak atas
pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang bersifat
universal. Pasal 26 UDHR antara lain menyatakan sebagai berikut:[4]
1.
Bahwa tiap-tiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan
harus bebas biaya, terutama untuk tingkat pendidikan dasar. Pendidikan dasar
berisfat wajib, sedangkan pendidikan teknis dan professional harus dimungkinkan
untuk didapatkan dan pendidikan tinggi harus dapat diakses oleh semua orang
berdasarkan manfaat.
2.
Pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan penuh
dari kepribadian manusia dan ke arah penguatan penghormatan terhadap HAM dan
kebebasan-kebebasan dasar. Ia harus memajukan pemahaman, toleransi, dan
persahabatan di antara semua bangsa, kelompok-kelompok ras dan agama, dan juga
memajukan aktivitas-aktivitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memelihara
perdamaian.
3.
Para orang tua memiliki hak untuk memilih terlebih
dahulu macam pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
Pada masa orde baru pendidikan mengedepankan moto “membangun manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia.” Posisi siswa sebagai subjek
dalam era orde baru telah dipaparkan bahwa pada masa ini seluruh bentuk
pendidikan ditujukan untuk memenuhi hasrat penguasa, bukan menciptakan menjadi
manusia yang siap bereksplorasi dengan ilmunya. Jarak antara pendidikan dan
aplikasi dunia kerja yang begitu jauh menjadikan adanya pengangguran terdidik.
Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk
mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.[5]
Kondisi saat ini dengan kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara
rawan konflik dan rawan bencana, sistem pendidikan harus menciptakan manusia
yang benar kuat dan mampu berkolaborasi dengan keadaan. Apabila ditambah dengan
era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)[6]
dimana persaingan dunia kerja tingkat ASEAN. Tenaga kerja asing akan mudah
masuk ke Indonesia. Untuk itu diperlukan kekuatan sistem pendidikan dasar dan menengah
di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja kendala
dalam pelaksanaan dan masalah Wakil Rakyat yang tidak memahami daerah konflik
dan bencana?
2. Bagaimana Tugas
dan Fungsi Mahkamah Konstitusi kaitannya dengan pengaturan pendidikan daerah
konflik dan bencana yang belum mengakomodir?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui
Hak Pendidikan Dasar di daerah konflik dan bencana dalam kaitannya dengan
aturan pendidikan yang belum mengakomodir, kendala dalam pelaksanaan dan
masalah Wakil Rakyat yang tidak memahami daerah konflik dan bencana.
2. Untuk mengetahui
tugas Mahkamah Konstitusi kaitannya dengan pengaturan pendidikan daerah konflik
dan bencana yang belum mengakomodir
D.
Kerangka Teoritis
1. Teori hukum alam dari John Locke :
Men being, as has been said, by nature all free, equal, and
independent, no one can be put out of this estate and subjected to the
political power of another without his own consent.[7]
Dalam
tulisan ini dipilih teori hukum alam dari John Locke karena untuk mendapatkan
pemahaman mengenai teori-teori kenegaraan dalam hal hak asasi manusia dan
demokrasi teori ini memberikan suatu pemahaman awal bahwa manusia tidak bisa
dipaksakan untuk ikut dalam politik tertentu tanpa ada persetujuannya karena
pada dasarnya manusia itu bebas, sama dan merdeka.
2. Teori Stufenbau (teori mengenai sistem
hukum) dari Hans Kelsen:
Sistem hukum merupakan sistem anak tangga
dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus
berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi
(seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar
(grundnorm).[8]
Dalam
tulisan ini dipilih teori stufenbau (teori mengenai sistem hukum) dari Hans
Kelsen karena teori ini memberikan pemahaman awal yang baik dalam pelaksanaan
Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim. Bahwa seluruh
aturan tersebut harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).
E.
Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Kerangka Teoritis
E. Sistematika Penulisan
BAB II Hak Pendidikan
Dasar di Daerah Konflik dan Bencana
A.
Pengertian Daerah Konflik dan Bencana
B.
Pengaruh Memori Masa Orde Baru
C.
Realitas Daerah Bencana dan Konflik di Indonesia
D. Aturan Pendidikan Yang Belum Mengakomodir
E. Kendala dalam
Pelaksanaan
BAB III Wewenang Mahkamah Konstitusi Untuk
Memerintahkan Pembentukan Aturan Mengenai Pendidikan Untuk Daerah Konflik dan
Bencana
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB II
Regulasi
Hak Pendidikan Dasar di Daerah Konflik dan Bencana
A.
Pengertian
Daerah Konflik dan Bencana
Daerah
konflik adalah daerah yang berpotensi
terjadinya konflik dimana konflik itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan, persaingan
antara dua masyarakat sosial yang mempunyai kebudayaan hampir sama, pertentangan
antaranggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.[9]
Daerah
Bencana adalah daerah Daerah bencana adalah kawasan yang
hancur setelah dilanda bencana, seperti tornado,
angin topan, tsunami,
banjir,
gempa bumi, atau bencana
teknologi seperti kecelakaan
nuklir dan radiasi, atau bencana sosiologi
seperti kerusuhan, terorisme
atau perang.
Penduduk yang tinggal disana akan mengalami kekurangan energi, makanan,
layanan, dan juga meningkatnya risiko penyakit.
Daerah yang mengalami bencana biasanya mendapatkan bantuan nasional atau
internasional.[10] Definisi Bencana Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana
sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dari pertanyaan pembangunan ekonomi dan progres
pembangunan ada satu prioritas. Negara yang baru merdeka dan negara berkembang
seperti Indonesia yang mana harus memperkuat keamanan nasional, identitas
nasional, menjaga integritas, memberikan kesejahteraan, meliputi spiritual dan
hak asasi manusia. Developing countries continue to go through a process of
adjustment in a great number of fields.
In Indonesia, the
people are in the process of adjusting and striking the right balance between
traditional values and modernity, between material and spiritual well being,
between economic progress and democratic progress and between reality and the
desirable.
[11]
B. Pengaruh Memori Masa Orde Baru
Diskursus
mengenai politik hukum staatsidee di bawah orde baru berdasarkan dua
karakteristik. Satu merujuk kepada pengertian negara hukum pada UUD 1945
sebelum amandemen sementara lainnya adalah berdasarkan negara hukum integral
dari pandangan DR.Soepomo.
The
official interpretation of rechtstaat tends to link it to the integralistic
staatsidee even though it is being termed a law state based on Pancasila and
the 1945 Constitution.[12]
Dua
tahun pertama pelaksanaan orde baru sebenarnya adalah masa jaya penerapan hak
asasi manusia, dimana pada masa awal orde baru tersebut sudah ada keinginan
untuk memformula tata cara yang lebih tepat bagi Indonesia yang memiliki
beragam pandangan yaitu kaum nasionalis, Islam, dan agama lain. Sehingga
diputuskan bahwa Pancasila yang akan memayungi semua paham itu. In This
respect, it is interesting to note that while waiting for adoption of the
charter in the general assembly to the President urging him to initiate the
following:[13]
1. Hak
asasi manusia sesuai Pasal
27, 28, 29, 30, 31, 34.
2. Untuk bersama-sama dengan DPR memonitor implementrasi
dari hak asasi manusia, dan menciptakan pengadilan administrasi.
3. Mereview Perundangan yang diskriminatif baik KUHP
maupun HIR dan menggantikan dengan perundang-undangan lain yang lebih menjunjung
hak asasi manusia.
4. Mengkampanyekan hak asasi manusia di sekolah dan
universitas dan menciptakan kesadaran HAM di masyarakat.
Namun masa-masa sesudahnya kenyataannya tak sebaik
masa awalnya. Banyak catatan mengenai pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang dilakukan Presiden Suharto saat berkuasa, diantaranya sebagai
berikut menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(KONTRAS):[14]
1. Kasus
Pulau Buru 1965-1966;
2. Penembakan
misterius 1981-1985;
3. Tanjung
Priok 1984-1987;
4. Talangsari
1984-1987;
5. Daerah
Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998;
6. DOM
Papua 1963-2003;
7. Pristiwa
27 Juli 1996;
8. Penculikan
dan Penghilangan Secara Paksa 1997-1998;
9. Pristiwa
Trisakti 12 Mei 1998[15];
10. Kerusuhan
13-15 Mei 1998.
Sejak Orde Baru, Kemitraan menulis, pemerintah
memberlakukan Kawasan Hutan dan Non-Kawasan Hutan yang pada praktiknya justru
tak memiliki batasan yang jelas karena tata batas lahan berjalan lambat.
Pada 2005, misalnya, hanya sekitar 12 persen saja kawasan hutan yang berhasil masuk dalam aturan tata batas. Walaupun demikian, hal tersebut tak membuat pemerintah menunggu untuk mengeluarkan izin konsesi kepada pihak swasta. Hal inilah yang membuat konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat setempat.[16] Hutan-hutan ini tentu lebih banyak di daerah yang masih belum berkembang seperti di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (pada masa orde baru).
Pada 2005, misalnya, hanya sekitar 12 persen saja kawasan hutan yang berhasil masuk dalam aturan tata batas. Walaupun demikian, hal tersebut tak membuat pemerintah menunggu untuk mengeluarkan izin konsesi kepada pihak swasta. Hal inilah yang membuat konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat setempat.[16] Hutan-hutan ini tentu lebih banyak di daerah yang masih belum berkembang seperti di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (pada masa orde baru).
The most serious challenge was
in Aceh where it was widely acknowledge that a referendum would result in a
vote for independence. The grievences of Aceh’s 4.1 million people are
multiple. Although the province’s natural resources make a big contribution to
the national budget, the level of poverty in Aceh itself remains high.
Begitupun di Irian Jaya (Papua), seperti dikatakan oleh masyarakatnya bahwa
tanah di Papua itu emas, namun tingkat kemiskinan mereka tinggi. Hal ini
menimbulkan keinginan untuk lepas dari Indonesia.[17]
C. Realitas Daerah Bencana dan Konflik di Indonesia
Dalam
hal ini saya mengambil contoh yang terdekat berdasarkan studi media internet.
Pasca kerusuhan di Wamena pada bulan September 2019 masih banyak warga
masyarakat yang mengungsi, tentunya anak-anak mereka pun yang masih sekolah,
belum bisa bersekolah kembali dengan normal. Daerah Wamena Papua adalah daerah
terpencil ditambah dengan kondisi pasca konflik, yang bukan tidak mungkin suatu
saat akan muncul kembali, maka sekolah di Wamena[18] bisa kita bayangkan
berada pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk menjalankan kegiatan belajar
mengajar dengan normal. Ditambah dengan pernyataan dari Ketua Komnas HAM Ahmad
Taufan Damanik mengatakan kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua, disebabkan
oleh kesalahpahaman terkait isu seorang guru yang disebut melecehkan muridnya
dengan perkataan bernada rasial. Kesalahpahaman yang terjadi lalu bekembang
luas kepada orang banyak hingga berujung kerusuhan. [19] Seorang guru yang
seharusnya digugu dan ditiru ini justru memancing emosi dan isu. Persoalan Hak Asasi
Manusia di masa lampau memang menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi sebuah
negara khususnya Indonesia. Contoh realnya dengan kasus Papua (Wamena) bahwa
belum diselesaikannya sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut membuat konflik
di kawasan Indonesia Timur itu terus berulang sebagaimana disampaikan peneliti Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rosita Dewi, Senin 19 Agustus 2019.
Contoh lain situasi
pendidikan di Aceh mengalami penderitaan ganda.[20]
Pertama, sistem pendidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan
bersenjata mengorbankan warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana
alam yang menghancurkan sarana pendidikan menciptakan situasi
traumatis-psikologis akibat kematian orang-orang tercinta. Penderitaan ganda
ini mewajibkan berbagai pihak untuk menilai kembali posisi konfliktual yang
mereka hadapi dalam kerangka mencari langkah-langkah penyelesaian konflik yang
menjunjung tinggi kemanusiaan. Merupakan sebuah tanggung jawab moral bagi
setiap pihak untuk pertama-tama menghentikan perang. Konflik bersenjata antara
TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah semestinya dihentikan mengingat
beberapa bantuan kemanusiaan tidak sampai sasaran karena transportasi masih
terputus, maupun ancaman konflik bersenjata yang bisa berlangsung kapan saja.
Melanjutkan operasi militer bagi kedua pihak yang berkonflik dalam situasi
darurat seperti sekarang hanya menunjukkan tidak adanya kepekaan atas kesediaan
untuk menghargai martabat kemanusiaan.
Lesquiller
distinguished four main groups of offences in adat law:[21]
1. Behaviour which upset
the universal harmony;
2. Disturbance of
emotional equanimity;
3. Transgressions against
the authority of custom;
4. Behaviour resulting in
injury or damages.
D. Aturan Pendidikan Yang Belum
Mengakomodir
Konstitusi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada BAB XIII[22]
mengatur permasalahan Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Pasal 31 ayat (1) Setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan, ayat (2) Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, ayat (3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, ayat (4) Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan [23]sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional, ayat (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Ada beberapa undang-undang (UU) dan Peraturan
Pemerintah (PP) yang masih berlaku sampai sekarang yang berkaitan secara
langsung atau tidak langsung dengan pendidikan, yaitu:[24]
No
|
Undang-Undang/ Peraturan
|
Tentang
|
1.
|
UU Nomor 20 Tahun 2003
|
Sistem Pendidikan Nasional
|
2.
|
UU Nomor 12 Tahun 2012
|
Pendidikan Tinggi
|
3.
|
UU Nomor 32 Tahun 2004
|
Pemerintahan Daerah
|
4.
|
UU Nomor 20 Tahun 2013
|
Pendidikan Kedokteran
|
5.
|
UU Nomor 12 Tahun 2012
|
Pendidikan Tinggi
|
6.
|
UU Nomor 14 Tahun 2005
|
Guru dan Dosen[25]
|
7.
|
UU Nomor 18 Tahun 2002
|
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
|
8.
|
PP Nomor 13 Tahun 2015
|
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Perubahan Pertama PP
Nomor 32 Tahun 2013
|
9.
|
PP Nomor 32 Tahun 2013
|
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
|
10.
|
PP Nomor 17 Tahun 2010
|
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
|
11.
|
PP Nomor 19 Tahun 2005
|
Standar Nasional Pendidikan[26]
|
12.
|
PP Nomor 25 Tahun 2000
|
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom
|
13.
|
PP Nomor 93 Tahun 2015
|
Rumah Sakit Pendidikan
|
14.
|
PP Nomor 26 Tahun 2015
|
Bentuk dan mekanisme Pendanaan Perguruan
Tinggi Negeri Badan Hukum yang mengubah PP Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk
dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
|
15.
|
PP Nomor 13 Tahun 2015
|
Perubahan Kedua atas PP Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Perubahan Pertama PP Nomor 32 Tahun
2013
|
16.
|
PP Nomor 4 Tahun 2014
|
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan
Pengelolaan Perguruan Tinggi
|
17.
|
PP Nomor 66 Tahun 2010
|
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (sudah
dibatalkan dengan PP Nomor 4 Tahun 2014)
|
18.
|
PP Nomor 41 Tahun 2009
|
Tunjangan Profesi Guru dan Dosen,
Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor
|
19.
|
PP Nomor 37 Tahun 2009
|
Dosen
|
20.
|
PP Nomor 48 Tahun 2008
|
Pendanaan Pendidikan[27]
|
21.
|
PP Nomor 55 Tahun 2007
|
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan[28]
|
22.
|
PP Nomor 41 Tahun 2006
|
Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian
dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing
|
23.
|
PP Nomor 20 Tahun 2005
|
Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta
Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga
Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Pengembangan
|
24.
|
PP Nomor 19 Tahun 2005
|
Standar Nasional Pendidikan
|
25.
|
PP Nomor 61 Tahun 1999
|
Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai
Badan Hukum (sudah dibatalkan PP Nomor 17 Tahun 2010
|
26.
|
PP Nomor 60 Tahun 1999
|
Pendidikan Tinggi (sudah dibatalkan PP
Nomor 17 Tahun 2010)
|
27.
|
PP Nomor 38 Tahun 1992
|
Tenaga Kependidikan
|
28.
|
PP Nomor 39 Tahun 1982
|
Pemberian Bantuan kepada Perguruan Tinggi
Swasta
|
Pada tabel 1.1
belum ada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang khusus mengatur masalah
pendidikan pada daerah konflik dan bencana. Ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2012 tentang Konflik Sosial dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Tetapi kedua Undang-Undang tersebut belum mengakomodir
isu pendidikan di daerah konflik dan bencana. Sehingga permasalahan pendidikan
di daerah konflik menjadi permasalahan yang hingga kini belum benar-benar
terakomodir. Sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Layanan Khusus sebagai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, dimana
Peraturan Pemerintah tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun dikarenakan potensi konflik dan
bencana yang semakin besar akhir-akhir ini diperlukan payung hukum yang lebih
tinggi yaitu Undang-Undang karena memang pendidikan adalah hak dasar yang harus
benar-benar terjamin pelaksanaannya. Sehingga tanggungjawab pelaksanaan hal ini
tak hanya menjadi tanggungjawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tapi
kerjasama banyak instansi di bawah arahan Presiden.
Hal ini
dikarenakan belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur pelaksanaan pendidikan di daerah konflik dan bencana baik dari segi
fisik pendidikan maupun non fisik. Keadaan pendidikan di daerah konflik dan
bencana membutuhkan payung hukum khusus agar pelaksanaannya lebih dapat
dikendalikan dan penanganannya khusus.
E. Kendala dalam
Pelaksanaan
Ketika suatu permasalahan khususnya masalah di daerah
konflik dan bencana belum ditangani maka diperlukan paying hukum agar birokrasi
bisa berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan yang terkait infrastruktur,
tenaga pengajar, bahan-bahan ajar, hingga masalah psikologis peserta didik
memerlukan suatu aturan yang membatasi dan memastikan akan dapat dilaksanakan.
Diperlukan tata cara khusus dalam menangani daerah konflik. Meskipun memang
seringkali Non Government Organization (NGO), baik dari dalam maupun luar
negeri sudah banyak yang turun ke daerah konflik dan bencana, tetapi tetap saja
tanggungjawab pemerintah untuk dapat membuat suatu aturan agar tata laksananya
bisa berjalan dengan sebaik-baiknya. Seperti yang dilakukan pemerintah dan NGO
dari dalam maupun luar negeri untuk menangani pendidikan di Sigi, Aceh.[29]
Bisa kita bayangkan jika tidak ada payung hukum maka
pelaksanaannya akan seadanya karena tidak ada infrastruktur yang memadai,
tenaga pengajar yang kurang karena mereka tidak mau mengajar di daerah konflik
dan bencana, bahan ajar yang kurang lengkap, hingga peserta didik yang mungkin
tidak mau sekolah karena trauma yang dialaminya pasca konflik dan bencana,
maupun apabila konflik dan bencana tersebut tetap berlangsung.
Klaten[30] merupakan suatu kabupaten
yang terletak di wilayah Jawa Tengah dan merupakan salah satu kabupaten yang
berdekatan dengan salah satu gunung berapi yang aktif yaitu gunung merapi dan
merupakan kawasan yang berada di jalur “ring of fire”. Dua potensi bencana yang
telah diketahui masyarakat luas, bahkan dunia internasional, adalah letusan
gunung Merapi dan gempa bumi tektonik. Wilayah kabupaten Klaten yang rentan
terhadap bencana gempa bumi dibedakan menjadi tiga daerah potensial. Daerah
potensial I (kerusakan bangunan >80%) adalah Kecamatan Prambanan, Kecamatan
Wedi, Kecamatan Gantiwarno, Kecamatan Bayat, dan Kecamatan Jogonalan. Daerah
potensial II (kerusakan bangunan >60%) yaitu Kecamatan Cawas, Kecamatan
Ceper, Kecamatan Pedan dan Kecamatan Trucuk. Daerah potensial III (kerusakan
bangunan 20%-60%) yaitu Kecamatan Klaten Selatan, Kecamatan Tengah, Kecamatan
Klaten Utara, Kecamatan Karangnongko, Kecamatan Kemalang, Kecamatan Tulung,
Kecamatan Klaten (Panduan Pembelajaran Kebencanaan di Kabupaten Klaten, 2014).
Sehingga hal ini lah yang mampu menyebabkan kabupaten klaten berada pada daerah
rawan akan bencana alam seperti gempa bumi. Itu baru satu daerah yang rawan bencana. Ada banyak
daerah lain di Indonesia yang seperti itu semisal Sulawesi Tengah, NTB, Maluku,
Aceh, Papua, Sumatera Barat, Yogyakarta, dan daerah lainnya. [31]
Begitupun dengan daerah
konflik seperti Sulawesi Tengah, Kalimantan, Aceh, Papua. Sehingga dengan
potensi yang demikian besar di Indonesia sudah semestinyalah ada suatu aturan
mengenai pendidikan daerah konflik dan bencana.
Wakil
rakyat di Parlemen seharusnya konsentrasi mengenai pembentukan Undang-Undang untuk
menangani persoalan pendidikan pada daerah konflik dan bencana. Mereka bisa
melihat secara jelas dari kejadian konflik dan bencana yang terjadi di
Indonesia, aturan hukum yang belum mengatur khusus masalah itu, dan keterkaitan
anggaran pendidikan 20% yang diperuntukkan untuk daerah konflik dan bencana. Namun
pada kenyataannya hal demikian tidak terjadi pada Wakil Rakyat. Padahal ini sudah
menjadi kebutuhan untuk dapat membentuk Undang-Undang yang khusus mengatur
masalah Pendidikan pada daerah Konflik dan Bencana.
Bersepakat dengan masalah
pristiwa pelanggaran HAM di masa lalu, pada masa transisi menuju demokrasi,
adalah salah satu masalah yang kompleks dimana pelaku politik harus memahami
hal ini. Bersebelahan dengan etika yang sulit, politik, dan teknik menangani
isu bukanlah masalah sederhana.[32] Apalagi melihat kenyataan
Aceh dan Papua sebagai daerah konflik, dibutuhkan payung hukum berupa
Undang-Undang untuk bisa menarik kembali mereka. Dengan paying hukum yang tinggi
dan kuat maka poltical will Bersepakat
dengan masalah pristiwa pelanggaran HAM di masa lalu, pada masa transisi menuju
demokrasi, adalah salah satu masalah yang kompleks dimana pelaku politik harus
memahami tersebut.
BAB III
Wewenang Mahkamah
Konstitusi Untuk Memerintahkan Pembentukan Aturan Undang-Undang Mengenai
Pendidikan Untuk Daerah Konflik dan Bencana
A.
Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan
d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang
terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang
ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan
tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
It
might be argued in defense of the behaviour of the judiciary that its duty
consist only in upholding the law of the land as mandated by the competent
legislative authority. However, given an opportunity to interpret the meaning
of the law, the courts took practically no exception to the interpretation
offered by the advocated of the Pinochet government.[33]
Tidak ada tugas dari Mahkamah Konstitusi dalam hal
bisa memerintahkan pembuatan Undang-Undang ke Presiden dan DPR tanpa ada pengajuan
judicial review dari masyarakat. Mungkin dalam hal ini sebaiknya DPR sebagai
perwakilan rakyat bisa menjalankan fungsi tersebut. Tidak ada pertentangan
Undang-Undang dengan konstitusi dalam kasus ini, tetapi soal adanya kejadian
yang luar biasa persoalan konflik dan bencana di Indonesia sehingga membutuhkan
payung hukum yang lebih yaitu Undang-Undang.
If, then, the
courts are to regard the constitutions, and the constitutions is superior to
any ordinary act of the legislature, the constitutions, and not such ordinary
act, must govern the case to which they both apply.[34]
In R v Snow (1915)
20 CLR 315 Griffith CJ, in referring to s 80, had declared that: The history of
the law trial by jury as a British institutions…is in my judgement sufficient
to show that this provision ought prima facie to be construed as an adoption of
the institution of “trial by jury” with all that was connoted by that phrase in
constitutional law and the cpmmon law of England.[35]
B. Gagasan
Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Untuk Mengusulkan Suatu Undang-Undang
Terhadap Keadaan Konflik dan Bencana
Apabila Mahkamah Konstitusi tidak dapat memutuskan
tanpa ada permintaan judicial review terhadap persoalan konflik dan bencana,
apakah bisa kita menggagas agar fungsi tersebut dapat diakomodir pada
konstitusi. Memang konsekuensinya harus ada perubahan Konstitusi dahulu yang
mana itu atas kehendak 2/3 anggota DPR. Perubahan Undang-Undang Dasar ditentukan dalam UUD
1945, antara lain:
Pasal 37
ayat (1) yang berbunyi, “Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya
1/3 dari jumlah anggota MPR.”
Pasal 37
ayat (2) yang berbunyi, “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang- Undang Dasar
diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan
untuk diubah beserta alasannya.”
Pasal 37
ayat (3) yang berbunyi, “Untuk mengubah pasal-pasal Undang- Undang Dasar,
sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.”
Pasal 37
ayat (4) yang berbunyi, “Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan
dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota
dari seluruh anggota MPR.”
The legislature saves time by confining it self to broad principles in
the law it enacts leaving details to be formulated by the concerned
administrative authorities.At another place, the committee talks of the
practice in these words: It is a natural reflection, in the sphere of
constitutional law, of changes in our ideas of government which have resulted
from changes in political, social and economic ideas, and of changes in the
circumtances of our lives which have resulted from scientific discoveries.[36]
Pada konstitusi
China pasal 85 bahwa Pemerintahan China, eksekutif adalah level tertinggi
kekuasaan di negara, dalam hal administrasi.
Konstitusi memberikan kuasa ke eksekutif untuk membuat peraturan dan
aturan. Standarnya adalah mengukur pelaksanaan konstitusi dengan hukum lain.[37]
As Justice Stewart
summarized in Perry vs. Sindermann bahwa walaupun seseorang tidak memiliki hak
untuk mendapat nilai kebebasan berbicara dan walaupun pemerintah menutup nya
untuk sejumlah alasan, ini mungkin secara konstitusi tidak menjaga perilaku diantaranya
kebebasan berbicara. Untuk meminta pemerintah melakukan hal yang ingin diminta.
[38] Di Australia, Mahkamah menyelenggarakan legislasi yang secara aplikasi
ada diskriminasi dari pemerintah. Menciptakan aturan yang menekankan batas
diskriminasi. Dalam hal ini menyarankan pemerintah melakukan ini itu terkait
legislasi.[39]
Pada
konstitusi Afrika diatur masalah Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas, dan
demokratisasi, ekonomi pembangunan. Yang mana persoalan-persoalan ini merupakan
hal dasar. [40]Sebagaimana
dalam konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 diatur masalah pendidikan sehingga
pendidikan bagi daerah konflik dan bencana yang menggejala di Indonesia harus
diatur dengan aturan yang tinggi di bawah konstitusi yaitu Undang-Undang. Agar
dalam pelaksanaan menjadi keutamaan.
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dalam
menginterpretasikan bagaimana yang disebutkan berikut bahwa membaca teks itu
berarti membaca hati-hati dan mengartikan dengan murni tanpa
menginterpretasikan teks. Menggunakannya sebagaimana dalam lingkungan yang dia
gunakan. Pertanyaanya dalam menginterpretasikan apa yang disebut dalam
pembuatan Undang-Undang sebagai proses mungkin bia terjawab, proses yang
terekam dan pertanyaan yang memecah belah.[41] Dalam arti apa yang
disebut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 harus diartikan sedemikian.
Hingga memang tanpa ada pengajuan dari masyarakat tidak akan bisa Mahkamah
Konstitusi berinisiatif sendiri untuk mengajukan Undang-Undang mana yang perlu
ada dalam suatu pemerintahan. Dengan demikian Gagasan Tugas dan Fungsi Mahkamah
Konstitusi Untuk Mengusulkan Suatu Undang-Undang Terhadap Pendidikan pada
daerah Konflik dan Bencana benar-benar membutuhkan pengajuan dari masyarakat
untuk menguji suatu Undang-Undang. Atau konstitusi yang harus dirubah yaitu
menambah tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi.
Sesuai
Rule of Law, The Common word “rule” has a variety of meanings. We speak of
rules of law and also rules of the game of checkers and rules of personal
behaviour. [42]Segala
sesuatu membutuhkan aturan.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ketika suatu
permasalahan khususnya masalah di daerah konflik dan bencana belum ditangani
maka diperlukan payung hukum agar birokrasi bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Bisa kita bayangkan jika tidak ada payung hukum maka pelaksanaannya akan
seadanya karena tidak ada infrastruktur yang memadai, tenaga pengajar yang
kurang karena mereka tidak mau mengajar di daerah konflik dan bencana, bahan
ajar yang kurang lengkap, hingga peserta didik yang mungkin tidak mau sekolah
karena trauma yang dialaminya pasca konflik dan bencana, maupun apabila konflik
dan bencana tersebut tetap berlangsung. Wakil rakyat di Parlemen seharusnya konsentrasi
mengenai pembentukan Undang-Undang untuk menangani persoalan pendidikan pada
daerah konflik dan bencana. Mereka bisa melihat secara jelas dari kejadian
konflik dan bencana yang terjadi di Indonesia, aturan hukum yang belum mengatur
khusus masalah itu, dan keterkaitan anggaran pendidikan 20% yang diperuntukkan
untuk daerah konflik dan bencana. Namun pada kenyataannya hal demikian tidak
terjadi pada Wakil Rakyat. Padahal ini sudah menjadi kebutuhan untuk dapat
membentuk Undang-Undang yang khusus mengatur masalah Pendidikan pada daerah
Konflik dan Bencana. Sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus sebagai amanat Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010, dimana Peraturan Pemerintah tersebut merupakan amanat
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun
dikarenakan potensi konflik dan bencana yang semakin besar akhir-akhir ini
diperlukan payung hukum yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang karena memang
pendidikan adalah hak dasar yang harus benar-benar terjamin pelaksanaannya.
Sehingga tanggungjawab pelaksanaan hal ini tak hanya menjadi tanggungjawab
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tapi kerjasama banyak instansi di bawah
arahan Presiden.
Berdasarkan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai
politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu,
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945
yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau
tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.
Apabila Mahkamah Konstitusi tidak dapat memutuskan tanpa ada permintaan
judicial review terhadap persoalan konflik dan bencana, apakah bisa kita
menggagas agar fungsi tersebut dapat diakomodir pada konstitusi. Memang
konsekuensinya harus ada perubahan Konstitusi dahulu yang mana itu atas
kehendak 2/3 anggota DPR. Atau harus ada pengajuan judicial review dari
Masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terkait hal tersebut dan political will Pemerintah dan Parlemen untuk mengakomodir
permasalahan ini yang merupakan permasalahan penting Indonesia saat ini.
B.
Saran
1.
Diperlukan
Political Will yang baik dari Pemerintah dan Parlemen untuk dapat mewujudkan
Undang-Undang yang mengatur pendidikan pada Daerah Konflik dan Bencana;
2.
Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga yang menunggu adanya pengajuan judicial review,
sehingga dibutuhkan pengajuan dari masyarakat terkait Undang-Undang yang
mengatur pendidikan pada Daerah Konflik dan Bencana.
[2]
https://www.metrotvnews.com/play/k8oC9JJv-gara-gara-hoaks-sebagian-warga-wamena-kehilangan-pekerjaan
[3] Lihat
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam
Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: FHUI: 2018), hal 294
[4] Ibid, hal 304-305.
[5] Nurdahlia
Hala’a, https://www.academia.edu/35549411/pendidikan_pada_masa_orde_baru, 4
November 2019.
[6]
Ratih Keswara, https://ekbis.sindonews.com/read/1073660/34/hadapi-mea-pasar-tenaga-kerja-paling-mengkhawatirkan-1451565656, 4 November 2019.
[7] Lihat John Locke, The Second Treatise of Government Edited
with an introduction by Thomas P.Peardon, (Newyork: The Library of Liberal
Art), hal 3. Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta:
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[8] Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law and State Translated
by Anders Wedberg, (Newyork: Russell & Russell, 1961). Lihat juga Satya
Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[11] J. Soedjati Djiwandono, Democratic
Experiment in Indonesia: Between Achievement and Expectations, (The Indonesian
Quarterly, Vol XV, No 4, 1987)
[12] Todung Mulya
Lubis, Disertasi Doktoral: In Search of Human Rights : Legal Political Dilemmas
Of Indonesia ‘s New Order 1966-1990, (California: Universityof California,
Berkeley), hal.169. b
[14] Kristian
Erdianto, Kontras Paparkan 10 Kasus
Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto,https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Paparkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?page=all, 8
Oktober 2019.
[15] Rakhmad Permana,
Mengenang Tragedi Trisakti: Martir Demokrasi yang Mati Ditembak Peluru Besi, https://news.detik.com/berita/d-4546001/mengenang-tragedi-trisakti-martir-demokrasi-yang-mati-ditembak-peluru-besi, 8
Oktober 2019.
[16] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171105084258-92-253553/kemitraan-ketimpangan-melebar-sejak-soeharto-hingga-jokowi,
diakses pada tanggal 21 November 2019.
[17] Harold Crouch,
Indonesia: Democratization and The Threat of Disintegration, Southeast Asian
Affairs 2000 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000), hal 364.
[19] https://nasional.kompas.com/read/2019/09/30/17230711/kronologi-kerusuhan-di-wamena-versi-komnas-ham?page=all,
diakses 20 November 2019.
[20] Doni Koesoema A, file:///C:/Users/PUTERI~1.AMI/AppData/Local/Temp/digital_blob_F32140_Pendidikan%20Darurat%20Pasca-1.htm, 4
November 2019.
[21] Peter J. Burns,
The Leiden Legacy: Concept of Law in Indonesia, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
1999), hal 247.
[23] Sri
Mulyani memastikan anggaran 20 persen pendidikan akan tetap dikucurkan oleh
pemerintah karena amanat undang-undang. "Anggaran tetap akan dialokasikan
namun bagaimana kita menggunakan (harus diubah)," kata dia. Saat ini,
ucapnya, Indonesia memiliki permasalahan di bidang sumberdaya manusia. Jumlah
pekerja melimpah namun pendidikannya relatif rendah. Selain itu, kewenangan
pemerintah daerah juga menjadi tantangan perbaikan tingkat SDM di Indonesia.
"Dari sisi desentralisasi, mulai PAUD, AS, SMP dan SMA itu (kewenangan)
ada di level kabupaten provinsi kota. Bagimana bisa menyinkronkan antara
kewenangan itu di daerah dengan kualitas yang harus relatif seragam," kata
dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani: Anggaran Pendidikan 20 Persen dari APBN Hasilnya Tak Memuaskan...", https://money.kompas.com/read/2019/08/09/162702626/sri-mulyani-anggaran-pendidikan-20-persen-dari-apbn-hasilnya-tak-memuaskan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani: Anggaran Pendidikan 20 Persen dari APBN Hasilnya Tak Memuaskan...", https://money.kompas.com/read/2019/08/09/162702626/sri-mulyani-anggaran-pendidikan-20-persen-dari-apbn-hasilnya-tak-memuaskan.
[24] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi Keadilan Sosial, (Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2018),
hal 285-286.
[26] Standar Nasional
Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Standar Nasional
Pendidikan terdiri dari :
- Standar Kompetensi Lulusan
- Standar Isi
- Standar Proses
- Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
- Standar Sarana dan Prasarana
- Standar Pengelolaan
- Standar Pembiayaan Pendidikan
- Standar Penilaian Pendidikan
Fungsi dan
Tujuan Standar :
- Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
- Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
- Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
http://bsnp-indonesia.org/standar-nasional-pendidikan/,
diakses pada tanggal 21 November 2019.
[27] Pendanaan
pendidikan merupakan tanggungjawab bersama anatara Pemerintah, Pemerintah
Daerah dan masyarakat. Pasal 2 ayat (1) PP No. 48 Tahun 2008. https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/PP48-2008DanaDik.pdf,
diakses pada tanggal 21 November 2019.
[28] Pendidikan agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya
melaluimata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang
ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Pasal 1 angka 1 dan 2 PP No. 55 Tahun 2007. https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/PP_55_2007-Pendidikan-Agama-Keagamaan.pdf,
diakses pada tanggal 21 November 2019.
[32] Jorge Correa S,
Dealing With Past Human Rights Violations: The Chilean Case After Dictatorship,
Notre Dame Law Review (Vol. 67, No. 5, 1992), hal 73.
[33] Timothy Scully
and Alejandro Ferreiro Y, Chile Recovers Its Democratic Past: Democratization
by Installment, Journal of Legislation (Vol. 18, No. 2, 1992, hal 122.
[34] William H.
Rehnquiest, The Supreme Court: How It Was, How It Is, (New York: William
Morrow, 1989), hal 16.
[36] M.P.Jain,
Administrative Law of Malaysia and Singapore (Kuala Lumpur: Malayan Law Journal
Pte. Ltd., 1989), hal 20.
[37] Du Xichuan and
Zhang Lingyuan, China’s Legal System: A General Survey, (Beijing: New World
Press, 1990), hal. 58.
[38] Peter M. broody,
The First Amandement, Governmental Cencorship, and Sponsored Research, The
Journal of College and University Law (Vol. 19, No. 3, Winter 1998), hal 184.
[39] Geofrey Lindell,
ed, Future Directions in Australian Constitutional Law (Canberra: The
federation Press, 1994), hal 155.
[40] Clive Napier,
Africa’s Constitutional Renaissances? Stocktaking in the 90’s, Africa dialogue
(Monograph Series No. 1, 2000), hal 231.
[41] Richard A.
Posner, The Problem of Jurisprudence (Cambridge: Harvard University Press,
1990), hal 291.
[42] Stewart
Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey, eds, Law & Society: Readings
on the social study of law (New York: W.W. Norton & Company, 1955), hal
340.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar