Selasa, 07 Januari 2020

Pendidikan di Daerah Konflik dan Bencana


BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Pendidikan terutama di daerah rawan konflik dan rawan bencana selalu menjadi masalah pekerjaan rumah pemerintah yang tiada henti-hentinya. Letak geografis Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) dan dikelilingi oleh lautan membuat negeri ini berpotensi dihantam banyak bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekap data pristiwa bencana yang terjadi sepanjang bulan Januari sampai dengan bulan September tahun 2019 telah terjadi 2.829 kejadian bencana dengan 464 korban meninggal dan hilang, 1.826 korban luka, 5.075.783 mengungsi dan terdampak.[1] Sedangkan pada daerah rawan konflik seperti Aceh dan Papua yang memiliki luka masa lalu yang belum hilang menyisakan konflik berkepanjangan hingga saat ini. Seperti kejadian baru-baru ini di Wamena, hal-hal semacam itu berpengaruh besar pada keadaan psikologis masyarakat.[2] Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dalam periode tahun 2001 warna kekerasan masih mengental di bumi Aceh, dan tercatat tidak kurang dari 2.325 kasus aksi kekerasan terhadap kemanusiaan telah terjadi. Kasus-kasus kekerasan yang dimaksud meliputi sekitar 1000 kasus pembunuhan, 683 kasus penyiksaan, 107 kasus penghilangan orang secara paksa, dan 535 kasus penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang.[3]

 
Dalam konteks peringatan 53 tahun Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang diselenggarakan pada tahun 2001 yang lalu, patut dicatat bahwa hak atas pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang bersifat universal. Pasal 26 UDHR antara lain menyatakan sebagai berikut:[4]
1.      Bahwa tiap-tiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, terutama untuk tingkat pendidikan dasar. Pendidikan dasar berisfat wajib, sedangkan pendidikan teknis dan professional harus dimungkinkan untuk didapatkan dan pendidikan tinggi harus dapat diakses oleh semua orang berdasarkan manfaat.
2.      Pendidikan harus diarahkan kepada pengembangan penuh dari kepribadian manusia dan ke arah penguatan penghormatan terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar. Ia harus memajukan pemahaman, toleransi, dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok-kelompok ras dan agama, dan juga memajukan aktivitas-aktivitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memelihara perdamaian.
3.      Para orang tua memiliki hak untuk memilih terlebih dahulu macam pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
Pada masa orde baru pendidikan mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia.” Posisi siswa sebagai subjek dalam era orde baru telah dipaparkan bahwa pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukan untuk memenuhi hasrat penguasa, bukan menciptakan menjadi manusia yang siap bereksplorasi dengan ilmunya. Jarak antara pendidikan dan aplikasi dunia kerja yang begitu jauh menjadikan adanya pengangguran terdidik. Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.[5]
Kondisi saat ini dengan kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara rawan konflik dan rawan bencana, sistem pendidikan harus menciptakan manusia yang benar kuat dan mampu berkolaborasi dengan keadaan. Apabila ditambah dengan era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)[6] dimana persaingan dunia kerja tingkat ASEAN. Tenaga kerja asing akan mudah masuk ke Indonesia. Untuk itu diperlukan kekuatan sistem pendidikan dasar dan menengah di Indonesia.


B.          Rumusan Masalah
1.  Apa saja kendala dalam pelaksanaan dan masalah Wakil Rakyat yang tidak memahami daerah konflik dan bencana?
2.  Bagaimana Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi kaitannya dengan pengaturan pendidikan daerah konflik dan bencana yang belum mengakomodir?

C.          Tujuan Penulisan
1.  Untuk mengetahui Hak Pendidikan Dasar di daerah konflik dan bencana dalam kaitannya dengan aturan pendidikan yang belum mengakomodir, kendala dalam pelaksanaan dan masalah Wakil Rakyat yang tidak memahami daerah konflik dan bencana.
2.  Untuk mengetahui tugas Mahkamah Konstitusi kaitannya dengan pengaturan pendidikan daerah konflik dan bencana yang belum mengakomodir

D.          Kerangka Teoritis
1.  Teori hukum alam dari John Locke :
Men being, as has been said, by nature all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate and subjected to the political power of another without his own consent.[7]
Dalam tulisan ini dipilih teori hukum alam dari John Locke karena untuk mendapatkan pemahaman mengenai teori-teori kenegaraan dalam hal hak asasi manusia dan demokrasi teori ini memberikan suatu pemahaman awal bahwa manusia tidak bisa dipaksakan untuk ikut dalam politik tertentu tanpa ada persetujuannya karena pada dasarnya manusia itu bebas, sama dan merdeka.
2.  Teori Stufenbau (teori mengenai sistem hukum) dari Hans Kelsen:
Sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).[8]
Dalam tulisan ini dipilih teori stufenbau (teori mengenai sistem hukum) dari Hans Kelsen karena teori ini memberikan pemahaman awal yang baik dalam pelaksanaan Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim. Bahwa seluruh aturan tersebut harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).

E.          Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
A.   Latar Belakang
B.   Rumusan Masalah
C.   Tujuan Penulisan
D.   Kerangka Teoritis
E.   Sistematika Penulisan
BAB II Hak Pendidikan Dasar di Daerah Konflik dan Bencana
            A. Pengertian Daerah Konflik dan Bencana
            B. Pengaruh Memori Masa Orde Baru
            C. Realitas Daerah Bencana dan Konflik di Indonesia
D. Aturan Pendidikan Yang Belum Mengakomodir
E. Kendala dalam Pelaksanaan
BAB III Wewenang Mahkamah Konstitusi Untuk Memerintahkan Pembentukan Aturan Mengenai Pendidikan Untuk Daerah Konflik dan Bencana
BAB IV PENUTUP
A.   Kesimpulan
B.   Saran
BAB II
Regulasi Hak Pendidikan Dasar di Daerah Konflik dan Bencana

A.    Pengertian Daerah Konflik dan Bencana
Daerah konflik adalah daerah yang berpotensi terjadinya konflik dimana konflik itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti percekcokan, perselisihan, pertentangan, persaingan antara dua masyarakat sosial yang mempunyai kebudayaan hampir sama, pertentangan antaranggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan.[9]
            Daerah Bencana adalah daerah Daerah bencana adalah kawasan yang hancur setelah dilanda bencana, seperti tornado, angin topan, tsunami, banjir, gempa bumi, atau bencana teknologi seperti kecelakaan nuklir dan radiasi, atau bencana sosiologi seperti kerusuhan, terorisme atau perang. Penduduk yang tinggal disana akan mengalami kekurangan energi, makanan, layanan, dan juga meningkatnya risiko penyakit. Daerah yang mengalami bencana biasanya mendapatkan bantuan nasional atau internasional.[10] Definisi Bencana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai berikut: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dari pertanyaan pembangunan ekonomi dan progres pembangunan ada satu prioritas. Negara yang baru merdeka dan negara berkembang seperti Indonesia yang mana harus memperkuat keamanan nasional, identitas nasional, menjaga integritas, memberikan kesejahteraan, meliputi spiritual dan hak asasi manusia. Developing countries continue to go through a process of adjustment in a great number of fields.
In Indonesia, the people are in the process of adjusting and striking the right balance between traditional values and modernity, between material and spiritual well being, between economic progress and democratic progress and between reality and the desirable. [11]

B. Pengaruh Memori Masa Orde Baru
            Diskursus mengenai politik hukum staatsidee di bawah orde baru berdasarkan dua karakteristik. Satu merujuk kepada pengertian negara hukum pada UUD 1945 sebelum amandemen sementara lainnya adalah berdasarkan negara hukum integral dari pandangan DR.Soepomo.
The official interpretation of rechtstaat tends to link it to the integralistic staatsidee even though it is being termed a law state based on Pancasila and the 1945 Constitution.[12]
                Dua tahun pertama pelaksanaan orde baru sebenarnya adalah masa jaya penerapan hak asasi manusia, dimana pada masa awal orde baru tersebut sudah ada keinginan untuk memformula tata cara yang lebih tepat bagi Indonesia yang memiliki beragam pandangan yaitu kaum nasionalis, Islam, dan agama lain. Sehingga diputuskan bahwa Pancasila yang akan memayungi semua paham itu. In This respect, it is interesting to note that while waiting for adoption of the charter in the general assembly to the President urging him to initiate the following:[13]
1.    Hak asasi manusia sesuai Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 34.
2.    Untuk bersama-sama dengan DPR memonitor implementrasi dari hak asasi manusia, dan menciptakan pengadilan administrasi.
3.    Mereview Perundangan yang diskriminatif baik KUHP maupun HIR dan menggantikan dengan perundang-undangan lain yang lebih menjunjung hak asasi manusia.
4.    Mengkampanyekan hak asasi manusia di sekolah dan universitas dan menciptakan kesadaran HAM di masyarakat.
Namun masa-masa sesudahnya kenyataannya tak sebaik masa awalnya. Banyak catatan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Presiden Suharto saat berkuasa, diantaranya sebagai berikut menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS):[14]
1.     Kasus Pulau Buru 1965-1966;
2.     Penembakan misterius 1981-1985;
3.     Tanjung Priok 1984-1987;
4.     Talangsari 1984-1987;
5.     Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998;
6.     DOM Papua 1963-2003;
7.     Pristiwa 27 Juli 1996;
8.     Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997-1998;
9.     Pristiwa Trisakti 12 Mei 1998[15];
10.  Kerusuhan 13-15 Mei 1998.
                Sejak Orde Baru, Kemitraan menulis, pemerintah memberlakukan Kawasan Hutan dan Non-Kawasan Hutan yang pada praktiknya justru tak memiliki batasan yang jelas karena tata batas lahan berjalan lambat.
Pada 2005, misalnya, hanya sekitar 12 persen saja kawasan hutan yang berhasil masuk dalam aturan tata batas. Walaupun demikian, hal tersebut tak membuat pemerintah menunggu untuk mengeluarkan izin konsesi kepada pihak swasta. Hal inilah yang membuat konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat setempat.[16]
Hutan-hutan ini tentu lebih banyak di daerah yang masih belum berkembang seperti di Papua, Kalimantan, dan Sumatera (pada masa orde baru).
                The most serious challenge was in Aceh where it was widely acknowledge that a referendum would result in a vote for independence. The grievences of Aceh’s 4.1 million people are multiple. Although the province’s natural resources make a big contribution to the national budget, the level of poverty in Aceh itself remains high. Begitupun di Irian Jaya (Papua), seperti dikatakan oleh masyarakatnya bahwa tanah di Papua itu emas, namun tingkat kemiskinan mereka tinggi. Hal ini menimbulkan keinginan untuk lepas dari Indonesia.[17]
               
C. Realitas Daerah Bencana dan Konflik di Indonesia
                Dalam hal ini saya mengambil contoh yang terdekat berdasarkan studi media internet. Pasca kerusuhan di Wamena pada bulan September 2019 masih banyak warga masyarakat yang mengungsi, tentunya anak-anak mereka pun yang masih sekolah, belum bisa bersekolah kembali dengan normal. Daerah Wamena Papua adalah daerah terpencil ditambah dengan kondisi pasca konflik, yang bukan tidak mungkin suatu saat akan muncul kembali, maka sekolah di Wamena[18] bisa kita bayangkan berada pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk menjalankan kegiatan belajar mengajar dengan normal. Ditambah dengan pernyataan dari Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua, disebabkan oleh kesalahpahaman terkait isu seorang guru yang disebut melecehkan muridnya dengan perkataan bernada rasial. Kesalahpahaman yang terjadi lalu bekembang luas kepada orang banyak hingga berujung kerusuhan. [19] Seorang guru yang seharusnya digugu dan ditiru ini justru memancing emosi dan isu. Persoalan Hak Asasi Manusia di masa lampau memang menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi sebuah negara khususnya Indonesia. Contoh realnya dengan kasus Papua (Wamena) bahwa belum diselesaikannya sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut membuat konflik di kawasan Indonesia Timur itu terus berulang sebagaimana disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rosita Dewi, Senin 19 Agustus 2019.
Contoh lain situasi pendidikan di Aceh mengalami penderitaan ganda.[20] Pertama, sistem pendidikan lumpuh karena konflik politik dan kekerasan bersenjata mengorbankan warga sipil dan anak-anak. Kedua, krisis karena bencana alam yang menghancurkan sarana pendidikan menciptakan situasi traumatis-psikologis akibat kematian orang-orang tercinta. Penderitaan ganda ini mewajibkan berbagai pihak untuk menilai kembali posisi konfliktual yang mereka hadapi dalam kerangka mencari langkah-langkah penyelesaian konflik yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Merupakan sebuah tanggung jawab moral bagi setiap pihak untuk pertama-tama menghentikan perang. Konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah semestinya dihentikan mengingat beberapa bantuan kemanusiaan tidak sampai sasaran karena transportasi masih terputus, maupun ancaman konflik bersenjata yang bisa berlangsung kapan saja. Melanjutkan operasi militer bagi kedua pihak yang berkonflik dalam situasi darurat seperti sekarang hanya menunjukkan tidak adanya kepekaan atas kesediaan untuk menghargai martabat kemanusiaan.
Lesquiller distinguished four main groups of offences in adat law:[21]
1.    Behaviour which upset the universal harmony;
2.    Disturbance of emotional equanimity;
3.    Transgressions against the authority of custom;
4.    Behaviour resulting in injury or damages.



D. Aturan Pendidikan Yang Belum Mengakomodir
Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada BAB XIII[22] mengatur permasalahan Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan [23]sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, ayat (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Ada beberapa undang-undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang masih berlaku sampai sekarang yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan pendidikan, yaitu:[24]
No
Undang-Undang/ Peraturan

Tentang
1.
     UU Nomor 20 Tahun 2003
Sistem Pendidikan Nasional
2.
UU Nomor 12 Tahun 2012
Pendidikan Tinggi
3.
UU Nomor 32 Tahun 2004
Pemerintahan Daerah
4.
UU Nomor 20 Tahun 2013
Pendidikan Kedokteran
5.
UU Nomor 12 Tahun 2012
Pendidikan Tinggi
6.
UU Nomor 14 Tahun 2005
Guru dan Dosen[25]
7.
UU Nomor 18 Tahun 2002
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
8.
PP Nomor 13 Tahun 2015
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Perubahan Pertama PP Nomor 32 Tahun 2013
9.
PP Nomor 32 Tahun 2013
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
10.
PP Nomor 17 Tahun 2010
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
11.
PP Nomor 19 Tahun 2005
Standar Nasional Pendidikan[26]
12.
PP Nomor 25 Tahun 2000
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
13.
PP Nomor 93 Tahun 2015
Rumah Sakit Pendidikan
14.
PP Nomor 26 Tahun 2015
Bentuk dan mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang mengubah PP Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
15.
PP Nomor 13 Tahun 2015
Perubahan Kedua atas PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Perubahan Pertama PP Nomor 32 Tahun 2013
16.
PP Nomor 4 Tahun 2014
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi
17.
PP Nomor 66 Tahun 2010
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (sudah dibatalkan dengan PP Nomor 4 Tahun 2014)
18.
PP Nomor 41 Tahun 2009
Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor
19.
PP Nomor 37 Tahun 2009
Dosen
20.
PP Nomor 48 Tahun 2008
Pendanaan Pendidikan[27]
21.
PP Nomor 55 Tahun 2007
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan[28]
22.
PP Nomor 41 Tahun 2006
Perizinan Melakukan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing
23.
PP Nomor 20 Tahun 2005
Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Hasil Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan
24.
PP Nomor 19 Tahun 2005
Standar Nasional Pendidikan
25.
PP Nomor 61 Tahun 1999
Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum (sudah dibatalkan PP Nomor 17 Tahun 2010
26.
PP Nomor 60 Tahun 1999
Pendidikan Tinggi (sudah dibatalkan PP Nomor 17 Tahun 2010)
27.
PP Nomor 38 Tahun 1992
Tenaga Kependidikan
28.
PP Nomor 39 Tahun 1982
Pemberian Bantuan kepada Perguruan Tinggi Swasta

Pada tabel 1.1 belum ada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang khusus mengatur masalah pendidikan pada daerah konflik dan bencana. Ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Konflik Sosial dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tetapi kedua Undang-Undang tersebut belum mengakomodir isu pendidikan di daerah konflik dan bencana. Sehingga permasalahan pendidikan di daerah konflik menjadi permasalahan yang hingga kini belum benar-benar terakomodir. Sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus sebagai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, dimana Peraturan Pemerintah tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun dikarenakan potensi konflik dan bencana yang semakin besar akhir-akhir ini diperlukan payung hukum yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang karena memang pendidikan adalah hak dasar yang harus benar-benar terjamin pelaksanaannya. Sehingga tanggungjawab pelaksanaan hal ini tak hanya menjadi tanggungjawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tapi kerjasama banyak instansi di bawah arahan Presiden.
Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur pelaksanaan pendidikan di daerah konflik dan bencana baik dari segi fisik pendidikan maupun non fisik. Keadaan pendidikan di daerah konflik dan bencana membutuhkan payung hukum khusus agar pelaksanaannya lebih dapat dikendalikan dan penanganannya khusus.



E. Kendala dalam Pelaksanaan
Ketika suatu permasalahan khususnya masalah di daerah konflik dan bencana belum ditangani maka diperlukan paying hukum agar birokrasi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan yang terkait infrastruktur, tenaga pengajar, bahan-bahan ajar, hingga masalah psikologis peserta didik memerlukan suatu aturan yang membatasi dan memastikan akan dapat dilaksanakan. Diperlukan tata cara khusus dalam menangani daerah konflik. Meskipun memang seringkali Non Government Organization (NGO), baik dari dalam maupun luar negeri sudah banyak yang turun ke daerah konflik dan bencana, tetapi tetap saja tanggungjawab pemerintah untuk dapat membuat suatu aturan agar tata laksananya bisa berjalan dengan sebaik-baiknya. Seperti yang dilakukan pemerintah dan NGO dari dalam maupun luar negeri untuk menangani pendidikan di Sigi, Aceh.[29]
Bisa kita bayangkan jika tidak ada payung hukum maka pelaksanaannya akan seadanya karena tidak ada infrastruktur yang memadai, tenaga pengajar yang kurang karena mereka tidak mau mengajar di daerah konflik dan bencana, bahan ajar yang kurang lengkap, hingga peserta didik yang mungkin tidak mau sekolah karena trauma yang dialaminya pasca konflik dan bencana, maupun apabila konflik dan bencana tersebut tetap berlangsung.
Klaten[30] merupakan suatu kabupaten yang terletak di wilayah Jawa Tengah dan merupakan salah satu kabupaten yang berdekatan dengan salah satu gunung berapi yang aktif yaitu gunung merapi dan merupakan kawasan yang berada di jalur “ring of fire”. Dua potensi bencana yang telah diketahui masyarakat luas, bahkan dunia internasional, adalah letusan gunung Merapi dan gempa bumi tektonik. Wilayah kabupaten Klaten yang rentan terhadap bencana gempa bumi dibedakan menjadi tiga daerah potensial. Daerah potensial I (kerusakan bangunan >80%) adalah Kecamatan Prambanan, Kecamatan Wedi, Kecamatan Gantiwarno, Kecamatan Bayat, dan Kecamatan Jogonalan. Daerah potensial II (kerusakan bangunan >60%) yaitu Kecamatan Cawas, Kecamatan Ceper, Kecamatan Pedan dan Kecamatan Trucuk. Daerah potensial III (kerusakan bangunan 20%-60%) yaitu Kecamatan Klaten Selatan, Kecamatan Tengah, Kecamatan Klaten Utara, Kecamatan Karangnongko, Kecamatan Kemalang, Kecamatan Tulung, Kecamatan Klaten (Panduan Pembelajaran Kebencanaan di Kabupaten Klaten, 2014). Sehingga hal ini lah yang mampu menyebabkan kabupaten klaten berada pada daerah rawan akan bencana alam seperti gempa bumi. Itu baru satu daerah yang rawan bencana. Ada banyak daerah lain di Indonesia yang seperti itu semisal Sulawesi Tengah, NTB, Maluku, Aceh, Papua, Sumatera Barat, Yogyakarta, dan daerah lainnya. [31]
Begitupun dengan daerah konflik seperti Sulawesi Tengah, Kalimantan, Aceh, Papua. Sehingga dengan potensi yang demikian besar di Indonesia sudah semestinyalah ada suatu aturan mengenai pendidikan daerah konflik dan bencana.
                Wakil rakyat di Parlemen seharusnya konsentrasi mengenai pembentukan Undang-Undang untuk menangani persoalan pendidikan pada daerah konflik dan bencana. Mereka bisa melihat secara jelas dari kejadian konflik dan bencana yang terjadi di Indonesia, aturan hukum yang belum mengatur khusus masalah itu, dan keterkaitan anggaran pendidikan 20% yang diperuntukkan untuk daerah konflik dan bencana. Namun pada kenyataannya hal demikian tidak terjadi pada Wakil Rakyat. Padahal ini sudah menjadi kebutuhan untuk dapat membentuk Undang-Undang yang khusus mengatur masalah Pendidikan pada daerah Konflik dan Bencana.
                Bersepakat dengan masalah pristiwa pelanggaran HAM di masa lalu, pada masa transisi menuju demokrasi, adalah salah satu masalah yang kompleks dimana pelaku politik harus memahami hal ini. Bersebelahan dengan etika yang sulit, politik, dan teknik menangani isu bukanlah masalah sederhana.[32] Apalagi melihat kenyataan Aceh dan Papua sebagai daerah konflik, dibutuhkan payung hukum berupa Undang-Undang untuk bisa menarik kembali mereka. Dengan paying hukum yang tinggi dan kuat maka poltical will Bersepakat dengan masalah pristiwa pelanggaran HAM di masa lalu, pada masa transisi menuju demokrasi, adalah salah satu masalah yang kompleks dimana pelaku politik harus memahami tersebut.
BAB III
Wewenang Mahkamah Konstitusi Untuk Memerintahkan Pembentukan Aturan Undang-Undang Mengenai Pendidikan Untuk Daerah Konflik dan Bencana

A. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
                Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
                It might be argued in defense of the behaviour of the judiciary that its duty consist only in upholding the law of the land as mandated by the competent legislative authority. However, given an opportunity to interpret the meaning of the law, the courts took practically no exception to the interpretation offered by the advocated of the Pinochet government.[33]
                Tidak ada tugas dari Mahkamah Konstitusi dalam hal bisa memerintahkan pembuatan Undang-Undang ke Presiden dan DPR tanpa ada pengajuan judicial review dari masyarakat. Mungkin dalam hal ini sebaiknya DPR sebagai perwakilan rakyat bisa menjalankan fungsi tersebut. Tidak ada pertentangan Undang-Undang dengan konstitusi dalam kasus ini, tetapi soal adanya kejadian yang luar biasa persoalan konflik dan bencana di Indonesia sehingga membutuhkan payung hukum yang lebih yaitu Undang-Undang.
                If, then, the courts are to regard the constitutions, and the constitutions is superior to any ordinary act of the legislature, the constitutions, and not such ordinary act, must govern the case to which they both apply.[34]
                In R v Snow (1915) 20 CLR 315 Griffith CJ, in referring to s 80, had declared that: The history of the law trial by jury as a British institutions…is in my judgement sufficient to show that this provision ought prima facie to be construed as an adoption of the institution of “trial by jury” with all that was connoted by that phrase in constitutional law and the cpmmon law of England.[35]



B. Gagasan Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Untuk Mengusulkan Suatu Undang-Undang Terhadap Keadaan Konflik dan Bencana
            Apabila Mahkamah Konstitusi tidak dapat memutuskan tanpa ada permintaan judicial review terhadap persoalan konflik dan bencana, apakah bisa kita menggagas agar fungsi tersebut dapat diakomodir pada konstitusi. Memang konsekuensinya harus ada perubahan Konstitusi dahulu yang mana itu atas kehendak 2/3 anggota DPR. Perubahan Undang-Undang Dasar ditentukan dalam UUD 1945, antara lain:
    Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi, “Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.”
    Pasal 37 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang- Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.”
    Pasal 37 ayat (3) yang berbunyi, “Untuk mengubah pasal-pasal Undang- Undang Dasar, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.”
    Pasal 37 ayat (4) yang berbunyi, “Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.”
The legislature saves time by confining it self to broad principles in the law it enacts leaving details to be formulated by the concerned administrative authorities.At another place, the committee talks of the practice in these words: It is a natural reflection, in the sphere of constitutional law, of changes in our ideas of government which have resulted from changes in political, social and economic ideas, and of changes in the circumtances of our lives which have resulted from scientific discoveries.[36]
                Pada konstitusi China pasal 85 bahwa Pemerintahan China, eksekutif adalah level tertinggi kekuasaan di negara, dalam hal administrasi.  Konstitusi memberikan kuasa ke eksekutif untuk membuat peraturan dan aturan. Standarnya adalah mengukur pelaksanaan konstitusi dengan hukum lain.[37]
                As Justice Stewart summarized in Perry vs. Sindermann bahwa walaupun seseorang tidak memiliki hak untuk mendapat nilai kebebasan berbicara dan walaupun pemerintah menutup nya untuk sejumlah alasan, ini mungkin secara konstitusi tidak menjaga perilaku diantaranya kebebasan berbicara. Untuk meminta pemerintah melakukan hal yang ingin diminta. [38] Di Australia, Mahkamah menyelenggarakan legislasi yang secara aplikasi ada diskriminasi dari pemerintah. Menciptakan aturan yang menekankan batas diskriminasi. Dalam hal ini menyarankan pemerintah melakukan ini itu terkait legislasi.[39]
                Pada konstitusi Afrika diatur masalah Hak Asasi Manusia, Akuntabilitas, dan demokratisasi, ekonomi pembangunan. Yang mana persoalan-persoalan ini merupakan hal dasar. [40]Sebagaimana dalam konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 diatur masalah pendidikan sehingga pendidikan bagi daerah konflik dan bencana yang menggejala di Indonesia harus diatur dengan aturan yang tinggi di bawah konstitusi yaitu Undang-Undang. Agar dalam pelaksanaan menjadi keutamaan.
                Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dalam menginterpretasikan bagaimana yang disebutkan berikut bahwa membaca teks itu berarti membaca hati-hati dan mengartikan dengan murni tanpa menginterpretasikan teks. Menggunakannya sebagaimana dalam lingkungan yang dia gunakan. Pertanyaanya dalam menginterpretasikan apa yang disebut dalam pembuatan Undang-Undang sebagai proses mungkin bia terjawab, proses yang terekam dan pertanyaan yang memecah belah.[41] Dalam arti apa yang disebut Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 harus diartikan sedemikian. Hingga memang tanpa ada pengajuan dari masyarakat tidak akan bisa Mahkamah Konstitusi berinisiatif sendiri untuk mengajukan Undang-Undang mana yang perlu ada dalam suatu pemerintahan. Dengan demikian Gagasan Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Untuk Mengusulkan Suatu Undang-Undang Terhadap Pendidikan pada daerah Konflik dan Bencana benar-benar membutuhkan pengajuan dari masyarakat untuk menguji suatu Undang-Undang. Atau konstitusi yang harus dirubah yaitu menambah tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi.
                Sesuai Rule of Law, The Common word “rule” has a variety of meanings. We speak of rules of law and also rules of the game of checkers and rules of personal behaviour. [42]Segala sesuatu membutuhkan aturan.













BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketika suatu permasalahan khususnya masalah di daerah konflik dan bencana belum ditangani maka diperlukan payung hukum agar birokrasi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bisa kita bayangkan jika tidak ada payung hukum maka pelaksanaannya akan seadanya karena tidak ada infrastruktur yang memadai, tenaga pengajar yang kurang karena mereka tidak mau mengajar di daerah konflik dan bencana, bahan ajar yang kurang lengkap, hingga peserta didik yang mungkin tidak mau sekolah karena trauma yang dialaminya pasca konflik dan bencana, maupun apabila konflik dan bencana tersebut tetap berlangsung. Wakil rakyat di Parlemen seharusnya konsentrasi mengenai pembentukan Undang-Undang untuk menangani persoalan pendidikan pada daerah konflik dan bencana. Mereka bisa melihat secara jelas dari kejadian konflik dan bencana yang terjadi di Indonesia, aturan hukum yang belum mengatur khusus masalah itu, dan keterkaitan anggaran pendidikan 20% yang diperuntukkan untuk daerah konflik dan bencana. Namun pada kenyataannya hal demikian tidak terjadi pada Wakil Rakyat. Padahal ini sudah menjadi kebutuhan untuk dapat membentuk Undang-Undang yang khusus mengatur masalah Pendidikan pada daerah Konflik dan Bencana. Sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Layanan Khusus sebagai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, dimana Peraturan Pemerintah tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun dikarenakan potensi konflik dan bencana yang semakin besar akhir-akhir ini diperlukan payung hukum yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang karena memang pendidikan adalah hak dasar yang harus benar-benar terjamin pelaksanaannya. Sehingga tanggungjawab pelaksanaan hal ini tak hanya menjadi tanggungjawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tapi kerjasama banyak instansi di bawah arahan Presiden.
                Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi tidak dapat memutuskan tanpa ada permintaan judicial review terhadap persoalan konflik dan bencana, apakah bisa kita menggagas agar fungsi tersebut dapat diakomodir pada konstitusi. Memang konsekuensinya harus ada perubahan Konstitusi dahulu yang mana itu atas kehendak 2/3 anggota DPR. Atau harus ada pengajuan judicial review dari Masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terkait hal tersebut dan political will Pemerintah dan Parlemen untuk mengakomodir permasalahan ini yang merupakan permasalahan penting Indonesia saat ini.
B. Saran
1.         Diperlukan Political Will yang baik dari Pemerintah dan Parlemen untuk dapat mewujudkan Undang-Undang yang mengatur pendidikan pada Daerah Konflik dan Bencana;
2.         Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang menunggu adanya pengajuan judicial review, sehingga dibutuhkan pengajuan dari masyarakat terkait Undang-Undang yang mengatur pendidikan pada Daerah Konflik dan Bencana.


[2] https://www.metrotvnews.com/play/k8oC9JJv-gara-gara-hoaks-sebagian-warga-wamena-kehilangan-pekerjaan
[3] Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: FHUI: 2018), hal 294
[4] Ibid, hal 304-305.
[7] Lihat John Locke, The Second Treatise of Government Edited with an introduction by Thomas P.Peardon, (Newyork: The Library of Liberal Art), hal 3. Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[8] Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law and State Translated by Anders Wedberg, (Newyork: Russell & Russell, 1961). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[9] https://kbbi.web.id/konflik, diakses pada tanggal 20 November 2019.
[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_bencana, diakses pada tanggal 20 November 2019
[11] J. Soedjati Djiwandono, Democratic Experiment in Indonesia: Between Achievement and Expectations, (The Indonesian Quarterly, Vol XV, No 4, 1987)
[12] Todung Mulya Lubis, Disertasi Doktoral: In Search of Human Rights : Legal Political Dilemmas Of Indonesia ‘s New Order 1966-1990, (California: Universityof California, Berkeley), hal.169.                          b
[13] Todung Mulya Lubis, Op.Cit, hal 215.
[14] Kristian Erdianto, Kontras Paparkan 10 Kasus Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto,https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Paparkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?page=all, 8 Oktober 2019.
[15] Rakhmad Permana, Mengenang Tragedi Trisakti: Martir Demokrasi yang Mati Ditembak Peluru Besi, https://news.detik.com/berita/d-4546001/mengenang-tragedi-trisakti-martir-demokrasi-yang-mati-ditembak-peluru-besi, 8 Oktober 2019.
[17] Harold Crouch, Indonesia: Democratization and The Threat of Disintegration, Southeast Asian Affairs 2000 (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000), hal 364.
[18] https://id.wikipedia.org/wiki/Wamena,_Jayawijaya, diakses pada tanggal 21 November 2019
[21] Peter J. Burns, The Leiden Legacy: Concept of Law in Indonesia, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1999), hal 247.
[22] Amandemen ke 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[23] Sri Mulyani memastikan anggaran 20 persen pendidikan akan tetap dikucurkan oleh pemerintah karena amanat undang-undang. "Anggaran tetap akan dialokasikan namun bagaimana kita menggunakan (harus diubah)," kata dia. Saat ini, ucapnya, Indonesia memiliki permasalahan di bidang sumberdaya manusia. Jumlah pekerja melimpah namun pendidikannya relatif rendah. Selain itu, kewenangan pemerintah daerah juga menjadi tantangan perbaikan tingkat SDM di Indonesia. "Dari sisi desentralisasi, mulai PAUD, AS, SMP dan SMA itu (kewenangan) ada di level kabupaten provinsi kota. Bagimana bisa menyinkronkan antara kewenangan itu di daerah dengan kualitas yang harus relatif seragam," kata dia.
Artikel ini telah tayang di
Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani: Anggaran Pendidikan 20 Persen dari APBN Hasilnya Tak Memuaskan...", https://money.kompas.com/read/2019/08/09/162702626/sri-mulyani-anggaran-pendidikan-20-persen-dari-apbn-hasilnya-tak-memuaskan.


[24] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Keadilan Sosial, (Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2018), hal 285-286.
[26] Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Standar Nasional Pendidikan terdiri dari :
  • Standar Kompetensi Lulusan
  • Standar Isi
  • Standar Proses
  • Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
  • Standar Sarana dan Prasarana
  • Standar Pengelolaan
  • Standar Pembiayaan Pendidikan
  • Standar Penilaian Pendidikan
Fungsi dan Tujuan Standar :
  • Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu
  • Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
  • Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
http://bsnp-indonesia.org/standar-nasional-pendidikan/, diakses pada tanggal 21 November 2019.
[27] Pendanaan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama anatara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Pasal 2 ayat (1) PP No. 48 Tahun 2008. https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/PP48-2008DanaDik.pdf, diakses pada tanggal 21 November 2019.
[28] Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melaluimata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. 2. Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.  Pasal 1 angka 1 dan 2 PP No. 55 Tahun 2007. https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/PP_55_2007-Pendidikan-Agama-Keagamaan.pdf, diakses pada tanggal 21 November 2019.
[30] https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Klaten, diakses pada tanggal 21 November 2019.
[31] http://eprints.ums.ac.id/57327/3/BAB%20I.pdf, diakses pada tanggal 21 November 2019.
[32] Jorge Correa S, Dealing With Past Human Rights Violations: The Chilean Case After Dictatorship, Notre Dame Law Review (Vol. 67, No. 5, 1992), hal 73.
[33] Timothy Scully and Alejandro Ferreiro Y, Chile Recovers Its Democratic Past: Democratization by Installment, Journal of Legislation (Vol. 18, No. 2, 1992, hal 122.
[34] William H. Rehnquiest, The Supreme Court: How It Was, How It Is, (New York: William Morrow, 1989), hal 16.
[35] Leslie Zines, The High Court and The Constitutions, (Sydney:Butterworths, 1997), hal 496.
[36] M.P.Jain, Administrative Law of Malaysia and Singapore (Kuala Lumpur: Malayan Law Journal Pte. Ltd., 1989), hal 20.
[37] Du Xichuan and Zhang Lingyuan, China’s Legal System: A General Survey, (Beijing: New World Press, 1990), hal. 58.
[38] Peter M. broody, The First Amandement, Governmental Cencorship, and Sponsored Research, The Journal of College and University Law (Vol. 19, No. 3, Winter 1998), hal 184.
[39] Geofrey Lindell, ed, Future Directions in Australian Constitutional Law (Canberra: The federation Press, 1994), hal 155.
[40] Clive Napier, Africa’s Constitutional Renaissances? Stocktaking in the 90’s, Africa dialogue (Monograph Series No. 1, 2000), hal 231.
[41] Richard A. Posner, The Problem of Jurisprudence (Cambridge: Harvard University Press, 1990), hal 291.
[42] Stewart Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey, eds, Law & Society: Readings on the social study of law (New York: W.W. Norton & Company, 1955), hal 340.

Tidak ada komentar: