BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi selalu
menarik untuk diperbincangkan terutama
pada saat sebuah negara sedang mengalami masa transisi menuju demokrasi
yang lebih sesuai dengan aspirasi
seluruh rakyat Indonesia terutama setelah saya membuat tugas Ringkasan Dan
Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia[1]
mulai dipahami bahwa setiap negara yang telah melewati pemerintahan otoritarian
dan memulai pemerintahan dengan sistem demokrasi akan melalui suatu fase
transisi. Suatu fase yang sedang dilalui oleh Indonesia setelah reformasi.
Satu hal yang menarik
perhatian adalah bahwa isu tentang hak asasi manusia[2]
ternyata menjadi salah satu akar permasalaan yang menyebabkan sekelompok
manusia yang bergabung dalam suatu masyarakat atau negara dimana pada negara
tersebut dipimpin oleh rezim yang otoriter akhirnya memutuskan untuk melepaskan
negara mereka dari pemerintahan otoriter tersebut menjadi sebuah pemerintahan
yang lebih demokratis. Saya sebut sebagai lebih demokratis karena masa transisi
menuju demokratis itu bukan berarti pemerintahan tesebut sudah demokratis. Seperti
yang terjadi di Indonesia sejak masa reformasi untuk berlepas diri dari
pemerintahan orde baru yang dipandang otoriter. Hak asasi manusia bagi bangsa
Indonesia untuk bebas berekspresi, untuk bebas beroranisasi dan berkelompok,
bebas menyatakan pendapat. Ketika masa orde baru dianggap hal tersebut kurang
diakomodir di Indonesia.[3]
Tapi ternyata setelah reformasi pun, setelah Indonesia berganti rezim, setelah
Indonesia merubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setelah adanya sistem
pemilihan Presiden secara langsung sejak tahun 2004[4]
yang dianggap lebih demokratis, Indonesia tetap mengalami beberapa
ketidakpuasan dari warga negara menyangkut siapa yang akhirnya terpilih sebagai
Pesiden.
Secara teori
ketatanegaraan, suatu negara sebaiknya melaksanakan sistem pemerintahan yang menyangkut
dalam hal hak asasi manusia, demokrasi, perwujudan negara hukum, konstitusi,
peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim. Sedangkan apabila ada yang
belum sesuai maka hal itu dipandang sebagai masa transisi ataupun suatu
fenomena yang mungkin membawa suatu perubahan yang baik atau buruk bagi sistem
ketatanegaraan suatu bangsa.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana
teori ketatanegaraan dalam memberikan petunjuk jalan bagi suatu negara dalam
melaksanakan sistem pemerintahan terutama pada masa transisi terkait dengan hak
asasi manusia, demokrasi, pelaksanaan
Konsitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim?
C. Tujuan Penulisan
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai
teori-teori kenegaraan terkait dengan hak asasi manusia, demokrasi, pelaksanaan
Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim sehingga dapat
memberi konstruksi pemikiran yang baik dalam menganalisa suatu kejadian
ketatanegaraan terutama pada masa transisi menuju demokrasi.
D. Kerangka Teoritis
1. Teori hukum alam dari John Locke :
Men being, as has been said, by nature all free, equal, and
independent, no one can be put out of this estate and subjected to the
political power of another without his own consent.[5]
Dalam
tulisan ini dipilih teori hukum alam dari John Locke karena untuk mendapatkan
pemahaman mengenai teori-teori kenegaraan dalam hal hak asasi manusia dan
demokrasi teori ini memberikan suatu pemahaman awal bahwa manusia tidak bisa
dipaksakan untuk ikut dalam politik tertentu tanpa ada persetujuannya karena
pada dasarnya manusia itu bebas, sama dan merdeka.
2. Teori Stufenbau (teori mengenai sistem
hukum) dari Hans Kelsen:
Sistem hukum merupakan sistem anak tangga
dengan kaidah berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus
berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi
(seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar
(grundnorm).[6]
Dalam
tulisan ini dipilih teori stufenbau (teori mengenai sistem hukum) dari Hans
Kelsen karena teori ini memberikan pemahaman awal yang baik dalam pelaksanaan
Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan Keputusan Hakim. Bahwa seluruh
aturan tersebut harus berpegang pada norma hukum yang paling mendasar
(grundnorm).
E. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Kerangka Teoritis
E. Sistematika Penulisan
BAB II Pembahasan
A. Hak Asasi Manusia
B. Demokrasi
C. Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan
dan Putusan Hakim
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hak Asasi Manusia
Men being, as has
been said, by nature all free, equal, and independent, no one can be put out of
this estate and subjected to the political power of another without his own
consent.[7]
Merupakan kalimat indah dari seorang John Locke yang merupakan inti dari hak
asasi manusia yang dimiliki oleh semua manusia di dunia ini. Manusia itu pada
dasarnya secara alamiah adalah makhluk yang bebas, mempunyai kedudukan yang
sama, dan merdeka. Tidak seorang pun dapat menetapkannya dalam suatu kekuasaan
ataupun politik tanpa persetujuannya. Pembahasan mengenai hak asasi manusia
selalu menarik untuk dibahas karena dengan hak inilah akhirnya setiap manusia
dapat hidup dengan aman dan sentausa di dunia.
Selanjutnya apabila manusia itu sesungguhnya
hidup bebas, sama, dan merdeka lalu mengapa di dunia ini manusia mau bergabung
dengan orang lain. Apabila kita melihat nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam
yang diciptakan pertama kali oleh Allah SWT pada akhirnya Nabi Adam pun diberikan
pasangan dari sesama manusia, Allah SWT menciptakan Hawa sebagai istri Nabi
Adam.[8] Itu
menandakan bahwa manusia itu secara alamiah adalah makhluk sosial yang meskipun
seorang manusia itu bebas tetapi manusia suka hidup bersama dengan manusia
lain.
Manusia secara
alamiah bersatu dengan manusia lainnya dalam suatu komunitas seperti suatu
perkumpulan yang terkecil yaitu keluarga. Bisa kita katakan bahwa keluarga
adalah tempat seorang mulai hidup, terdiri dari seorang ayah, ibu, anak. Terkait
hal ini John Locke memberikan perumpamaan keluarga adalah sebagai suatu sistem
monarki. Contoh pemerintahan
pertama adalah keluarga. Dengan ayah sebagai pemimpin keluarga, ibu dan anak mengikutinya.
Ayah mengeluarkan aturan-aturan hidup. Ayah diberikan ruang untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di dalam keluarga dan keluarga memberikan otoritas kepada
ayah untuk melakukan hal tersebut. Seorang ayah tentunya memimpin keluarganya dengan
cinta dan kasih sayang, dengan latihan dengan perhatian dan keahlian yang
membuat keluarganya tumbuh dengan lingkungan yang bahagia, perpolitikan keluarga yang bahagia.[9] Beda
dengan suatu keluarga dengan ayah yang otoriter yang memaksakan apapun yang
menjadi kehendaknya dengan sewenang-wenang, tanpa mempertimbangkan kebutuhan
keluarganya, tanpa anggota keluarga bisa diberikan contoh kebaikan dan
kesempatan untuk mengeluarkan pikirannya.[10]
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat,
secara formal dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara
Amerika Juli 1776 dalam Piagam Bill of Rights:
“...we should these truths to be selfevident;
that all men are created equal; that they are endowed by their creator with
certain inalienable rights, liberty and the pursuit of happiness.” (Maurice
Cranston, 1983:3).[11]
Lalu apabila ada potensi suatu komunitas,
dimana seorang manusia bergabung di dalamnya baik keluarga, masyarakat maupun
negara, menjadi tidak baik dalam hal ini otoriter lalu mengapa seorang manusia
tetap ingin bergabung dengan suatu komunitas, mengapa ia tidak hidup sendiri
saja, masing-masing, sehingga tidak konflik yang terjadi dengan manusia
lain. Tetapi bertolak belakang dengan
pertanyaan tersebut pada kenyataannya setiap manusia juga memiliki hak untuk
mendapatkan rasa aman baik terhadap dirinya maupun hartanya. Dalam sebuah
masyarakat maka seseorang akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat
tersebut. [12]
Jadi inilah yang disebut bahwa hak asasi
manusia itu sangat bergantung juga dengan manusia lainnya. Negara Indonesia
adalah negara yang mengandung persatuan antara rakyat dan pimpinannya, persis
seperti yang dimaksud oleh Soepomo dengan teori integralistiknya.[13] Hal ini menurut Soekarno dan Soepomo. Dengan
ini corak Indonesia sangat kolektivistik dan cenderung mengabaikan
individualistik. Sementara Hatta-Yamin meskipun menerima kolektivisme, tetapi
mengharuskan adanya imbangan unsur individualisme paham HAM.[14] Hal tersebut menjadi
pembahasan apakah perlu memasukkan hal hak asasi manusia dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945.[15] Ada dua pandangan yang
berbeda antara Soekarno dan Soepomo dengan Hatta dan Yamin. Pandangan Soekarno
dan Soepomo menunjukkan bahwa tidak perlu diatur hak asasi manusia, bahwa
Indonesia sangatlah kolektivisme cenderung mengabaikan individualistik.
Sedangkan Hatta dan Yamin meskipun sama pandangannya bahwa Indonesia bersifat
kolektivisme tetapi tetap harus ada unsur hak asasi manusia di dalamnya.
Sebenarnya permasalahan tersebut akhirnya
terjawab dengan pandangan John Locke meskipun manusia adalah makhluk bebas,
sama, dan merdeka (individualistik) tetapi tetap membutuhkan untuk bergabung
dalam masyarakat karena faktor keamanan, yang sesungguhnya juga merupakan hak
asasi manusia, bagi dirinya dan hartanya. Selain itu manusia membutuhkan
otoritas untuk menyatakan yang mana yang benar dan yang mana yang salah apabila
seorang manusia memiliki konflik[16] dengan manusia lain,
untuk itu diperlukan pemimpin dalam hal ini sistem pemerintahan. Sistem
pemerintahan seperti apa yang mendukung hak asasi manusia, tentulah suatu
sistem pemerintahan yang melindungi hak asasi manusia dari warga negaranya,
sistem yang disebut sebagai demokrasi. Demokrasi akan dibahas pada bahasan
berikutnya dari tulisan ini. Demokrasi yang sering diartikan sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem yang menjunjung
rakyat untuk ikut serta mendukung dan memberikan hak suaranya dalam pemilihan
umum untuk memilih wakil rakyat.
B. Demokrasi
Dalam banyak literatur disebutkan bahwa
demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Demokrasi tidak hanya pemerintahan
oleh rakyat tapi juga, dalam formula Presiden Abraham Lincoln, sebagai
pemerintahan untuk rakyat. Pemerintahan demokrasi yang ideal haruslah selalu
memiliki komunikasi yang baik dengan seluruh rakyat.[17]
Dalam sebuah negara yang menerapkan
demokrasi dengan baik yang utama adalah adanya partisipasi rakyat untuk
memberikan suaranya terhadap jalannya pemerintahan. Rakyat tidak dibungkam
suaranya, tidak diarahkan ke dalam pusaran tertentu dari keinginan pemerintah.
Harus ada informasi yang terbuka di negara tersebut. Dan adanya kesempatan
rakyat terbuka dan bebas melaksanakan pemilihan umum. Hak asasi manusia diberikan
pada negara demokrasi.
Robert A. Dahl menjelaskan bahwa
demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung 8 hal sebagai berikut[18]:
1.
Kebebasan untuk bersama dan bergabung
dalam organisasi;
2.
Kebebasan untuk berekspresi;
3.
Hak untuk memilih;
4.
Kelayakan untuk organisasi publik;
5.
Hak bagi pemimpin politik untuk
berkompetisi untuk mendapatkan dukungan dan pemilih;
6.
Banyak alternatif sumber informasi;
7.
Pemilihan yang jujur dan bebas;
8.
Institusi untuk membuat kebijakan
pemerintahan tergantung dari pilihan dan pilihan yang lain.
Tapi ternyata
demokrasi pun ada banyak modelnya, tergantung dari bagaimana corak dan
keragaman dari warga negara. Arend Lijphart[19]
membagi model demokrasi menjadi dua yaitu majoritarian dan consensus model.
Keduanya meupakan prescriptive model tapi saat sekarang disebut juga empirical
model. Majoritarian model cocok diterapkan pada negara yang masyarakatnya
homogen misalnya Inggris dan New Zealand, sedangkan consensus model cocok
diterapkan pada negara yang masyarakatnya plural misalnya Switzerland dan
Belgia. Keempat negara tersebut secara empiris mewakili. Mengenai dua model
demokrasi ini, saya rangkum dalam tabel berikut ini:
Tabel 1
Subjek
|
Majoritarian Model
|
Consensus Model
|
Konsenterasi Kekuasaan Eksekutif
|
1 partai dan kabinet dengan mayoritas
|
koalisi besar
|
Sistem pemerintahan
|
parlementer
|
presidensial
|
Kamar di Parlemen
|
assismetris
|
dua kamar
|
Sistem partai
|
dua partai
|
multi partai
|
Dimensi partai
|
satu dimensi
|
multi dimensi
|
Sistem pemilihan
|
plural
|
proposional
|
Pemerintahan
|
terpusat
|
desentralisasi dan ada negara bagian
|
Konstitusi
|
tidak tertulis
|
Tertulis
|
Demokratis atau
tidaknya suatu negara bukan dilihat dari apakah negara tersebut menerapkan
sistem kerajaan atau tidak, sebagaimana Inggris yang meskipun negara kerajan
(monarki)[20] tapi
menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahan. Adanya pemilihan umum untuk
memilih wakil rakyat di parlemen membuktikannya. Inggris dengan masyarakatnya
yang homogen bisa diterapkan sistem majoritarian demokrasi, hanya partai dengan
pemilih mayoritas saja yang bisa menduduki parlemen, hanya dua partai.
Partai-partai kecil yang minoritas tidak diberikan kursi untuk duduk di
parlemen. Berbeda dengan Switzerland dan Belgia yang menerapkan consensus
demokrasi sehingga partai diberikan proporsi kursinya masing-masing di
parlemen. Partai mayoritas dan minoritas tetap mendapat kursi di parlemen. Hal
tersebut tentunya berpengaruh terhadap demokrasi politik yang terjadi pada
negara-negara tersebut.
Prof. C.F. Strong[21]
dalam memberikan pengertiannya mengenai “demokrasi politik” ia menggariskan
tiga kriteria:
1.
Kebebasan untuk menyatakan pendapat dalam
pemilihan umum;
2.
Kebebasan mimbar;
3.
Kebebasan pers.
Menarik untuk
memperbincangkan juga mengenai kebebasan pers, apalagi jika diakitkan dengan era
internet 4.0. dimana kebebasan informasi benar-benar terjadi, lintas tempat,
lintas budaya, lintas ideologi. Indonesia yang menganut demokrasi pancasila
tentu harus berjuang keras agar demokrasi pancasila tetap terwujud dalam
sendi-sendi kehidupan bangsa.
Seperti yang dijelaskan
dalam makalah Ringkasan dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi
Politik di Indonesia[22]
hal 97-246 bahwa permasalahan demokrasi di Indonesia pada jaman orde baru bukan
karena hak asasi manusia tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945[23]
(saya mengkhususkan pembahasan pada era orde baru yang sudah berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945, mengenai UUD RIS dan UUDS 1950 mungkin akan saya kaji
terpisah dalam makalah lainnya), secara tersirat Undang-Undang Dasar 1945
mengatur mengenai hak asasi manusia dan jelas-jelas bahwa Indonesia menganut
sistem demokrasi. Tetapi dalam pelaksanaan terlihat seperti otoriter lebih
karena tidak ada perwujudan negara hukum yang benar-benar menjelma dalam
kenyataan. Perwujudan negara hukum yang seharusnya membuat setiap warga negara
sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Masih adanya dwi fungsi ABRI
yang ternyata tidak sesuai dengan pengertian pada Undang-Undang Dasar 1945.[24]
Perwujudan
negara hukum[25]
menjadi sebuah harapan yang sangat besar dari suatu sistem kenegaraan sebab
ibarat bangunan maka hukum adalah kerangka yang akan membuat bangunan menjadi
kokoh berdiri, ia ibarat rangka yang menopang agar bangunan tidak roboh. Namun
seperti apakah perwujudan negara hukum yang diharapkan bisa memberi kerangka
yang baik bagi perwujudan demokrasi, ataukah justru demokrasi yang membuat
hukum mampu berdiri dengan tegak. Keduanya saling menopang dan akhirnya membuat
hak asasi manusia dapat terwujud dalam seluruh lingkup kehidupan.
C. Konstitusi, Peraturan Perundang-undangan
dan Keputusan Hakim
Konstitusi[26]
sebagai pokok haluan dalam bernegara. Dua jenis konstitusi yang ada di dunia
ini adalah konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tidak
tertulis hanya terdapat di tiga negara yaitu Inggris, New Zealand dan Israel.
Perubahan konstitusi dilaksanakan dengan berbagai cara pada negara-negara di
dunia ini. Tapi secara garis besar dengan special
majorities, popular referendum, regular parliamentary majority. Perubahan
konstitusi dengan special majorities
dilaksanakan oleh negara-negara dengan sistem demokrasi consensus. Biasanya dengan melaksanakan voting 2/3 suara parlemen. Popular Referendum biasanya merupakan
alat dari partai mayoritas di parlemen untuk memperoleh dukungan rakyat. Regular Parliamentary Majority biasanya
dilaksanakan negara-negara dengan konstitusi tidak tertulis, sehingga setiap
melaksanakan sesuatu hal yang membutuhkan hal baru terhadap konstitusi yang
tidak tertulis tersebut maka diadakan pemungutan suara.[27]
Konstitusi adalah dokumen tertulis yang
menggambarkan kekuasaan parlemen, pemerintahan dan kehakiman. Menggambarkan
hak-hak dasar dari tiga kekuasaan tersebut. Juga ada tata cara perubahan
konstitusi.[28] Jadi
menggambarkan juga pemisahan kekuasaan.[29]
Sementara itu di bawah konstitusi berlaku
aturan-aturan di bawah konstitusi yang tidak boleh bertentangan dengan
konstitusi. Apabila aturan di bawahnya bertentangan dengan aturan di atasnya
maka itu berarti tidak tepat.[30]
Teori Stufenbau (teori mengenai sistem
hukum) dari Hans Kelsen:
Sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang
di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang
lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus
berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar[31]
(grundnorm).
Judicial review[32] menjadi salah
satu bagian dari pelaksanaan kenegaraan namun ternyata ada juga negara di dunia
tidak menjalankan judicial review
cukup dengan parlemen review, contohnya Republik IV Prancis, namun akhirnya
setelah perubahan konstitusinya mengatur keberadaan kekuasaan judicial dan
mengakomodir judicial review. Kasus yang fenomenal lain Marbury Vs. Madison merupakan contoh judicial review
di Amerika.[33]
Hal yang menjadi perbincangan hangat pada negara
transisi menuju demokrasi adalah apakah dengan adanya konstitusi di suatu
negara maka sistem demokrasi akan berjalan, atau justru mengikat. Semisal
Indonesia dengan wacana baru-baru ini ingin mengamandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara seperti Inggris[34]
yang tidak memiliki konstitusi, atau negara fedeal Amerika, Konstiusi di Uni
Eropa, dengan negara Jerman.[35]
Bagaimana kehidupan bernegara mereka yang tentunya sudah lebih ideal dalam
melaksanakan demokrasi.
Konstitusi
sebagai alat bargaining.[36]Ketika
pihak mayoritas akhirnya haruslah mengakomodir pihak minoritas. Terutama pada
negara dengan sistem demokrasi consensus.
Gag Rules juga diperlukan sebagai
kesepakatan awal parlemen. Konstitusi tidak betentangan dengan demokrasi
terutama untuk membatasi agar tidak ada kebebasan politik yang tanpa arah yang
akhinya menghancurkan kesejahteraan warga negara. Hak asasi manusia juga
akhirnya terlindungi dengan adanya konsitusi dimana di awal bab sudah
dijelaskan bahwa setiap adanya hak asasi manusia maka ada keinginan juga dari
individu untuk telindungi hak keamanan tehadap diri dan hartanya. Konstitusi
membingkai itu semua.[37]
Ada Tiga pembagian hukum di negara yang sedang
menjalani transisi yaitu repressive law,
autonomous law, responsive law.[38]
Dari ketiga jenis itu biasanya menggunakan responsive
law. Karena pada negara transisi seperti Indonesia biasanya legislature membuat Undang-Undang
berdasarkan permintaan masyarakat bukan kebutuhan. Berdasarkan politik.
Berangsur diharapkan bisa berubah menjadi autonomous law dimana dalam membuat
Undang-Undang sesuai kebutuhan dan terhindar dari keinginan politik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada negara-negara dalam masa transisi
menuju demokrasi pada akhirnya diperlukan hal-hal yang penting untuk
mendapatkan pemahaman mengenai teori-teori kenegaraan terkait dengan hak asasi
manusia, demokrasi, pelaksanaan Konstitusi, Peraturan Perundang-Undangan, dan
Keputusan Hakim sehingga dapat memberi konstruksi pemikiran yang baik dalam
menganalisa suatu kejadian ketatanegaraan terutama pada masa transisi. Indonesia
untuk saat ini sedang menjalani proses menuju demokrasi.
Sistem demokrasi
seperti apa yang dipilih dalam suatu negara sangat tergantung dari keberagaman
individu di negara tersebut, apakah negara yang sangat plural atau homogen. Begitupun
dalam hal konstitusi apakah mau dipilih konstitusi tertulis ataupun tidak
tertulis sangat tergantung dari apa sistem demokrasi yang dipilih dan itu
berdasarkan keragaman yang ada di negara tersebut. Begitupun dalam hal
perubahan konstitusi. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan konstitusi. Keikutrsertaan Judicial review juga menjadi hal yang
merupakan kesepakatan bersama dalam suatu negara.
Bahwa hak asasi
manusia dan konstitusi tidaklah bertentangan dengan demokrasi justru hak asasi
manusia dan konstitusi sebagai alat untuk menunjang terbentuknya demokrasi di
negara pada masa transisi. Hak asasi
manusia menjadi kesepakatan ketika suatu negara memutuskan untuk merubah
pemerintahan dari pemerintahan otoriter menjadi pemerintahan yang lebih
demokratis. Hanya pada akhirnya transisi menuju demokratis adalah kepastian yang
harus dijlani setiap negara yang sedang menjalaninya.
B. Saran
1. Diperlukan kesepakatan dan kesepahaman
semua pihak dari mulai legislatif, eksekutif maupun judikatifmengenai apa yang
diharapkan dari terbentuknya negara demokratis;
2. Setiap warga negara diberikan pendidikan
mengenai transisi menuju negara demokratis, sehingga dibentuk pemahaman bahwa
hak asasi manusia dalam negara demokratis tidak dikekang, tetapi hak asasi
manusia juga punya batasan. Karena sesungguhnya dengan bergabung dengan
suatu negara setiap individu sedang menjaga hak asasi manusia berupa keamanan
individu dan hartanya;
[1] Lihat Satya Arinanto, Hak
Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: FHUI: 2018).
[2] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi
Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta:
Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[3] Lihat Kristian
Erdianto, Kontras Paparkan 10 Kasus
Pelanggaran HAM yang Diduga Melibatkan Soeharto,https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Paparkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?page=all, 8 Oktober 2019.
[4] Puteri Anggun Amirillis, Skripsi Sarjana Hukum, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Negara Republik Indonesia
Pada Tahun 2004, (Depok: Universitas Indonesia, 2005).
[5] Lihat John Locke, The Second Treatise of Government Edited
with an introduction by Thomas P.Peardon, (Newyork: The Library of Liberal
Art), hal 3. Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta:
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[6] Lihat Hans Kelsen, General Theory of Law and State Translated
by Anders Wedberg, (Newyork: Russell & Russell, 1961). Lihat juga Satya
Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[7] John Locke, Op.cit
[8] Qs. Al Baqarah: 35.
[9] John Locke, Op.cit, hal 8-9.
[10]SyafrinaSyaaf,https://lifestyle.kompas.com/read/2013/12/11/1933300/Orangtua.Otoriter.Hasilkan.Anak.Pecundang, 13 Okober 2019
[11] Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam
Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta: Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[12] John Lock, Op.cit, hal 19.
[13] Lihat Floriberta Aning,
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Lahirnya Pancasila:
Kumpulan Pidato BPUPKI, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006).
[14]
Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve:1994), hal
68-69.
[15] Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
[16] Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konflik, 13 Oktober 2019.
[17] Arend Lijphart, Patterns of Majoritarian and Consensus
Government in Twenty One Countries, (London: Yale Univesity Press). Lihat
juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[18] Lihat Robert A.Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition
(New Haven: Yale University Press, 1971). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2,
(Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[19] Lihat Arend Lijphart, Op.cit
[20] John Locke, Op.cit, hal 22
[21] C.F. Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative
Study of Their History and Existing Form (London: Sidqwick & Jackson
Limited, 1963), hal. 13. Lihat juga Satya Arinanto, Demokrasi Berdasarkan Konstitusi: Mungkinkah Terjelma di Dalam Realita?,
Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 23, Nomor 3, Tahun
1993, hal 214.
[22] Puteri Anggun Amirillis, Tugas Mata Kuliah Politik Hukum: Ringkasan
dan Tanggapan Buku Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia,
(Jakarta:Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, 2019), hal. 23
[23] Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan
Universitas Indonesia, Volume 22, Nomor 3, Tahun 1992, hal 1.
[24] Satya Arinanto, Op.cit, hal
[25]
Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di
Indonesia. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal 53-55
mengemukakan bahwa A.V Dicey dalam bukunya yang berjudul Introduction to The
Study of The Law of The Constitution, mengemukakan 3 unsur dari Rule of Law,
yaitu:
a. Supremacy of Law;
b. Equality before the law;
c. Constitution based on Individual Rights.
[26] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dkk, Teori
dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2017, hal
1-2.Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian
tentang ruang lingkup paham kostitusi terdiri dari:
a. Anatomi kekuasaan tunduk pada hukum;
b. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
c. Peradilan yang bebas dan mandiri;
d. Pertanggungjawaban kepada rakyat sebagai sendi utama dari asas
kedaulatan rakyat.
[27] Lihat Arend Lijphart, Op.cit, hal 71-74.
[28] Eric Barendt, An Introduction To Constitutional Law, Clarendon Law
Series, hal 107. Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1,
(Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[29] Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 22,
Nomor 3, Tahun 1992, hal 29.
[30]RWM Dias, Jurisprudence, Fifth Edition,
(London: Butterworhts, 1985). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik
Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[31] Indonesia, Pancasila
[32] Author, https://www.indonesia.go.id/layanan/kependudukan/ekonomi/judicial-review-ke-mahkamah-konstitusi, 17 Oktober 2019.
[33] Mustafa Fachry, Bahan Ajar Peradilan
Konstitusi,(Jakarta: Pasca Sajana FHUI, 2019)
[34] Eric Barendt, Op.cit, hal
132-156.
[35] Donnald P. Kommers, German
Konsituionalism: A Prolegomenon, Emory Law Journal, Vol. 40, No. 3, Summer
1991, hal 837-873
[36] Stephen Holmes, Gag Rules on The Politics of Omission on
Constitutionalism and Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press).
Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
[37] Lihat Cass R. Sunstein, Constitutions and Democracies: an
Epilogue, on The Politics of Omission on Constitutionalism and Democracy,
(Cambridge: Cambridge University Press). Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar
Politik Hukum 1, (Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2018).
[38] Philippe Nonet dan Philip Selzaick, Law and Society in Transition
Toward Responsive Law, Lihat juga Satya Arinanto, Bahan ajar Politik Hukum 2,
(Jakarta: Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar