BAB II
HAK ASASI MANUSIA DALAM TRANSISI POLITIK
B. Transisi
Politik Menuju Demokrasi
1.
Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Kemunculan Negara-Negara Demokrasi Baru
Semenjak tahun 1970-an,
telah terdapat gelombang pasang yang nyata dari demokrasi-demokrasi baru yang
masa lalunya bersifat otoriter dan totaliter. Dalam mendefinisikan suatu visi
tentang masa depan bagi penduduknya, bagaimanapun mereka harus berekonsiliasi
dengan warisan masa lalunya yang berupa pelanggaran-pelanggaran HAM yang
ditinggalkan oleh rezim otoriternya yang baru berlalu. Menurut Samuel P.
Huntington, dalam dua (hingga tiga) decade terakhir ini, kita melihat
terjadinya revolusi politik yang luar biasa dimana transisi dari otoriarinisme
menuju demokrasi telah terjadi di lebih 40 negara. Dalam beberapa kasus,
termasuk di berbagai rezim militer, kelompok reformis menguat di dalam rezim
otoriter dan mengambil inisiatif untuk mendorong transisi. Dalam kasus lainnya,
transisi ini muncul dari negosiasi antara pemerintah dengan kelompok oposisi.
Dan ada yang lahir dari digusurnya atau ambruknya rezim ototitarian. Dalam
kasus yang sangat sedikit, ada intervensi Amerika Serikat dalam menjatuhkan kediktatoran
dan menggantikannya dengan rezim yang dipilih rakyat.
Dalam pandangan Anthony
Giddens, dalam semua upaya pembaruan politik, pertanyaan mengenai siapa subyek
atau pelaku politik muncul dengan sendirinya. Jika program politik yang koheren
bisa disusun, bagaimana penerapannya? Partai-partai demokrasi social pada
awalnya muncul sebagai gerakan-gerakan social pada akhir abad kesembilan belas
dan awal abad kedua puluh. Neoliberalisme melancarkan kritik berkepanjangan
mengenai peran pemerintah dalam kehidupan sosial dan ekonomi, kritik yang
tampaknya menggemakan kecenderungan-kecenderungan dalam dunia nyata.
Dalam perspektif hukum tata negara, kecenderungan yang
keempat telah pula menimbulkan diskursus tentang memudarnya batas-batas antar
negara, yang kemudian cenderung membentuk suatu “bangsa tanpa negara.” Wacana
mengenai rezim otoritarian juga terkait erat dengan terminologi totaliterisme. Negara totaliter bukan
hanya sekedar mengontrol kehidupan masyarakat dengan ketat dan mempertahankan
dengan tegas kekuasaan sebuah elit politik kecil yang despotic, ia bukan juga
rezim seorang dictator yang haus kuasa. Dengan demikian negara totaliter adalah
sebuah sistem politik yang dengan melebihi bentuk-bentuk kenegaraan despotic
tradisional, secara menyeluruh mengontrol, menguasai, dan memobilisasikan
segala segi kehidupan masyarakat.
Dua
rezim totaliter yang paling kondang abad ini, yang dibahas oleh Arendt dalam
bukunya, adalah pemerintahan Nasional-sosialisme (“Nazi”) di bawah kekuasaan
Adolf Hitler (1933-1945) di Jerman dan dalam kekuasaan Bolshevisme Soviet di
bawah Jossif W. Stalin (1922-1953), yang kemudian menyebar dengan intensitas
yang berbeda-beda ke negara-negara komunis lainnya di Eropa Timur (akibat
Perang Dunia II), serta di Cina, Korea Utara, dan Indocina.
Magnis Suseno menyimpulkan bahwa Arendt
termasuk orang pertama yang mengarahkan perhatian pada kesamaan dua rezim yang
perbedaannya hanya di permukaan. Untuk itu, ia memakai istilah totaliterisme. Tesis Arendt bahwa
Bolshevisme dan Nasional-sosialisme pada hakekatnya merupakan bentuk
totaliterisme, bersifat skunder kemudian diserang dengan tajam oleh kelompok
Kiri Baru. Mereka melihat Stalinisme sebagai sosialisme yang tergelincir, sedangkan
Nazisme difahami sebagai fasisme, dan fasisme sendiri sekedar sebagai fasisme,
dan fasisme sendiri sekedar sebagai perkembangan ekstrem kapitalisme.
Sehubungan dengan pernyataan Lowenthal
bahwa rezim-rezim otoritarian tidak dapat disamakan satu sama lain dari
berbagai kasus, muncul beberapa hal yang layak dikemukakan secara khusus dalam
bagian ini. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa walaupun factor-faktor
internasional mungkin mengkondisi dan mempengaruhi jalannya transisi, namun
para partisipan utama dan pengaruh-pengaruh dominan dalam setiap kasus tetap
berasal dari dalam negeri. Mereka juga memperlihatkan pentingnya
lembaga-lembaga, prosedur-prosedur dan forum-forum yang membantu melegitimasi
para penguasa diskursus politik dalam masa transisi politik. Kasus-kasus
tersebut menggambarkan arti penting dari kepemimpinan dan pertimbangan politis,
dan pentingnya peran individu-individu dalam proses-proses historis yang
kompleks. Ada pola-pola yang bisa diramalkan tentang bagaimana cara rezim sebelumnya
runtuh, oleh sifat dan lamanya periode otoritarian, oleh sarana yang dipakai
rezim otoritarian untuk memperoleh legitimasi dan untuk menangani
ancaman-ancaman pada kekuasaannya.
2. Reposisi Hubungan Sipil-Militer
Menurut
Huntington, sesungguhnya semua rezim otoritarian mempunyai kesamaan
dalam satu hal: hubungan sipil, militer mereka tidak begitu diperhatikan. Tidak
ada sitilah control sipil obyektif. Istilah ini mengandung hal-hal sebagai
berikut:
a. profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari
pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka;
b. subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin
politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer;
c. pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik
tersebut atas kewenangan professional dan otonomi bagi militer dan akibatnya;
d. minimalisasi intervensi militer dalam politik dan
minimalisasi intervensi politik dalam militer.
Dalam kediktatoran
personal, penguasa melakukan apa saja untuk memastikan bahwa militer disusupi
dan dikontrol oleh kaki tangan dan kroni-kroninya. Dalam pemerintahan satu
partai, hubungan sipil dan militer tidak begitu berantakan karena militer
sebagai instrumen partai.
Negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan serius untuk
mereformasi hubungan sipil-militer, negara-negara tersebut juga harus membangun
kekuasaan di wilayah public, merancang konstitusi baru, menciptakan sistem
kompetisi partai dan institusi-institusi demokrasi lainnya, liberalisasi,
privatisasi, dan bergerak ke arah ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi pasar, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menahan laju insflasi
dan pengangguran, mengurangi defisit anggaran, membatasi kejahatan dan korupsi,
serta mengurangi ketegangan dan konflik antaretnis dan kelompok agama.
Dalam negara-negara
maju seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat, pemetaan kedua fungsi militer
dan sipil sudah berjalan seimbang. Masing-masing bisa berperan sesuai dengan
fungsinya, tidak tumpeng tindih dan intervensi. Kalaupun ada pengaruh, maka
sipil mempengaruhi militer dan bukan sebaliknya. Karena yang berjalan adalah
prinsip supremasi sipil, maka kebijakan politik yang ditempuh dan dijalankan
pemerintah sipil berpengaruh pada langkah-langkah yang harus ditempuh militer.
3. Perumusan
Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan Hubungan Dengan Rezim Sebelumnya
Di Spanyol, dan sekurang-kurangnya dalam konteks tertentu
di Polandia, rezim-rezim demokrasi baru telah mencari suatu kebijakan untuk
menjadikan mereka sebagai suatu “negara bersih”, yakni, pencarian untuk
mengubur masa lalunya dan untuk mendahulukan segala bentuk pertanggungjawaban
terhadap masalah tersebut.
Pengadilan
sering dijadikan alat untuk kepentingan politik karena itu harus diasumsikan
untuk kepentingan suatu pendapat bahwa segala tuntutan untuk
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan yang dilakukan
oleh para dictator sebelumnya harus dilakukan di bawah kondisi-kondisi
legitimasi yang ketat, dan didasarkan pada penghormatan terhadap aturan-aturan
hukum. Hasil-hasil penelitian tersebut juga menunjukkan pula adanya suatu
argument dari perspektif politik, hukum dan moral yang kuat yang dibuat bagi
peran pengadilan-pengadilan pidana dalam menetapkan landasan bagi suatu tata demokrasi
yang sungguh-sungguh direnovasi.
4. Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan
dengan Militer
Tradisi politik dari negara-negara yang pernah
diteliti antara lain menunjukkan adanya kecenderungan untuk terjadinya
pengulangan kejadian oleh para politisi sipil yang menolak untuk menerima
ketidakpastian dari proses demokrasi dan kemudian meminta bantuan kepada pihak
militer untuk memberikan “alternative-alternatif penyelesaian”, dengan cara
menyamarkan dirinya di balik penyuaraan harapan tentang pentingnya pengutamaan
kepentingan nasional. Kenyataan yang ada di berbagai kasus menunjukkan bahwa
pihak militer tidak akan melakukan intervensi jika tidak ada dukungan dari
pihak sipil. Namun imaji tentang peranan pihak militer dan bagaimana manipulasi
terhadap hal itu oleh kelompok sipil dapat ditransformasikan, merupakan salah
satu kunci dari permasalahan-permasalahan pada masa transisi politik, dan
merupakan suatu hal yang akan tetap bertahan dengan baik dalam fase konsolidasi
demokrasi.
C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi
Politik
1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di
Afrika Selatan
Pembunuhan terhadap Steven Biko merupakan salah satu
bentuk kejahatan diantara sederetan kekejaman yang mengerikan yang banyak
terjadi selama diterapkannya sistem apartheid di Afrika Selatan.
Konstitusi
transisi Afrika Selatan telah secara eksplisit mengakui adanya suatu amnesti
yang lebih kuat dan bertanggungjawab secara positif, dan menegaskan bahwa hal
itu sangat dibutuhkan bagi pelaksanaan rekonsiliasi dan rekonstruksi Afrika
Selatan, dan juga untuk memberikan suatu landasan yang aman bagi rakyat negara
tersebut untuk lebih mementingkan pembagian-pembagian dan
perselisihan-perselisihan dari masa lalu.
2. Makna Keadilan dalam Proses
Rekonsiliasi
Menurut Bronkhorst, jika masyarakat ditanya apakah
para pelaku kejahatan serius atau pelanggaran HAM berat seharusnya dihukum,
maka 99 persen akan menjawab “ya”. Itulah sebabnya mengapa banyak negara
memiliki peraturan hukum pidana. Dan tentu saja yang lebih nyata sebenarnya
hukum imternasional sudah mengandung beberapa peraturan khusus yang berkaitan
dengan upaya penuntutan dan pemberian hukuman.
3. Perspektif Hukum Internasional
Aspek
lokal lebih didahulukan, karena salah satu hal yang memungkinkan tegak tidaknya
aturan hukum adalah budaya hukum dan budaya hukum selalu merupakan suatu upaya
pencapaian yang bersifat local. Bisa saja aturan internasional menegakkan
ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan, namun penuntutan
semacam itu tidak dapat menghasilkan suatu aturan hukum dalam suatu bangsa.
D. Pengalaman Beberapa Negara
1. Beberapa Negara Amerika Latin
a. Beberapa Karakteristik Transisi
Politik di Amerika Latin dan Eropa Selatan
Faktor-faktor internasional lebih menguntungkan
transisi politik yang terjadi di negara-negara Eropa Selatan.
Perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan itu juga mendukung suatu
prediksi yang lebih optimis perihal prospek penegakan demokrasi dan mungkin
lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi di Eropa Selatan daripada di Amerika
Latin.
b. Beberapa Rezim “Otoriterisme Birokratis”
atau “Tradisional”
Amerika Latin memiliki unsur-unsur patrimonialis
(dalam pandangan Weberian), dan dalam beberapa kasus bahkan sultanistis. Ini
merupakan jenis rezim yang paling rentan terhadap transformasi revolusioner.
Rezim Somoza yang pernah memerintah di Nikaragua, sebagaimana Rezim Batista di
Kuba, dan Rezim Stroessner di Paraguay.
Untuk
lebih mendalami karakteristik transisi di Eropa Selatan, akan kita tinjau
praktek transisi politik di Yunani dan Spanyol. Pada tanggal 21 April 1967,
beberapa minggu sebelum penyelenggaraan pemilu nasional di Yunani, suatu
kelompok perwira militer tingkat menengah telah mengambil alih pemerintahan
dari Perdana Menteri George Papandreou. Pemerintahan junta tersebut menjamin untuk
memegang kekuasaan secara sementara, menjaga control komunis terhadap
pemerintahan, menghindarkan korupsi, dan mengembalikan Yunani ke demokrasi.
Dalam realitanya, Kolonel George Papadopoulos, pimpinan dari rezim militer yang
baru, mencabut keberlakuan konstitusi dan parlemen. Papadopoulos kemudian mulai mensipilkan kembali pemerintahan
dan mewajarkan kebijakan-kebijakannya. Pada tahun 1973, ia berjanji untuk
menyelenggarakan pemilihan umum dan menginstitusionalisasikan konstitusi dalam
tahun-tahun selanjutnya. Setelah terjadinya pembuabaran secara brutal oleh militer
terhadap demonstrasi mahasiswa di Politeknik Athena pada bulan November 1973,
Papadopoulos memberlakukan kembali hukum darurat perang. Brigadir Jenderal
Demetrios Ionnides, Panglima Polisi Militer dan seorang anggota asli junta,
kemudian menggantikan Papadopulos.
Sedangkan
di Spanyol, Jenderal Fransisco Franco muncul sebagai pemenang dalam Perang
Sipil Spanyol pada tahun 1939, dan memproklamasikan suatu “negara totaliter
dengan misi untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat”. Dalam masa
46 tahun kediktatorannya, dia mengkonsentrasikan dirinya sendiri pada beberapa
peran, termasuk sebagai Perdana Menteri, Kepala Negara, Kepala Angkatan
Bersenjata, Pemimpin dari Organisasi Politik Pemerintah dan Gerakan Nasional.
Franco berjanji bahwa partai-partai politik yang merupakan pesaingnya tidak
akan diijinkan lagi.
Menurut
Jose Maria Maravall dan Juliaan Santamaria, pada pertengahan 1970-an, Spanyol
masih diperintah oleh suatu rezim otoriter yang represif dan ekslusif yang
timbul dari Perang 1936-1939. Pada awal 1980-an didirikanlah suatu pemerintahan
yang bertanggungjawab secara konstitusional dan politis di negara tersebut, dan
beberapa pemilihan umum kemudian diselenggarakan, perlindungan terhadap HAM dan
hak-hak sipil dijamin, dan suatu sistem partai politik yang kompetitif juga
dibentuk.
c. Peru Sebagai Suatu Negara
Otoriterisme “Populis”
Meskipun peran sentral yang dimainkan angkatan
bersenjata atau kalangan militernya membedakan kasus Peru dari bentuk-bentuk
populisme Amerika Latin yang lebih tua dan tipikal. Peran-peran sentral
dimainkan oleh gerakan-gerakan politik sipil yang diarahkan oleh kepemimpinan
yang sangat dipersonalisasikan, menurut Cotler, Peru tetap termasuk dalam
“keluarga” populis rezim-rezim itu. Di satu sisi, peran kelembagaan, seperti
yang dipertentangkan dengan peran personal, yang dijalankan angkatan
bersenjatanya memadai untuk memisahkan kasus Peru dari bentuk tradisional
kediktatoran militer.
d. Perbedaan dengan Rezim
Birokratik Otoriter
Di antara perbedaan-perbedaan tersebut adalah
orientasi antioligarkis dalam kebijakan rezim Peru. Niatnya untuk secara cepat
memperluas industry dan peran ekonomi dan ketiadaan hasrat untuk menyingkirkan
secara paksa sector rakyat (seperti pada rezim birokratik otoriter), melainkan
untuk menggiatkan dan merangkum secara politis berbagai golongan di sector ini.
Hal
ini penting bahkan bila upaya ini, yang dalam pola populis yang tipikal
diwarnai oleh bias-bias “antipolitis” yang inheren di angkatan bersenjata,
hadir bersamaan dengan upaya dari atas untuk menggabungkan dan mengontrol
perwakilan bagi sector rakyat. Sebagai konsekuensi dari orinetasi-orientasi
ini, upaya militer yang populis di Peru, berbeda dengan rezim birokratik
otoriter, tidak mendapatkan dukungan dari fraksi-fraksi modal perkotaan yang
besar, atau dari sector pertanian yang dinamis. Rezim Peru sangat kurang
sistematis dan kurang keras dalam penggunaan represi dibandingkan dengan yang
digunakan rezim birokratik otoriter. Perbedaan penting lain antara kasus ini
dan kasus rezim birokratik otoriter adalah bahwa sebagai reaksi atas
kebijakan-kebijakan yang sangat radikal yang semula diterapkan di kalangan
militer yang populis, kelas-kelas dominan Peru menuntut dengan serta merta
pemuihan demokrasi politik.
e. Beberapa Kasus Lainnya
Kasus lainnya di Amerika Latin adalah Chile yang tergolong
birokratik otoriter. Yang sudah dilakukan hanya langkah-langkah yang sangat
terbatas, mudah dibalikkan, dna tidak pasti menuju liberalisasi. Rezim ini
menunjukkan begitu banyak tanda-tanda kemerosotan tetapi tidak mau tunduk pada
oposisi meluas yang telah ditimbulkannya.
Di
Meksiko terjadi perubahan mendalam di dalam sebuah rezim. Revolusi
terlembaganya mirip kekuasaan birokratik otoriter dalam banyak hal, dan jelas
bukan merupakan demokrasi politik yang pernah digambarkan sebelumnya.. Namun rezim
Meksiko berbeda dari rezim birokratik otoriter dalam tingkat pelembagaanya yang
relative tinggi dan dalam kemampuannya untuk menangani suatu masalah yang
menghantui rezim birokratik otoriter: suksesi kepresidenan.
2.
Beberapa Negara Non-Amerika Latin
a.
Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Yunani
Kejatuhan rezim otoriter Yunani pada tanggal 23 Juli
1974 telah membuka jalan bagi pendirian suatu pemerintahan yang demokratis
dalam sejarah Yunani Modern. Pada intinya dapat dikatakan bahwa peranan para
hakim dalam proses kembar dari transisi menuju demokrasi dan konsolidasi di
Yunani. Keterlibatan kalangan yudisial dalam rezim baru untuk menyelesaikan
soal keabsahan dari pendahulunya yang otoriter harus dipahami dalam konteks
politik umum yang telah dijelaskan di muka.
b. Konsepsi “Jalan Tengah” di Jerman dan
Cekoslovakia
Mantan blok Komunis telah berjuang secara mati-matian
untuk menemukan jalannya sendiri dalam berhubungan dengan warisan arsip lamanya
yang kacau. Jerman bersatu dan bekas negara Cekoslovakia telah mengalami
berbagai tingkat kebebasan dan akses kepada arsip rezim masa lalunya. Dengan
demikian resolusi-resolusi yang dilakukan di kedua negara tersebut bersifat
kompromistis, yang bersifat jalan tengah. Yakni tidak terjadi perusakan
terhadap arsip masa lalu, namun juga tidak dapat dilakukan akses sepenuhnya
terhadap arsip tersebut.
c. Perspektif Beberapa Negara Lainnya
Berbeda dengan transisi-transisi yang melalui proses
negosiasi sebagaimana terjadi di Argentina dan Chile. Pemerintah Jerman dapat
menggambarkan suatu keuntungan kelembagaan yang tidak dapat disangkal jika
dibandingkan dengan berbagai negara bekas komunis, seperti Polandia, Hongaria,
dan Cekoslovakia. Salah satu yang memperkuat Jerman adalah pengalamannya lebih
dari 40 tahun dengan konsepsi negara hukumnya di Barat. Sebagai hasilnya ialah
Republik Federal Jerman telah menawarkan suatu rekaman keadilan transisional
yang tampaknya akan tetap tidak ada bandingannya dalam era paska komunis.
BAB III KEADILAN TRANSISIONAL
A. Pengantar
1. Pemutusan Kaitan dengan Masa
Lalu, Pencarian Jalan Baru
a. Menghukum Masa Lalu, atau
Membiarkan Kaitan dengannya Tetap Eksis
Pihak Jerman Barat, setelah mengalami suatu kbrutalan
dan ujian diri yang berkepanjangan, kemudian muncul dengan sebuah model
demokrasi. Bangsa Rusia membawa komunisme ke pengadilan, namun belum begitu
melakukan banyak hal untuk melawan masa lalu mereka yang cenderung mendukung
pemikiran Jossif W. Stalin. Afrika Selatan membentuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Di Rwanda dimana sejumlah orang yang sedang menunggu untuk
diadili, berupaya mencapai suatu keadilan yang tampaknya mustahil.
Beberapa
bangsa telah bereaksi terhadap masa lalunya yang kacau dengan cara menutup mata
mereka secara kolektif. Austria misalnya telah lama menggambarkan dirinya
sebagai “korban pertama” dari Nazisme, ketika hal itu masih sungguh-sungguh
merupakan pasangannya yang digemari. Spanyol, mulai bergerak setelah Franco
meninggal dunia. Dan di Uruguay, rakyat memberikan suaranya dalam suatu
referendum untuk tidak menyelidiki pemerintahan militer yang penuh kekerasan
yang berakhir pada tahun 1985. Beberapa negara lainnya telah mendapati
kesulitan untuk memelihara amnesia historisnya di hadapan korban-korban yang
terus menerus berjatuhan, seperti bangsa Jepang dan perlakuan mereka terhadap
Cina dan Korea selama masa perang, atau bangsa Turki dan pembunuhan massal
terhadap orang-orang Armenia.
b. Pencarian Kebenaran,
Rekonsiliasi, dan Keadilan
Menurut pengamatan Daan Bronkhorst dalam konteks
keadilan dalam masa transisi ini terdapat beberapa kata yang menarik untuk
didiskusikan. Pertama kebenaran, kedua rekoniliasi, ketiga keadilan.
Langkah-langkah
yang diambil oleh sekitar 40 negara tersebut berkaitan dengan masa lalunya
menunjukkan pentingnya upaya pencarian konsepsi keadilan transisional di
masing-masing negara, karena kondisi masa lalu suatu negara kemungkinan berbeda
dengan negara lainnya.
2. Empat Permasalahan Utama:
Politik Memori
a. Empat Permasalahan Utama
1) Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu
rezim baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya?
2) Tindakan-tindakan hukum apa yang memiliki signifikansi
transformative?
3) Apakah jika ada terdapat kaitan antara
pertanggungjawaban suatu negara terhadap masa lalunya yang represif dan
prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?
4) Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar kearah
liberalisasi?
b. Beberapa Sanksi Terhadap Kejahatan HAM Berat:
Putusan Pengadilan Nuremberg
Para terdakwa dituntut berdasarkan Pasal 6 dari Piagam
sebagai berikut:
Article 6: … The following acts, or any of them, are crimes
coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be
individual responsibility:
1) Crimes against peace;
2) War Crimes;
3) Crimes against Humanity.
Berdasarkan Pasal 6
Statuta Roma, tindakan-tindakan sebagai berikut dapat diklasifikasikan sebagai
genosida, selama tindakan-tindakan tersebut bertujuan untuk menghancurkan “seluruh
atas sebagian” suatu kelompok bangsa, etnis, ras, ataupun kelompok agama.
Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Membunuh anggota kelompok;
2) Menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap
anggota kelompok;
3) Dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruhnya atau sebagian;
4) Memaksa tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
mencegah kelahiran di dalam kelompok;
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok
ke kelompok lain.
Berdasarkan Pasal 25
ayat (3) butir b Statuta, siapapun yang memerintahkan, memohon, ataupun
membujuk orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat
diklasifikasikan sebagai genosida, tanpa memperdulikan jabatannya.
c. Politik Memori
De Brito, Gonzales-Enriquez, dan Aguilar
menyatakan bahwa salah satu di antara permasalahan-permasalahan politik dan
etika yang muncul pada masa transisi adalah bagaimana menghadapi berbagai hal
yang berkaitan dengan represi masa lalu. Dalam bukunya Teitel berupaya untuk
menggeser terminology revolusi dengan terminology peranan hukum dalam dalam
masa perubahan politik.
3. Beberapa Wacana tentang
“Transitology” dan “Consolidology”
a. Kemungkinan Kontradiksi antara
Transisi dan Konsolidasi
Dalam masa-masa awal dari transformasi rezim, suatu
bentuk yang berlebih-lebihan dari hubungan sebab akibat secara politik tampak
lebih dominan dalam situasi dari perubahan yang begitu cepat, penuh risiko,
menggeser kepentingan-kepentingan dan tidak membatasi reaksi-reaksi strategis.
Franz Magnis
Suseno mengemukakan beberapa aspek tentang syarat-syarat keberhasilan
demokrasi. Seni setiap demokrasi adalah memecahkan masalah perbedaan pendapat
secara consensus. Dalam monarki dan kediktatoran penguasa secara sepihak
memutuskan kebijakan negara. Dalam demokrasi hal semacam itu harus diputuskan
bersama. Demokrasi yang stabil adalah demokrasi dimana terdapat consensus dasar
yang kuat, bahwa semua hal diputuskan secara demokratis. Pernyataan dalam
Pembukaan UUD yang menjamin kebebasan-kebebasan, hak-hak, dan
kewajiban-kewajiban paling dasar semua warga masyarakat.
B. Konteks Internasional pada Waktu
Transisi
Dalam dunia yang sempit ini, penyelesaian masalah
keadilan transisional telah meningkat menjadi suatu sumber yang saling
mempengaruhi antara pemerintahan-pemerintahan baru yang menggantikan dan
mereka-mereka yang berada di luar negeri. Menurut Kritz,
pemerintahan-pemerintahan asing didorong untuk memainkan suatu peranan baik
dalam bentuk pemberian perlindungan bagi mereka yang berasal dari rezim
sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi mereka untuk diadili.
Konsep penengah yang lain dari aturan hukum transisional adalah hukum
internasional. Dalam periode perubahan politik, hukum internasional menawarkan
konstruksi alternative hukum. Hukum internasional pun berperan sebagai konsep
penengah untuk mengurangi dilemma dari aturan hukum yang dilontarkan oleh
keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas dari
Pengadilan Nurenberg berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif.
C. Keadilan dalam Masa Transisi
Politik
Wacana
tentang keadilan transisional umumnya dibingkai masalah normative bahwa
beberapa respon hukum harus dievaluasi berdasarkan prospek mereka terhadap
demokrasi. Dalam fungsi sosialnya yang umum, hukum berfungsi untuk untuk
memberikan ketertiban dan stabilitas, namun dalam masa pergolakan politik yang
luar biasa hukum berfungsi menjaga ketertiban di samping ia juga memungkinkan
transformasi.
Menurut
Mahfud Md., mengemukakan dua pengertian politik hukum:
1. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai kebijaksanaan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional
oleh pemerintah;
2. Bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara
melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum
itu.
D. Dilema Penerapan Aturan Hukum
1. Dasar Hukum Membawa Rezim Masa Lalu ke Pengadilan
Dalam periode transisi politik yang substansial,
timbul suatu dilemma tentang penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana
hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan bagi rezim yang menggantikan.
Dilema transisional ini hadir dalam keseluruhan masa sejarah politik. Hal ini
tergambarkan dalam pergeseran di abad ke-18 dari bentuk negara monarki ke
republic, namun baru tampil beberapa waktu yang lalu dalam
pengadilan-pengadilan yang dilakukan paska Perang Dunia II. Menurut Teitel,
dalam periode transformasi politik, masalah legalitas adalah berbeda dengan
masalah teori hukum sebagaimana ia muncul dalam demokrasi-demokrasi yang mantap
dalam waktu-waktu yang normal. Terdapat suatu penyusunan dari
pertanyaan-pertanyaan inti tentang legitimasi dari rezim baru, termasuk kondisi
dan peranan dari pengadilan transisional. Pekerjaan transformasi seharusnya
diletakkan pada pengadilan atau badan pembuat UU.
Dilema keadilan
transisional muncul dalam periode-periode terjadinya perubahan politik yang
substansial. Ketika suatu sistem hukum mengalami perubahan yang terus menerus,
tantangan terhadap pemahaman-pemahaman umum dari aturan hukum tampak sedang
mencapai puncaknya. Beban transformasi ke sistem rule of law dalam beberapa
konteks berpindah ke pengadilan, terutama pada mahkamah konstitusi.
2. Perdebatan Hukum tentang Penyelenggaraan
Persidangan Terhadap Para Mantan
Kolaborator Nazi
Diselenggarakan persidangan Nurenberg yang pada
intinya menyatakan bahwa aturan hukum mengandung arti ia juga memutuskan
hubungan dengan rezim hukum Nazi, karenanya para mantan kolaborator Nazi harus
diadili dengan dasar hukum yang baru.
TANGGAPAN
Dalam
masa transisi politik menuju demokrasi ada berbagai fenomena dan tata cara
penyelesaian yang dilakukan oleh berbagai negara yang mengalaminya. Dalam buku
ini hanya mengkhususkan transisi politk menuju demokrasi di Indonesia pasca
orde baru, sebagaimana BJ. Habibie adalah Presiden pada masa transisi menuju
demokrasi.[1] Apabila kita bergaul
dengan teman-teman dari bangsa-bangsa yang mengalami masa lalu yang kelam
sebenarnya bisa kita lihat bagaimana mereka akhirnya bisa melewati masa
transisi politik tersebut di negara mereka. Semisal bagi pergaulan dalam dunia
“beasiswa” di dunia. Di Inggris misalnya pada Universitas Cambridge[2] terdapat banyak bangsa, seperti
dari Jerman, Polandia, dan Hongkong (meskipun Hongkong adalah negara yang
berupaya untuk mengembalikan sistem demokrasi yang berjalan tertatih di
negaranya), yang merupakan negara-negara dengan masa lalu otoritarianisme yang
kelam, namun berangsur bisa melalui perlahan proses transisi tersebut.
Persoalan Hak Asasi Manusia di masa
lampau memang menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi sebuah negara khususnya
Indonesia. Contoh realnya dengan kasus Papua (Wamena) bahwa belum
diselesaikannya sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut membuat konflik di
kawasan Indonesia Timur itu terus berulang sebagaimana disampaikan peneliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rosita Dewi, Senin 19 Agustus 2019.[3]
Jika kita melihat
negara lain transisi politik mereka benar benar bermula dari otorianisme yang
kental, semisal berbeda dengan negara Jerman, Polandia, Cina, Korea, Turki,
Spanyol, Uruguay, Rusia, Rwanda, Argentina, Chile, Cekoslovakia, Meksiko, Peru,
Yunani, Afrika Selatan, Eropa Timur.[4] Indonesia masih berada di
kondisi yang lebih baik pada masa orde baru. Indonesia tidak mengalami
perlakuan otoriter dari pihak penguasa yang ingin menguasai rakyatnya sampai ke
masalah apa yang harus dilakukan mereka secara detil dari hari ke hari. Tapi
orde baru lebih kepada adanya ketidaktepatan dalam pengaturan pengangkatan dan
pemilihan presiden dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga
menyebabkan presiden bisa dipilih dan diangkat kembali hingga bertahun-tahun. Seperti
tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
amandemen bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.[5]
Sebuah rezim jika sudah
berkuasa dan merasa aman tentu akan melakukan banyak hal yang akhirnya tidak
baik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang merupakan sebab utama jatuhnya
orde baru oleh Mahasiswa setelah adanya unjuk rasa menurunkan Presiden Suharto
pada 1998. Dan kecenderungan menuju otoriter.
Kekuasaan otoriter
memang dapat bertahan lama, dalam kasus Indonesia, kita melihat pemerintahan
Soeharto yang lebih dari 30 tahun. Tetapi kekuasaan otoriter itu tak akan
pernah bertahan selamanya. Pameo tentang “ratu adil” atau “enlightened despot”
hanyalah kebetulan sejarah yang ditandai dengan lahirnya pemimpin yang baik
budi, tapi sistem pemerintahan yang otoriter tak akan bisa berjalan baik dan
efektif karena kekuasaan selalu akan korupsi, dan yang lebih penting lagi
adalah karena tak ada oposisi.[6]
Penelusuran sejarah tentang realita kepolitikan di
Indonesia sampai sekarang menunjukkan bahwa seantiasa terjadi pergantian,
pegeseran, atau tolak tarik antara konfigurasi demokratis dan konffiguasi
otoriter.[7] Semua konsitusi yang
pernah dan sedang berlaku di negara Republik Indonesia secara resmi
mencantumkan “demokrasi” sebagai salah satu asas kenegaraannya. Akan tetapi
tidak semua rezim yang tampil di pentas politik menjalankan roda
pemerintahannya secara demokratis.
Dari ringkasan HAM dalam Transaksi Politik di Indonesia
bisa saya tanggapi yaitu masa orde baru dari sisi pelaksanaan hak asasi
manusia, demokrasi, perwujudan negara hukum, konstitusi, upaya hukum terhadap
pelanggaran HAM di masa lalu.
A. Hak
Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) menurut konsep barat, secara formal
dapat kita baca dalam deklarasi kemerdekaan 13 negara-negara Amerika Juli 1776
dalam Piagam Bill of Rights:
“...we
should these truths to be selfevident; that all men are created equal; that
they are endowed by their creator with certain inalienable rights, liberty and
the pursuit of happiness.” (Maurice Cranston, 1983:3).[8]
Negara Indonesia adalah negara yang mengandung persatuan
antara rakyat dan pimpinannya, persis seperti yang dimaksud oleh Soepomo dengan
teori integralistiknya.[9] Hal ini menurut Soekarno dan Soepomo. Dengan
ini corak Indonesia sangat kolektivistik dan cenderung mengabaikan
individualistik. Sementara Hatta-Yamin meskipun menerima kolektivisme, tetapi
mengharuskan adanya imbangan unsur individualisme paham HAM.[10]
Konsep sosialis mulai dari Karl Marx, menurut L.Henkin,
makna hak asasi tidak menekankan hak tehadap masyarakat, justru menekankan
kewajiban terhadap masyarakat. Konsep sosialisme Marx mendahulukan kemajuan
ekonomi daripada hak politik dan hak sipil, mendahulukan kesejahteraan daripada
kebebasan.[11]
Namun pada akhirnya konsep sosialis ini konon senafas
dengan paham komunis yang dijalankan oleh Adolf Hitler. Sehingga secara tidak
langsung kurang mengenal adanya penerapan hak asasi manusia secara politik dan
hak sipil. Pada akhirnya karena mendahulukan factor ekonomi dari hak pribadi
sehingga cenderung adanya sikap-sikap otoriter dari penguasa.
Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat
serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-Undang tentang Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1970[12] harus ditegakkan dengan
Undang-Undang ini. [13]
Montesquieau, pendukung kebebasan warga negara mengemukakan
pandangannya tentang pembagian pemerintahan ke dalam tiga kekuasaan yang
terpisah yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan
tersebut yang dikenal dengan Trias Politica, memisahkan mekanisme, jalan,
hubungan antara aparat pemerintahan secara tegas akan menciptakan sistem
pemerintahan yang baik.[14]
Pada negara-negara otoriter biasanya tidak ada pemisahan
kekuasaan tersebut. Kekuasaan hanya dipegang oleh eksekutif, sehingga tidak
terjadi check and balance bagaimana seharusnya kekuasaan tersebut berjalan
dengan berlandaskan kerakyatan. Pola ini memang disengaja, sebagaimana istilah
otoriter sendiri lazim digunakan untuk menyebut kecenderungan sifat dan
perilaku kekuasaan yang anti demokrasi. Sebuah konsep yang merujuk pada pemahaman
tentang penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dengan pengendalian penuh atau
nyaris penuh oleh eksekutif.[15]
Dalam konteks Indonesia pada masa orde baru banyak catatan
mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Presiden Suharto saat berkuasa,
diantaranya sebagai berikut menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS):[16]
1. Kasus
Pulau Buru 1965-1966;
2. Penembakan
misterius 1981-1985;
3. Tanjung
Priok 1984-1987;
4. Talangsari
1984-1987;
5. Daerah
Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998;
6. DOM
Papua 1963-2003;
7. Pristiwa
27 Juli 1996;
8. Penculikan
dan Penghilangan Secara Paksa 1997-1998;
9. Pristiwa
Trisakti 12 Mei 1998[17];
10. Kerusuhan
13-15 Mei 1998.
Apakah
segala kejadian pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah dikarenakan secara
konstitusi pun tidak diatur masalah hak asasi manusia tersebut. Yang
menyebabkan ketiadaan peduli pemerintah akan kejadian tersebut semisal dengan
membentuk Undang-Undang tentang HAM dan Peradilan HAM[18]. Yang mana baru dibentuk
setelah jaman orde baru.
B. Demokrasi
Rousseau berpendapat bahwa terjadinya negara berdasarkan
perjanjian masyarakat, perjanjian masyarakat itu cukup dengan satu faktum saja.
Dalam perjanjian masyarakat setiap rakyat menyerahkan hak-haknya, kekuasannya
kepada kelompok (rakyat secara kolektif). Dan kelompok inilah yang memegang
kedaulatan (pendukung kedaulatan/gezag).[19]
Robert A. Dahl menjelaskan
bahwa demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung 8 hal sebagai berikut:[20]
Sebagaimana diketahui, pada umumnya para pakar konstitusi
sepakat bahwa prinsip dasar atau idee dasar agar terselenggara pemerintahan
yang demokratis adalah[21]:
a. Bahwa
kekuasaan pemerintah itu berasal dari rakyat yang diperintah (government by
consent of the governed);
b. Bahwa
kekuasaan pemerintah itu harus dibatasi (limited govenment);
c. Bahwa
harus ada persamaan di hadapan hukum (equality before law);
d. Bahwa
pemerintah menjamin hak asasi manusia (guarantee of human rights);
e. Bahwa
pemilihan umum harus dilaksanakan dengan jujur, langsung, bebas, dan rahasia.
f. Bahwa
jabatan pemerintahan harus terbuka untuk semua warga negara;
g. Bahwa
kekuasaan pemerintah itu harus dapat dilaksanakan dengan efektif, atau dengan
kata lain, pemerintah harus punya sovereignity
atau kedaulatan.
Sebuah negara dengan sistem totaliter tentu tidak memiliki
ciri sebagaimana disebutkan di atas. Kekuasaan pemerintah pada saat orde baru
dipilih oleh Parlemen.[22] Yang menjelaskan bahwa
tidak ada kekuasaan pemerintah yang dipilih oleh rakyat. Rakyat hanya menjelma
menjadi MPR. Wacana yang berkembang akhir-akhir ini adalah adanya usul dari
Ketua DPR agar Presiden kembali dipilih oleh MPR.[23] Hal ini menandakan adanya
wacana ingin mengembalikan pemilihan Presiden seperti jaman orde baru. Tidak
adanya kedaulatan rakyat untuk memilih Presiden.
C. Perwujudan Negara Hukum
Negara hukum bisa ditinjau
dari konsep Anglo Saxon atau Konsep Eropa Kontinental. Timbulnya negara hukum (Rechstaat
: diartikan pula sebagai negara berdasar atas hukum) di Eropa merupakan suatu
reaksi terhadap pemeritahan raja-raja yang absolut. Pada saat itu dikenal
istilah negara polisi (Polizei Staat) yaitu negara yang menyelengarakan
keamanan dan kemakmuran atau perekonomian. Namun negara polisi tersebut diikuti
dengan keadaan pemerintahan raja yang absolut, maka akan tercipta suatu pemerintahan
yang tiran dan mendasarkan kepentingan negara sebagai kepentingan raja.
Mewakili konsep negara hukum Anglo Saxon, ahli konstitusi dari Inggris, A.V
Dicey dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Study of The Law of
The Constitution, mengemukakan 3 unsur dari Rule of Law, yaitu: [24]
a. Supremacy
of Law;
b. Equality
before the law;
c. Constitution
based on Individual Rights.
Setelah reformasi yaitu pada tahun 2004, pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Dengan telah
diselenggarakannya pemilihan umum secara langsung dan terbentuknya berbagai
pranata baru yang makin mendorong langkah-langkah menuju demokratisasi, tahap
demi tahap bangsa Indonesia telah memasuki era pasca refomasi.[25]
D. Konstitusi dan Aturan di Bawahnya
Dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu
politik kajian tentang ruang lingkup paham kostitusi terdiri dari:
a. Anatomi
kekuasaan tunduk pada hukum;
b. Jaminan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
c. Peradilan
yang bebas dan mandiri;
d. Pertanggungjawaban
kepada rakyat sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.[26]
Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan “maskot” dari
suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan negara meskipun
konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak
diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan negara maka belum dapat
dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.[27]
Dalam perjalanannya semenjak disahkan
pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 telah mengalami berbagai ujian,
tantangan dan bahkan pergantian. Hal ini misalnya pernah terjadi pada saat
berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949 dan Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950, dimana diintrodusir adanya suatu konsep “negara
hukum demokratis” (demokratise rechstaat), suatu konsep yang lazim diterapkan
di dunia Barat yang bersistem parlementer.[28]
Hari-hari yang panjang itu pun akhirnya sampai di penghujung perjalanan Orde
Lama, yang oleh banyak kalangan dituding sebagai causa prima timbulnya berbagai
penyelewengan di bidang politik, hukum dan ekonomi. Berbagai diskusi dan
perdebatanpun segera diselenggrakan untuk memberikan koreksi terhadap berbagai
penyelewengan yang terjadi di masa itu.[29]
Namun pada akhirnya Presiden
Suharto pun lengser[30]
dari jabatannya dengan tuntutan reformasi dari mahasiswa dan rakyat Indonesia
pada tahun 1998, dikarenakan kelemahan konstitusi Pasal 7 Undang-Undang Dasar
1945 sebelum amandemen bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya
selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Jadi sebenarnya
suatu kekuasaan yang tidak dibatasi waktu pun bisa menimbulkan permasalahan di
negara dengan sistem demokratis sekalipun.
Konstitusi memberi peran utama dalam hal pelaksanaan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum
amandemen tidak disebutkan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945
ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia. Pada Tahun 1999 dibentuklah Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua Undang-Undang merupakan
implementasi Hak Asasi Manusia pasca reformasi dengan berdasarkan pada
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen.
Namun Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 mengalami permohonan
untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi.[31] Yang telah melahirkan
Putusan Perkara No. 065/PUU-II/2004 yang dalam putusannya dimana menolak
permohonan uji materil Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 pasal 43 ayat 1 yang
isinya bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkan Undang-Undang ini, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM
Adhoc. Pemohon mempersoalkan pengesampingan asas non-retroaktif. Karena
kejahatan-kejahatan yang dikesampingkan dari asas nonretroaktif ini adalah
“pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan genosida[32] (Undang-Undang No. 26
Tahun 2000 Pasal 7).
[1]
Reuters, Video Pengangkatan:
BJ. Habibie, Presiden pada Masa Transisi
Menuju Demokrasi, https://video.tempo.co/read/16344/bj-habibie-presiden-pada-masa-transisi-menuju-demokrasi, 8 Oktober 2019.
[2]
Author, International Students, https://www.undergraduate.study.cam.ac.uk/international-students, 8 Oktober 2019.
[3]
Muhammad Irfan, Pelanggaran HAM Masa Lalu di Papua Picu
Konflik yang Terus Berulan, https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2019/08/20/pelanggaran-ham-masa-lalu-di-papua-picu-konflik-yang-terus-berulang, 8 Oktober 2019.
[4]
Lihat Satya Arinanto, Hak
Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: FHUI: 2018).
[6]
Todung Mulya Lubis, Konsolidasi
Demokrasi: Tantangan Reformasi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas
Indonesia, Volume 32, Nomor 2, Tahun 2002, hal 227.
[7]
Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press:2012), hal
361.
[8]
Lihat A. Masyhur Effendi, Dimensi
Dinamika Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Internasional (Jakarta:
Ghalia Indonesia:1994), hal 18.
[9]
Lihat Floriberta Aning, Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, (Yogyakarta: Media
Pressindo, 2006).
[10]
Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi
dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve:1994),
hal 68-69.
[11]
A. Masyhur Effendi, Op.cit, hal 21.
[12]
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Antara lain
mengatur asas keluhuran harkat serta martabat manusia:
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap
orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
b. Penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh
pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal yang dengan
cara yang diatur Undang-Undang;
c. Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dana tau dihadapkan di muka siding pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
d. Kepada seorang yang ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang
dana atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib
diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para
pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan
asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, dana atau dikenakan hukuman
adminsitrasi;
e. Peradilan yang harus dilakukan
dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak
harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;
f. Setiap orang yang tersangkut perkara
wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya;
g. Kepada setiap tersangka, sejak saat
dilakukan penangkapan dana tau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan
dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu
termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum;
h. Pengadilan memeriksaperkara pidana
dengan hadirnya terdakwa;
i. Pengawasan pelaksanaan putusan
pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
[13]
Ismail Sunny, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jurnal
Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 22, Nomor 3, Tahun 1992,
hal 247-248.
[14]
Ibid, hal 29.
[15]
Agus Sutisna, Mengapa Suatu Negara
Menganut Sistem Otoriter?, https://www.academia.edu/9340442/Mengapa_Suatu_Negara_Memilih_Jalan_Otoritarian_,
7 Oktober 2019.
[16]
Kristian Erdianto, Kontras Paparkan 10 Kasus Pelanggaran HAM yang
Diduga Melibatkan Soeharto,https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Paparkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?page=all, 8 Oktober 2019.
[17] Rakhmad Permana,
Mengenang Tragedi Trisakti: Martir Demokrasi yang Mati Ditembak Peluru Besi, https://news.detik.com/berita/d-4546001/mengenang-tragedi-trisakti-martir-demokrasi-yang-mati-ditembak-peluru-besi, 8
Oktober 2019.
[18] Republik
Indonesia, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia jo.
Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
[19] Azhary, Ilmu Negara, cet.5
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 18-19.
[20] Robert A.Dahl, Polyarchy:
Participation and Opposition, (New Haven: Yale University Press, 1971)
[21]
Puteri Anggun Amirillis, Skripsi Sarjana Hukum, Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden di Negara Republik Indonesia Pada Tahun 2004, (Depok:
Universitas Indonesia, 2005), hal 11-12.
[22]
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 6
ayat 2.
[23]
Christoforus Ristianto, Ketua DPR Usul Presiden Kembali Dipilih MPR,
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/09/21060691/ketua-dpr-usul-presiden-kembali-dipilih-mpr,
8 Oktober 2019.
[24]
Abdul Bari Azed dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia.
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2005), hal 53-55.
[25]
Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi,
Depok: Pidato Pengukuhan Guru Besar FHUI: 2005, hal. 9-10.
[26]
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi,
dkk, Teori dan Hukum Konstitusi,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada: 2017, hal 1-2.
[27]
Ciri-Ciri Pemerintahan yang Konstitusional: Memperluas partisipasi politik,
memberi kekuasaan legislative pada rakyat, menolak pemerintahan otoriter, …dan
sebagainya. Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional
di Indonesia, (Jakarta:Grafiti, 1995), hal. 16.
[28]
Prof. Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum
(Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986), hal 8.
[29]
Satya Arinanto, Demokrasi Berdasarkan
Konstitusi: Mungkinkah Terjelma di Dalam Realita?, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Universitas Indonesia, Volume 23, Nomor 3, Tahun 1993, hal 202.
[30]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Online, https://kbbi.web.id/lengser.
[31] Republik Indonesia, Putusan Perkara No. 065/PUU-II/2004
[32]
Republik Indoensia, Undang-Undang No. 26
Tahun 2000, Pasal 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar